Sulit Masuknya Mudah Keluarnya

Foto Diambil dari; https://www.dutaislam.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KALAU ucapan di atas menimbulkan asosiasi yang tidak-tidak dalam pikiran, ya pantas saja. Apalagi diucapkan oleh seseorang yang di waktu senggang senang berbincang-bincang tentang tanda-tanda wanita cantik (“lihat dulu tumitnya”), atau “ngalamat“-nya wanita hanyak anak (walud, menurut bahasa pesantren), dan banyak bercerita tentang cara-cara “menjinakkan” istri yang rewel dan cerewet.

Tetapi, ternyata, bukan pengertian porno yang jadi arah ucapan tersebut. Kiai Wahab Chasbullah menggunakannya sebagai moto sikap hidupnya dalam menghadapi perkembangan politik semasa NU masih jadi partai dahulu.

Dalam kasus pembubaran DPR hasil Pemilu 1955, Kiai Bisri Syansuri sebagai wakilnya dalam PB Syuriah NU mati-matian menolak tindakan politik mendiang Presiden Soekarno sehabis mendekritkan kembalinya UUD 1945 di tahun 1959 itu. Tidak sah membubarkan DPR hasil pilihan rakyat, katanya. Haram untuk ikut dalam DPR-GR yang dibentuk secara tunjukan belaka sebagai gantinya. Masjumi dihilangkan haknya di situ. Berarti, hak seperempat jumlah rakyat pemilih, yaitu mereka yang nyoblos tanda gambar Bintang-Bulan dalam Pemilu 1955. Dan ini berarti pencurian hak orang banyak, “nggasab” menurut bahasa pesantren diambilkan dari kata “ghaslab” yang berarti pengambilan hak orang lain secara tidak sah.

Begitulah kurang lebih pendapat Kiai Bisri dalam perdebatan sengit pada sidang syuriah kala itu. Merah mukanya, suaranya semakin lama semakin lantang punggungnya semakin tegak dengan ketahanan duduk bersila berjam-jam lamanya tanpa mengubah posisi sama sekali. Tangannya juga berkali-kali memukul meja marmer yang dijadikan meja sidang. Saur manuk, kata orang Jawa mengenai prosedur rapat yang sudah kacau-balau itu: saling bersahutan antara dua lawan pendirian itu tanpa mengindahkan lagi wewenang mengatur lalu lintas berbicara di tangan ketua sidang. Bagaimana akan ditertibkan kalau yang berdebat begitu saja adalah justru Ra’is ‘Aam Kiai Wahab dan Wakil Ra’is ‘Aam-nya, Kiai Bisri?

Sampean seenaknya saja membuat keputusan hukum agama, terlalu murah, Tidak memperkuat keyakinan agama, nanti orang terbiasa memudahkan ajaran agama. Bagaimana jadinya umat kita nanti kalau sudah begitu? Sampean yang menjadi sebab, begitulah kira-kira rangkaian tuduhan Kiai Bisri kepada iparnya, Kiai Wahab.

Sampean sendiri yang main keras saja. Yang akan kita beri keputusan ini adalah orang banyak, tidak seperti kita. Banyak yang tidak kuat kalau pakai cara sampean ini. Antara yang “berat” dan “ringan” dalam soal agama justru harus diambil ringannya kalau menyangkut kepentingan orang banyak. “Kiai populis” Wahab Chasbullah yang punya sedan Opel Kapitan model terbaru tahun itu menudingkan “tuduhan main keras” itu kepada “Kiai elitis” Bisri Syansuri yang tidak pernah punya mobil sebuah pun selama hidupnya.

Mari kita ambil yang ringan saja dalam masalah DPR-GR ini. Gasaban atau tidaknya, belum pasti. Yang jelas, kalau tidak masuk, bukan haknya Masjumi saja yang hilang. Umat Islam semuanya juga akan kehilangan hak mereka. Ini satu-satunya peluang untuk memperjuangkan hak di lembaga perwakilan rakyat di negeri kita saat ini. Sulit untuk masuk kalau kita tolak kali ini. Kalau memang sudah ternyata nanti bertentangan dengan keyakinan agama, kita dapat keluar bersama-sama. Masuknya sulit, keluarnya mudah.

Dan, seperti biasa, Kiai Bisri tetap pada pendiriannya, sedangkan Kiai Wahab jalan terus. NU mempersilakan yang setuju untuk menerima keanggotaan DPR-GR itu. Pada yang berkeras, dipersilakan agar menolak. Sedang kedua kiai tua yang beriparan itu tetap saja berbeda pendapat dalam hampir semua persoalan sambil tetap menghargai satu sama lain dalam kehidupan pribadi mereka.

Tidak heranlah jika lalu tejadi metamorfosis pada waktu Kiai Wahab wafat dan Kiai Bisri menggantikannya sebagai Ra’is ‘Aam dalam tahun 1972. Kiai Bisri lalu lebih bersikap “ngemong” kepada cara berpikir seperti Kiai Wahab itu seolah-olah ingin menyatukan kedua kecenderungan itu dalam membuat keputusan.

Maklum, sejak waktu itu hingga saat kepulangannya ke rahmatullah beberapa waktu yang lalu, Kiai Bisri harus sering mengambil keputusan sendirian saja. Lain-lainnya di PBNU dan kemudian di DPP-PPP lebih berperan menyediakan bahan pertimbangan. Jangan berani coba-coba adu pendapat dengan “Mbah Bisri kalau tidak punya “senjata ajaib” seperti moto Kiai Wahab, “sulit masuk nya dan gampang keluarnya” itu.