Pesantren dan Ludruk

Foto Diambil dari: njombangan.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Karena ludruk berasal dari Jombang, ada kawan yang bertanya apakah pesantren yang menjadi penciptanya? Bukankah daerah itu daerah pesantren? Mengapa sampai kesenian rakyat yang satu ini justru muncul di sana?

Pertanyaan sambil bergurau ini ternyata membuka cakrawala baru dalam melakukan pengamatan atas kehidupan kaum santri kita di masa lampau. Sudah tentu dengan implikasinya sendiri bagi masa datang, karena ia berhubungan dengan masa depan agama Islam di tanah Jawa, dus menyangkut negara kesatuan tercinta ini.

Ah, terlalu melamun. Apa hubungan ludruk dengan masa depan Islam? Sudah yang berkaitan dengan pesantren belum dijelaskan, ditambah lagi proyeksi gombal yang terlalu jauh ini!

Tetapi, kenyataannya memang demikian. Islam mendarat dan, lalu, tertanam lebih kuat di kawasan pantai utara Pulau Jawa. Lalu, sedikit demi sedikit memasuki wilayah pedalamannya. Di Jawa Tengah, yang menjadi pusat kekuasaan yang menunjang budaya asli Jawa di garis pintas Solo-Kartasura-Yogya, terjadi proses interaksi yang bersifat seru tetapi berumur tidak terlalu lama antara budaya asli Jawa itu dan budaya Islam yang baru datang.

Segera tercapai keadaan status quo, bak orang berperang mencapai gencatan senjata: diakui hak budaya asli Jawa untuk memanifestasikan aspirasi keagamaan Islam di banyak wilayah kehidupan di pedalaman Jawa Tengah itu. Wayang dinikmati bersama, kiai pura-pura tidak tahu kalau ada wanita tampil dalam pagelaran kesenian setempat, bentuk masjid tradisional mengambil pola arsitektur kejawaan sejauh mungkin. Blangkon dan destar, bukannya peci dan kopiah haji, yang jadi tanda pengenal kaum santri pedalaman Jawa Tengah dahulu.

Baru kalau sudah kiai, atau ingin dianggap memiliki derajat kekiaian, lalu ada keinginan memakai sorban, seperti Pangeran Diponegoro. Tari rakyat Kentrung digunakan sebagai media ekspresi keagamaan di Magelang, ditarikan di luar tempat formal bagi upacara keagamaan (masjid, surau, dan sebagainya).

Pedalaman Jawa Timur lain lagi keadaannya. Pengaruh budaya asli Jawa tidak begitu kuat tertanam seperti di Jawa Tengah. Mungkin, karena terlalu jauh letaknya dari pusat kekuasaan waktu itu. Situasi gencatan senjata tidak segera tercapai.

Kaum santrinya lebih serem “menangani” keterlibatan aspek-aspek keagamaan. Tekanan kepada spiritualitas kaum tarekat dan legalisme kaum ahli fiqh menjadi watak utama kehidupan masa itu di kawasan pedalaman Jawa Timur. Wanita ikut pagelaran seni secara terbuka? Oh, tidak boleh. Ini salah satu contohnya.

Dalam perbenturan dan pergulatan kedua kekuatan sosial-budaya itu, karena inisiatif menyerang berada di tangan kaum santri, perlu didatangkan bala bantuan. Bukankah sikap menyerang membutuhkan lebih banyak pasukan? Kaum santri pedalaman Jawa Timur tidak membutuhkan bala bantuan prajurit. Karena ini bukan peperangan fisik, mereka membutuhkan bala bantuan opsir pemimpin serangan.

Untuk pergulatan sosial-budaya, adakah yang lebih tepat dari bala bantuan perwira berupa kiai sebagai “barisan opsir agamawan”? Adakah cara yang lebih tepat dari proses perkawinan dengan cara “mengambil” menantu calon-calon kiai dari pantai utara? Bukankah bentangan kawasan pesisir dari Cirebon di Jawa Barat hingga Sedayu di dekat Surabaya merupakan sumber penyediaan calon ulama yang tangguh dengan rangkaian pesantren-pesantren kunonya?

