Ustadz yang Hidup di Dua Dunia

Foto diambil Dari; https://www.facebook.com/AlanwaarMajelis/photos

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

HIDUP di dua dunia umumnya memiliki konotasi tidak baik, ada yang disembunyikan dari dunia yang satu terhadap dunia yang lain. Bagaikan beristri lebih dari satu: kepada istri tua tidak mau mengaku datang dari rumah istri kedua, begitu juga sebaliknya. Tetapi, ternyata, konotasi tidak baik bukan pada tempatnya dilekatkan pada kehidupan dua dunianya Ustad Abdur Razak Khaidir dari Tegalparang.

Orang Betawi memberi nama bermacam-macam kepada kaum agamawan mereka. Yang masih belum sepenuhnya diterima sebagai kiai, tetapi telah menunjukkan potensi kuat untuk itu, dinamai ustad (kalau ikut dialek Arab-Mesir). Yang telah mapan diberi nama mu’allim. Sekarang datang gelar baru, yang diambil dari budaya Jawa: kiai. Yang dari keturunan Arab dan dianggap masih berhubungan darah dengan Nabi, dinamai habib, sayyid, syarif dan seterusnya.

Tetapi, kesemuanya itu masuk dalam kategori tinggi sebagai guru kite. Istilah umum yang menunjukkan tingginya status sosial mereka dalam masyarakat tradisional Betawi.

Ustad Razak mengikuti pola umum pendidikan untuk menjadi agamawan di wilayah Jakarta Selatan: mengaji Alquran di langgar pada seorang ustad di waktu kecil, dilanjutkan belajar di sebuah sekolah agama, untuk diakhiri dengan belajar di “tanah Arab”. Mula-mula sebagai “mukimin” di Mekah selama bertahun-tahun, kemudian dilanjutkan juga di Mesir sampai pulang ke tanah air di tahun 1967.

Sekembalinya dari menuntut “ilmu” di rantau orang, ia kembali mengikuti pola umum untuk menempatkan diri di barisan ulama Betawi: membantu mengajar di madrasah untuk disambung dengan memberikan pengajian di luar kepada rakyat awam dan, akhirnya, hanya sibuk dengan pengajian — tanpa mampu lagi mengajar di sekolah.

Pengajian di luar, di lingkungan majelis taklim yang tersebar di seluruh kawasan tradisional kaum Betawi, mula-mula dilakukan dengan susah payah. Keluar masuk perkampungan terpencil tanpa jalan beraspal, berjalan kaki di jalan berlumpur yang tidak dapat dimasuki kendaraan. Mengajarnya pun hanya kepada kelompok-kelompok pengajian yang kecil.

Kemudian “nasib”-nya membaik. Pengajian bertambah banyak, dan tersebarnya pun pada masjid-masjid “strategis”. Ditambah lagi akhirnya menjadi dosen IKIP, sudah tentu di bidang keagamaan dan sastra Arab.

Kini sudah keren idupnye, kalau meminjam istilah orang Betawi: rumah cukup besar, mobil Corona tahun akhir-akhir, dan memiliki “merek dagang” berbentuk jas putih dan sorban yang juga berwarna putih kalau berangkat ke pengajian. Acara sudah padat, tenggorokan sudah sering tidak mampu melayani kehendak orang banyak. Statusnya sudah diterima di kalangan ulama lain.

Walhasil, gambaran konvensional dari pemunculan seorang guru kite yang masih muda.

Tetapi, ternyata, ada unsur lain yang membuatnya tidak konvensional. Kalau calon-calon mualim lain masih ribut dengan masalah konvensional, seperti urusan judi, menentang rambut gondrong, ribut mempertahankan status quo suasana moral lama, maka ustad yang juga guru kite ini justru membawakan pesan-pesan yang memandang jauh ke depan.

Ia mempersoalkan beberapa masalah yang sebenarnya cukup mendasar, dan disampaikannya dengan gaya orang Betawi pula — gaya santai yang khas dan penuh ilustrasi kejadian sehari-hari yang diseling dengan rangkaian “dalil” berupa ayat Alquran, hadis Nabi dan mutiara hikmah dari para ulama terdahulu. Pendapat sendiri dikemukakan hanya sebagai tambahan atas pendapat ulama kuno — sama sekali tidak menyanggah atau menyangkal. Tidak heranlah jika sedikit sekali terjadi penolakan atau kehebohan di sekitar pernyataannya.

Misalnya perkara naik haji. Syarat cukupnya kemampuan ekonomis sebelum memutuskan pergi ke Mekah mununaikan ibadah haji dikaitkannya dengan hikayat ahli hadis Abdullah ibnu Mubarak.

Sebagai ketua rombongan kafilah haji dari negerinya, Abdullah ibnu Mubarak menjumpai wanita melarat yang menyuapi anaknya dengan daging bangkai. Ketika ditanya apakah tidak mengerti haram hukumnya memakan bangkai, wanita itu menjawab bahwa ia mengerti, tetapi ia terpaksa. Tidak ada makanan lain.

Sang ahli hadis lalu memerintahkan seluruh rombongan untuk membatalkan perjalanan haji, menyerahkan perbekalan kepada wanita itu, dan kembali pulang. Tidak wajib haji, katanya, selagi masih ada yang melarat. Ucapan ahli hadis itu dikiaskan oleh ustad kita ini kepada lebih wajibnya memelihara lembaga pendidikan (yang akan menghilangkan kemelaratan) daripada kewajiban berhaji dua kali dan seterusnya.

Dunia ini persiapan untuk kehidupan akhirat kelak, kata sang ustad sewaktu mengaji di Ciganjur. Kehidupan akhirat sangat tergantung dari kualitas hidup di dunia: kalau bodoh, melarat dan terkebelakang, tidak banyak yang dapa diperbuat di dunia ini untuk kepentingan kehidupan akhirat kelak. Kalau tidak kuat ekonominya, tidak mungkin pergi menunaikan ibadah haji, padahal ibadah haji adalah persiapan lebih sempurna lagi untuk kehidupan akhirat itu. Kehidupan bahagia di akhirat berkaitan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia pala, karena kehidupan dunia adalah bagian dari kehidupan akhirat.

Menarik sekali untuk dikaji lebih jauh pandangan seperti ini: membedaka hidup di dunia dari hidup di akhirat, tetapi meletakkan keduanya dalam jalur dan kadar yang sama. Ada persambungan antara keduanya, kata sang ustad Kesinambungan, kata favoritnya. Kontinuitas, kata kamus antropologi Wakhira, “manunggalnya” dunia dan akhirat.

Bukankah cukup baik untuk hidup di dunia seperti yang dilakukan Ustad Razak ini, bukan? Mengapakah kita masih berkeras juga untuk terlalu memisahkan antara keduanya? Mengapa harus dipertentangkan, padahal saling melengkapi? Mengapa takut dituduh Calvinist, kalau semuanya bersumber dan ajaran agama sendiri?

Ustad Razak, seumur hidupnya mungkin belum pernah mendengar nama Calvin dan sepanjang umurnya hanya mengurusi pandangan orang Islam saja.