Ketat Tetapi Longgar

Foto Diambil dari; http://ppbinnur.blogspot.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KIAI pantai utara Jawa memang terkenal keras sikapnya, kaku pendiriannya, dan ketat dalam perumusan pendirian keagamaannya. Entah di sebelah barat, seperti di daerah Cirebon, entah pula di timur.

Keyakinan agama para kiai pesisir itu kokoh, sekokoh batu karang yang sesekali menghiasi lepas pantai mereka yang dangkal. Hukum agama yang mereka rumuskan berwatak tegar, sedikit sekali mempertimbangkan keadaan manusiawi masyarakat di mana mereka hidup.

Tidak heranlah jika Kiai Wahab Sulang dari Rembang sempat membuat heboh di kalangan yang sedemikian teguh keyakinan dan ketat perumusan hukum agamanya.

Bagaimana tidak heboh kalau istrinya yang anggota DRPD itu termasuk yang paling asyik dan getol mengikuti acara budaya nonsantri di pendopo kabupaten. Sudah fraksinya F-PP, masih campur baur lagi dengan nyonya-nyonya Golkar dan Korpri dalam acara “maksiat” yang berupa tari-tarian Jawa dan gendingan. Bagaimana tidak geger, kalau istrinya kian kemari tanpa “mahram” yang mengawal, sering dalam rombongan yang berisi para pria saja.

Pola tingkah laku “nonsantri” seperti itu tidak heran, sebenarnya, kalau datang dari orang seperti Kiai Wahab Sulang. Karena ia memang tidak pernah konvensional. Tindakannya sering kali timbul dari spontanitas dirinya saja.

Sewaktu istrinya baru mendapat pembagian sepeda motor (dengan pembayaran kembali secara diangsur, tentunya), kiai kita ini segera menggunakannya. Sebagai akibatnya, ia menabrak sebuah rumah. Sepeda motor rusak dan ia sendiri luka-luka. Penjelasan sang kiai: “Habis, saya pakai rem kaki.”

“Lho, rem kaki kan memang harus dipakai dalam hal ini, Kiai.”

“Ya, tetapi maksud saya bukan begitu. Saya mengerem hanya pakai kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya.”

Menarik untuk dikaji, bagaimana kiai tidak konvensional seperti ini masih diikuti orang. Mengapa ia masih diterima di lingkungan sesama kiai? Mengapa ia tidak diserang dan “disensor” oleh kiai-kiai lain? Mengapa dibiarkan saja ia memberikan pengajian umum, memberikan fatwa hukum agama kepada yang datang memintanya dan melakukan fungsi kekiaian secara penuh?

Apakah hanya karena ketenarannya sebagai orang “jaduk” yang kebal senjata tajam dan tidak mempan peluru? Kemampuannya mengobati orang dengan doa-nya yang mustajab?

Ternyata, tidak demikian persoalannya. Ada sebuah jawaban yang menunjukkan lenturnya hubungan antara sesama kiai di pedesaan Jawa. Sebabnya terletak pada kesanggupan Kiai Wahab yang eksentrik ini untuk secara minimal mengikuti garis bersama. Sedangkan pada saat yang sama mengikuti pola berpikir tidak konvensional itu.

Dalam forum yang merumuskan hukum agama, Kiai Wahab terkenal sama keras pendiriannya dengan para kiai lainnya Sama ketat perumusan hukumnya.

Sikap begini terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut dogma keagamaan: ia mengikuti konsensus dalam hal yang sudah ditetapkan dan, dengan demikian, ia mengikuti pola umum sikap para kiai secara nominal.

Tetapi, sikap di atas tidak dapat membatasi Kiai Wahab Sulang hanya pada pendekatan legal-formalistis belaka tanpa mampu mengembangkan sikap adaptif terhadap kebutuhan masa. Dan kehebatan kiai yang satu ini justru terletak dalam kemampuannya mencarikan landasan keagamaan bagi sikap yang longgar terhadap kebutuhan manusiawi.

Anda butuh transfusi darah, tetapi takut hukum agamanya haram menerima donor darah orang lain? Sikap yang salah, menurut Kiai Wahab. Orang Islam harus bertolong-tolongan, bukan? Allah kan telah berfirman, “Bertolong- tolonganlah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan!”.

“Ya, Kiai, memang demikian. Tetapi, bukankah masalah donor darah menyangkut soal hubungan kekeluargaan dan sebagainya?”

“Sampean ini apa tidak ingat firman ‘permudahlah oleh kalian, jangan persulit’ (yassiru wa la tu’assiru)! Asal tujuannya baik, dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?”

Untuk manusia kosmopolitan, sikap seperti ini bukanlah barang baru. Tapi. pentingnya sikap ini baru dapat dirasakan dalam situasi di mana gagasan keluarga berencana masih sulit diterima karena keyakinan agama, di mana pendidikan nonagama masih dilihat dengan penuh kecurigaan dan di mana segala sesuatu justru ditinjau dari rumusan legal-formalistis hukum agama.

Dan justru di sinilah terletak nilai penting dari sikap Kiai Wahab tersebut. Sikap untuk merumuskan kembali hukum agama dengan mempertimbangkan kebutuhan manusiawi masyarakat. Jadi, sikap untuk meninjau kembali keseluruhan wawasan legal-formalistis itu sendiri.

Bukankah ini titik tolak pandangan hidup serba humanistis yang kini begitu dipuja orang?

Tetapi, Kiai Wahab memiliki kelebihan atas semua orang humanistis dan kosmopolitan, yaitu bahwa benih-benih humanismenya secara konkret dilandaskannya pada keyakinan agama dan kebenaran firman Allah. Sedangkan kita justru sering mempertentangkan antara keduanya.

Kelebihan ini harus diakui, lebih-lebih karena ia dimiliki oleh kiai desa yang tidak dapat menggunakan rem sepeda motor.