Mualim Syafi’i
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
KAUM Muslimin Betawi memang lebih dekat dengan budaya Arab dibanding dengan kawasan-kawasan lain. Bukan hanya habib dan sayidnya, semuanya keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan disegani, yang menjadi sebab. Juga bukan karena di Jakarta sudah ada. Kampung Pekojan yang penuh orang Arab. Ada yang lebih dalam dari itu.
Para ulama Betawi umumnya dididik di Timur Tengah — dulu di Mekah dan sekarang kebanyakan di Mesir. Dengan sendirinya budaya Arab bukan sesuatu yang terasa asing. Ana dan ente sudah menjadi kata ganti diri yang umum dipakai. seperti kula dan sampean di kalangan “Jawa kowek”. Orang asli Tegalparang di Mampang Prapatan lebih mudah menyebut “nyahi” daripada mengatakan “minum teh”, diambil dari istilah Arab “syahi” untuk “teh”.
Karena itu, tidak mengherankan jika ulama Betawi disebut mualim. Bukan lantaran mampu mengemudikan kapal, melainkan karena kerjanya mengajar. Dalam bahasa Arab, arti kata muallim adalah mengajar, dan ta’lim berarti pengajaran. Bukan sembarang mengajar, melainkan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Kalau sekadar guru, panggilannya mudawis, sering juga ustad. Ini adalah istilah yang tidak hanya benar menurut bahasa Arab, tetapi sudah diberi arti khusus sejak dari sononye. Orang Jawa memanggil guru agamanya “kiai”, orang Minang “lebai”, di Iran dan Irak disebut “mulla“, di Syria, Lebanon, dan Mesir dipanggil “muallim“.
Mualim Syafi’i yang diacarakan kali ini adalah Kiai Haji Abdullah Syafi’i yang wafat beberapa hari setelah usainya hari raya Idul Adha lalu. Saya memanggilnya demikian karena memang ia disebut demikian ketika saya masih kecil. Gelar kiai baru datang belakangan, ketika berlangsung proses jawanisasi, yang datang ke Jakarta secara merayap.
Sebagai mualim, Syafi’i telah memberikan segala-galanya kepada profesi pilihannya itu. Mengajar di surau pada mulanya. Lalu membuat madrasah dekat Gudang Peluru di Bali Matraman, ketika jalan beraspal belum menjangkau daerah itu. Tidak cukup mengajar di madrasah, dengan tekun dijalaninya tugas memberikan pengajian umum rutin di hampir semua kampung Jakarta Selatan dan Timur. Pengajian berkala yang membawanya ke kampung yang berbeda-beda, sekarang memperoleh predikat mentereng majelis taklim. Juga tidak lupa di tempat sendiri, pengajian diselenggarakan seminggu sekali. Setelah sekian lama, apa yang diselenggarakannya itu temyata menjadi monumen tersendiri di ibu kota tercinta ini.
Melalui pengajaran dasar-dasar agama kepada orang awam, sang mualim mampu membuat sesuatu yang sangat berarti di jantung kota metropolitan Jakarta. Apa yang dicapainya? Menumpulkan dampak negatif dari proses modernisasi. Spritualitas yang dijajakannya mampu mengatasi kekeringan jiwa manusia yang terhimpit oleh kehidupan berorientasi serbabenda. Solidaritas kuat sesama warga pengajian merupakan penangkal terhadap rasa keterasingan akibat terurainya ikatan-ikatan sosial lama dalam kehidupan berumah tangga dan bertetangga. Di saat banyak nilai mulai memudar, ajakannya kepada penghayatan dan pengamalan agama secara tuntas merupakan panduan jelas bagi para pengikut.
Tetapi, semua itu bukan sesuatu yang menjadi monopoli Mualim Syafi’i belaka. Hal itu juga diperankan oleh para mualim Betawi dan kiai non-Betawi di Jakarta. Kemualiman Kiai Abdullah Syafi’i baru tampak jelas jika dilihat pola sikapnya terhadap “tantangan dari luar”. Tantangan yang secara fundamental berlawanan dengan ajaran agama yang diyakininya.
Ketika Ali Sadikin masih menjabat gubernur DKI Jakarta, Mualim Syafi’i adalah pelopor yang dengan gigih menentang kebijaksanaan mencari dana melalui perjudian. Begitu juga kebijaksanaan penggusuran pekuburan dari Karet ke Tanah Kusir. Semua sanggahannya bersandar pada ajaran agama, sehingga terasa mencengkam.
Mengapa ia justru bergaul begitu erat dengan Ali Sadikin, walaupun sang gubernur tetap saja mengizinkan perjudian? Apakah sang mualim telah melupakan perjuangan, karena status sosialnya mencapai ketinggian baru? Apakah ia sudah terbuai dengan penghormatan sang gubernur kepadanya?
Ternyata, tidak demikian. Sebabnya sederhana saja. Ia tahu batas peranan yang harus dimainkannya. Sekadar mengajarkan pendirian agama. Bukan menentang pemerintah. Juga bukan menyusun kekuatan (machtsvorming) untuk memaksakan pendirian. Kalau pendirian agama sudah dirasa cukup disampaikan, sudah cukup tugas dilaksanakan. Tak perlu rusak pergaulan karenanya dan tak harus bersitegang leher sebagai akibat perbedaan pandangan.
Sikap inilah yang memancarkan kebesaran Mualim Syafi’i, karena dari kiai kampung yang kemudian menjadi ulama besar ini muncul keteladanan cemerlang akan perlunya kesadaran peranan sendiri dalam kehidupan. Memang, untak jangka pendek ia tidak dapat memberantas perjudian. Namun, dalam jangka panjang ia memelihara sesuatu yang sangat berharga: budaya politik yang matang, karena ia menggunakan hak untuk berbicara dalam ukuran yang tepat. Bukankah ini hakikat demokrasi?
Lebih penting lagi, siapakah yang tadinya menduga bahwa impuls demokratis itu muncul, justru, dari garis batas yang diletakkan agama sendiri, yaitu dalam tugas mengajar selaku mualim?