Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan GD

Islam Kosmopolitan – Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan

1A Kumpulan Tulisan GD
Islam Kosmopolitan – Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan
Judul
Islam Kosmopolitan – Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan
Penulis
Abdurrahman Wahid
Editor (Penyunting)
Agus Maftuh Abegebriel, Ahmad Suaedi
Penerbit
The WAHID Institute Jakarta, Mei 2007 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

BAB I. AJARAN, TRANSFORMASI DAN PENDIDIKAN AGAMA

 

BAB II. NASIONALISME, GERAKAN SOSIAL DAN ANTI KEKERASAN

 

BAB III. PLURALISME, KEBUDAYAAN DAN HAK ASASI MANUSIA

Sinopsis

Ada tiga bagian yang terangkum dalam buku ini. Bagian pertama tentang ajaran, transformasi, dan pendidikan agama. Bagian kedua, nasionalisme, gerakan sosial, dan anti kekerasan. Bagian ketiga, pluralisme, kebudayaan, dan hak asasi manusia.

 

Kalau dipetakan, ketiga bagian ini adalah semangat yang diperjuangkan oleh Gus Dur selama hidupnya. Selalu bergerak pada isu-isu yang menyangkut nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Buku ini diterbitkan oleh Wahid Institute (sekarang berubah menjadi Wahid Foundation) pada 2007.  Wahid Foundation adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Gus Dur pada 2004 yang bergerak di bidang moderasi dan multikulturalisme.

 

Kalau kita ingin mengetahui dari mana landasan atau prinsip dasar yang dipakai oleh Gus Dur di segala aktivitasnya terkait hal ihwal universalisme islam, buku ini patut menjadi rujukan utama. Selain itu, ada juga  Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang terbit pada 2006 dengan penerbit yang sama.

 

Dengan membaca buku ini, kita diajak tidak hanya sekadar membaca teks an sich (maa fi an-nash), tetapi juga apa saja yang melingkupi hadirnya teks tersebut (maa haula an-nash), sehingga kita mendapatkan pemahaman yang utuh dari kehadiran teks itu sendiri.

 

Dalam tulisan Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?, Gus Dur menuliskan bahwa kita ini tidak dituntut untuk mendirikan mazhab-mazhab fikih (aliran-aliran hukum islam) maupun teologi islam seperti yang dilakukan para imam mujtahid: Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan al-Asy’ari, Abu Manshur al-Maturidi, dan yang lainnya, namun saat ini kita ditugasi bagaimana menerapkan secara kreatif (mengkontekstualkan) aturan-aturan yang sudah dirumuskan itu ke dalam kehidupan kita sekarang. Kata Gus Dur, hal itu jauh lebih sulit dibanding mendirikan mazhab itu sendiri.

 

Membaca tulisan Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, yang menjadi inspirasi dari judul buku ini, kita diajak memahami lebih sederhana dari konsep maqasid as-syari’ah. Gus Dur memberikan terjemahan bebas dari konsep hak dasar yang diberikan oleh agama samawi kepada kehidupan masyarakat. Seperti hifdzu an-nafs, hifdzu ad-din, hifdzu an-nasl, hifdzu mal, dan hifdzu al-aqli.

 

Gus Dur menerjemahkan kata hifdzu (حِفْظ) bukan dengan sebagaimana kebanyakan orang mengartikan: ‘menjaga atau memelihara’, tetapi Gus Dur memilih redaksi ‘keselamatan’. Keselamatan fisik, keselamatan keyakinan, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda, dan keselamatan hak milik dan profesi. Diksi tersebut jauh lebih tepat, sesuai dengan konteksnya. Hal seperti itulah yang dipakai oleh Gus Dur dalam membaca sebuah teks.

 

Selain itu, Gus Dur juga mengenalkan istilah-istilah atau kosa kata asing, seperti weltanschauung (bahasa Jerman), yang mempunyai arti ‘hakikat, nilai, arti, dan tujuan hidup manusia’. Kosa kata yang dimunculkan itu tidak hanya untuk keren-kerenan, tetapi memang memiliki maksud yang dalam.

 

Dengan membaca buku ini, kita akan tahu pandangan Gus Dur tentang maqasid as-syariah yang diartikan sebagai universalitas pandangan hidup. Bahwa ajaran Islam itu harus terbuka dan kita yang masih hidup ini sebisa mungkin memberikan kemanfaatan dan kepedulian atas nasib sesama, terutama kalangan mustadh’afin.

 

Islam hadir tidak hanya memikirkan kehidupan akhirat saja tetapi juga untuk kepentingan membentuk peradaban di kehidupan dunia, sebagai wakil Tuhan (khalifah). Ukhrawi oke, duniawi juga jalan, harus seimbang. Karena tak bisa dipungkiri, bahwa kemiskinan dan terbelakang selalu melekat dengan mayoritas muslim di Indonesia.

 

Sebab itu, jika Islam tidak memikirkan nasib-nasib kalangan rakyat kecil ini lalu bagaimana ketika kita menginginkan kebangkitan Islam?

 

Tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini hematnya adalah bagian dari refleksi sekaligus menggugah umat Islam untuk bergerak menuju kebangkitan itu. Inti dari Islam Kosmopolit adalah terbuka dengan beragam cara pandang dan kebudayaan, serta mampu memberi rahmat kepada sesama. Gus Dur menerjemahkan sosok muslim yang kosmopolit dengan tiga hal: memberi manfaat, menjauhkan diri dari mafsadat, dan berbuat maslahat.