Asy’ari (ayah pendiri Pesantren Tebuireng, K. Hasyim), berasal dari Demak, diambil menantu oleh K. Uthman Jombang. Kedua kakak beradik Ma’sum dan Adlan Ali dari Sedayu juga, lalu, “mangkal” di Jombang, seperti halnya Bisri Syansuri yang berasal dari Tayu (Pati) dan Idris Kamali yang lahir di Cirebon. Makhrus Ali, dari Cirebon juga, kini memimpin pesantren besar di Kediri. Juwaini dan Jauhari adalah pemuda-pemuda Pati yang kemudian bermukim di Jawa Timur juga.

Kesemua calon kiai itu kini telah membentuk barisan kiai tangguh yang dituakan oleh masyarakat. Pesantren-pesantren Lirboyo, Kencong (Jember), Kretek (Kediri), dan Tebuireng adalah daerah kepemimpinan mereka sekarang ini. Merekalah yang jadi pimpinan serangan sosial-budaya kaum santri di garis lintas timur-barat Surabaya hingga ke Madiun dan garis lintas tenggara-barat laut Banyuwangi ke Jombang.

Belum lagi menantu-menantu baru masa kini yang baru memulai aksi mereka di atas pentas: Aziz Masyhuri dan Yusuf Masyhar dari Tuban yang kini berdomisili di Jombang, dan lain-lainnya lagi. Proses saling-penguatan yang menarik untuk dikaji dengan medium perkawinan antara sesama keluarga kiai tangguh dan tujuan “perjuangan” (sebagaimana mereka yakini sendiri) sosial-budaya yang intens.

Tidak heranlah jika lalu sikap kurang akomodatif terhadap aspek-aspek kesenian asli Jawa lebih berkembang di pedalaman Jawa Timur: pagelaran kesenian keagamaan umumnya berlangsung di tempat-tempat peribadatan formal (masjid dan sebagainya), seperti kesenian hadrah, wayang lebih sedikit dipertunjukkan, tayuban boleh hanya kalau buka musim giling pabrik gula, dan seterusnya.

Wanita tetap tidak boleh memperagakan diri dalam pagelaran di muka umum Sudah wayang sangat sedikit dipertunjukkan, melihat penari non-wanita kurang asyik. Bagaimana kalau drama urakan dengan pemain pria berperan sebagai wanita? Lahirlah ludruk sebagai “status quo kecil”. Pencipta aslinya adalah kelompok-kelompok seniman yang nantinya melahirkan Markuat dan Durasim serta Markaban (ah, betapa masih santrinya nama-nama mereka!).

Itu semua masa dahulu. Bagaimana sekarang? Yang tua dan muda, ya, sama saja. Lelaki-wanita diterima juga. Namun demikian, tradisi akomodasi yang datang belakangan ini tentu tidak sama manifestasinya dengan keakraban lama yang ada antara budaya asli Jawa dan budaya santri di pedalaman Jawa Tengah.

Kalau keakraban lama ini dapat menghasilkan kreasi budaya yang lebih mampu menangani masalah kesenjangan sosial-budaya antara golongan yang berbeda-beda di negeri ini, bukankah peranan mereka akan sangat vital? Dan kalau ini terjadi secara nyata, bukankah manifestasi hidup kesantrian juga lalu akan mengalami perubahan-perubahan mendasar?

Kalau keadaan demikian yang benar-benar terjadi, siapakah yang akan dapat menyangkal terjadinya perkembangan menentukan bagi masa depan Islam di negeri ini? Ada yang melakukan penyangkalan seperti itu, yaitu kenyaman sejarah di masa depan. Atau, justru, membuktikannya.