Kiai Razaq yang Terbakar
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
KIAI Abdul Razaq Makmun adalah profil tersendiri di antara “barisan” kiai di kalangan kaum Betawi. Kalau para kiai lain getol melancarkan serangan gencar pada hal-hal yang modern, kiai dari “Golongan Tegalparang” ini justru memakai pendekatan serba ringan. Kalau para kiai lain menunjukkan kata-kata tajam, Kiai Razaq justru tidak pernah menyinggung-nyinggung perbedaan agama. Kalau para kiai lain sibuk mengutuk berbagai penyimpangan dari ajaran agama, seperti kasus judi beberapa tahun yang lalu, Kiai Razaq justru jarang menyoroti soal-soal hangat seperti itu.
Tema pembicaraannya, walaupun dibumbui humor segar dan penuh dengan “dalil” ayat Alquran dan hadis Nabi, biasanya hanya berkisar pada pentingnya kerja menuntut ilmu. Tema tunggal ini disampaikannya secara menetap selama puluhan tahun.
Walaupun dihormati almarhum Kiai Bisri Syansuri sebagai salah satu di antara sedikit ulama Betawi yang “mengerti hukum agama secara mendalam”, sedikit sekali diperagakannya kebolehan di bidang fiqh itu. Paling-paling hanya ketahuan kalau sedang ada musyawarah hukum agama di kalangan syuriah Nahdlatul Ulama.
Di luar forum terbatas dan periodik seperti itu, yang disampaikannya hanyalah pesan menuntut ilmu bagi kepentingan agama.
Mengapa demikian tekun ia dengan tema tunggalnya itu? Mengapakah kiai-kiai lain justru tidak demikian?
Banyak sebab dapat dicari, tetapi yang terpenting tentunya adalah kehidupan kejiwaannya sendiri. Ia berkembang dalam suasana yang memuliakan pencapaian standar pengetahuan agama yang tinggi, bukannya hanya sekedar “kiai-kiaian”. Karena kedalaman pengetahuannya ini, ia melihat kekuatan agamanya sendiri.
Pantaslah kalau ia tidak begitu melihat ancaman proses modernisasi. Selama masih ada ulama berpengetahuan agama mendalam yang akan memimpin umat melakukan proses penyaringan atas jalannya modernisasi itu sendiri, tidak usah kita histeris atau panik. Asal anak muda mau mempelajari ilmu-ilmu agama yang diistilahkannya sebagai “mencari ilmu”, selama itu pula akan ada proses seleksi yang baik.
Jawaban atas tantangan modernisasi, dalam pandangan Kiai Razaq, adalah anjuran “menuntut ilmu”.
Tata nilai yang dianutnya masih tergolong apa yang oleh Sharon Siddiqui dari Institute of Southeast Asian Studies sebagai “budaya Islam pesisir”: penghormatan kepada kaum sayid, terutama almarhum Habib Ali Kwitang. Watak hidupnya masih serba tradisional, dalam artian mengikuti amalan-amalan agama yang sudah berumur ratusan tahun tanpa banyak mengalami pergeseran.
Walaupun demikian, rasionalitasnya, yang dibawakan oleh keyakinan penuh kepada ilmu-ilmu agama sebagai pengarah kehidupan, membawakan pendekatan tersendiri pada masalah dasar yang dihadapinya dalam kehidupan. Rasionalitas yang tidak mencari argumentasi serba logis dari ilmu pengetahuan modern, melainkan yang berpangkal pada integritas ilmu-ilmu agama itu sendiri.
Dari sudut pengenalan ini, kita tidak heran ketika akhir-akhir ini terjadi perkembangan menarik dalam pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya. Kiai Razaq tidak lagi hanya berpesan tentang pentingnya “menuntut ilmu”, melainkan tentang pentingnya…. transmigrasi.
Transmigrasi? Dari kiai tradisional ini? Dari mana ia peroleh gagasan itu? Apakah yang mendorongnya berbicara begitu bersemangat tentang transmigrasi?
Persoalannya sederhana saja. Di dalam berdialog dengan dirinya sendiri. ditemukannya cara terbaik untuk lebih mematangkan sikap hidup kaum muslimin Betawi. Sikap hidup yang akan menghasilkan perbaikan kualitas hidup mereka kelak, tetapi terlebih-lebih lagi yang akan mendorong generasi muda untuk “menuntut ilmu” melalui penyediaan sarana sosial-ekonomisnya.
Bukankah di tempat baru mereka akan mendapat perbaikan situasi ekonomi masing-masing? Bukankah akan lebih mudah bagi mereka untuk membiayai pendidikan agama di tempat baru, daripada berjubel di tempat lama dengan sumber-sumber ekonomi yang semakin mengecil?
“Menuntut ilmu” diwajibkan oleh agama. Bukankah prasarana untuk kerja tersebut juga menjadi wajib, sesuai dengan kaidah “ma la yatimmal wajibu ill bihi fakuwa wajibun” (sesuatu yang menyempurnakan kewajiban berstatus wajib Pula)? Transmigrasi menjadi wajib, karena ia merupakan persyaratan bagi kewa jiban “menuntut ilmu” di kemudian hari. Belum lagi dihitung kepentingannya bagi pembangunan nasional.
“Ane udah bentuk satu yayasan untuk membantu pemerintah dalam soal transmigrasi,” ujarnya dalam gaya khas Betawi pada sebuah penataran mubalig bulan puasa yang lalu. “Sayang, enggak inget namenye. Maklum, panjang banget namenye.”
Hadirin tertawa mendengar ucapan terakhir ini; bagaimana orang dapat lupa pada nama yayasan yang didirikannya sendiri. “Ente semue jangan ketawa dulu. Pikir mateng-mateng pesen ane ini. Diskusiin biar lame. Tanggung deh, ente semue nanti lebih kebakar dari ane sekarang.”
Begitu yakin Kiai Razaq dengan ajakannya yang baru ini, sehingga ia membuat perkiraan keadaan di masa datang: “Dua puluh taon lagi, tanggung deh, ente semue bakal bilang Kiai Razaq orangnye jempol. Sekarang sih belon ketahuan!”