Agama dan Tantangan Kebudayaan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengagungkan Tuhan dan di dalam mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Kita dapat melihat hal ini, umpamanya, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi pada saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan, drama politik biasa –seperti terbunuhnya Sayidina Hussein, cucu Nabi Muhammad di tangan anak buah Yazid, yaitu Muslim bin Aqil, di kota Karbala (sekitar 150 km sebelah barat daya Baghdad)- kadang-kadang diangkat menjadi peristiwa agama. Pada tanggal 40 Muharram setiap tahun, peristiwa itu dirayakan secara besar-besaran, dan jutaan orang datang untuk menyaksikan diperagakannya drama (prosesi) berbagai tahap kehidupan Sayidina Hussein (termasuk ketika dia dibunuh) di berbagai bagian kota itu.

Kita dapat pula melihat jenis prosesi lain seperti barongsai, yang sesungguhnya juga merupakan peristiwa agama. Ketika Sang Naga (dalam kepercayaan Kongfusian) berusaha menguber pusaka Cuk yang bulat kecil dan kaya mutiara, maka di situ diperlambangkan sebuah pergulatan antara keangkaramurkaan dengan kearifan penguasa. Sementara itu, di Bali atau Malaysia, orang-orang Hindu selalu menggunakan salah satu unsur budaya, yakni seni, di dalam upacara keagamaannya.

Dalam semua contoh di atas, jelas sekali bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupannya. Dapatlah dikatakan bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia ialah Seni.

Di sisi lain, teologia, dalam usaha menerangkan adanya Tuhan, dan bagaimana memfungsikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga memakai unsur lain dari kebudayaan, yaitu pemikiran-pemikiran filosofis. Refleksi filosofis (mengenai agama) adalah sesuatu yang bersifat keagamaan. Di situ tampak bahwa kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan di situ juga terjadi proses penyesuaian antara kebudayaan dan agama secara utuh.

Tetapi, itu baru satu sisi. Sisi yang lain adalah sisi hubungan yang tidak serasi. Sebagai contoh, di dalam sebuah film diceritakan tentang seorang janda yang dilempari batu hingga mati karena dituduh melakukan perzinaan. Oleh penduduk kampung itu, pelemparan batu itu dianggap sebagai peristiwa agama. Tetapi, ada seorang yang beriman (dalam istilah Th. Sumartana [1], seseorang beriman belum tentu beragama) yang menyampaikan protes tatkala melihat kejadian itu. Ia bertanya mengapa agama begitu kejam kepada manusia. Padahal, dalam kitab suci Injil, misalnya, Isa al-Masih dengan nada menggugat mempersilakan orang yang tidak pernah berzina untuk melempari perempuan yang telah melakukan perbuatan itu.

Jelas, di situ, antara norma agama yang ingin diterapkan dan kondisi manusia yang mengembangkan kebudayaan terdapat ketidaksesuaian. Padahal, berkebudayaan artinya meninggalkan kebudayaan pada titik tertentu untuk sampai kepada titik tertentu yang lain. Mestinya, yang paling berkebudayaan adalah yang tidak berzina, sehingga mestinya juga yang paling beradab. Namun, manusia selalu sepotong, tidak pernah utuh, dan kesepotongan manusia ini ditunjukkan dengan nyata dalam kasus perempuan yang berbuat zina di atas.

Konsekuensinya, karena seluruh manusia berdosa, maka kebudayaan yang dikembangkannya juga kebudayaan yang terpotong, tidak utuh. Jadi, di sini terlihat suatu kesenjangan antara agama dan kebudayaan.

******

Apa yang dikemukakan di depan dapat kita tarik pula ke dalam perspektif Islam. Islam dilahirkan sebagai agama hukum. Hukum itu sebenarnya adalah aturan, dan karenanya yang melaksanakan aturan dinamakan hakim. Aturan yang tertinggi, yang mempunyai kemampuan memaksa adalah undang-undang. Di sini menjadi jelas bahwa dalam Islam, aturan main yang sudah dibuat oleh agama memegang supremasi tertinggi.

Tidak ada yang boleh membantahnya. Banyak orang yang melanggar aturan-aturan agama mendapatkan hukuman. Jika orang Islam menulis bahwa dahulu kala Gereja Katolik membuat inkuisisi, dan oleh karena itu Katolik dinyatakan sebagai agama yang berwawasan paling sempit, maka jangan lupa sesungguhnya agama Islam telah pula melakukan ihwal yang serupa. Agama Islam juga penuh dengan pembakaran-pembakaran orang yang dianggap melakukan bid’ah, seperti Zunnun Al-Misri [2], Suhrawardi al-Maqtul [3], dan Ibnu Arabi [4]. Kalau di Indonesia, orang itu adalah Syekh Siti Jenar, yang oleh para Wali Songo dihukum mati karena menyimpang dari agama.

Penyimpangan-penyimpangan ditindak dengan tegas. Norma-norma agama dianggap abadi, harus ditegakkan dengan segala konsekuensinya. Salah satu konsekuensi tersebut adalah penumbuhan aturan-aturan agama itu ke dalam aturan-aturan masyarakat. Dan karena berkaitan dengan masyarakat, maka harus ada unsur pemaksa dalam undang-undang hukum negara. Dapatlah dimengerti jika orang-orang Islam karenanya selalu menuntut pelaksanaan aturan-aturan agama secara tuntas di dalam kehidupan kaum muslimin melaui aparat negara.

Di sinilah terletak pada umumnya, pandangan konvensional Islam tentang pengaturan hidup. Oleh karena itu, Malaysia yang sudah demikian majemuk (plural), di mana selisih jumlah penduduk antara mayoritas muslim dan minoritas Konfusian tidak mencapai 15 persen, pun selalu menuntut dilaksanakannya hukum atau syri’at Islam secara penuh. Indonesia juga demikian. Sebelum kemerdekaan, gerakan-gerakan Islam pernah mengajukan tuntutan serupa. Namun, dengan segala kearifan para pemimpin bangsa ini, kelahiran Republik Indonesia tidak didasarkan kepada syari’ah, melainkan kepada Pembukaan (Preambule) UUD 1945. Di mana masalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sengaja dipisahkan dari masalah syariah. Dengan perkataan lain, “Piagam Jakarta” (kalimat: “kewajiban menjalankan syari’ah Islam bagi para pemeluknya”) tidak dijadikan pegangan, landasan atau ketentuan dalam kehidupan bernegara.

Tetapi, kisah ini sekaligus menunjukkan bahwa kecenderungan atau keinginan untuk menerapkan hal itu selalu ada. Oleh sebab itu, setiap pemegang kekuasaan pemerintahan di negeri-negeri dengan jumlah penduduk kaum muslimin cukup besar, atau bahkan merupakan mayoritas, selalu dipusingkan oleh tuntutan ini.

Sebelum wafat, Presiden Anwar Sadat pernah mencoba untuk mengakomodasikan hukum Islam itu ke dalam undang-undang. Pada waktu itu, ia menunjuk sebuah komisi khusus Parlemen yang dipimpin oleh Solah Abu Syeh, seorang pengacara dan ahli hukum yang sangat dihormati, yang menguasai baik hukum negara Barat maupun hukum Islam. Namun, ketika Anwar Sadat pada akhirnya tidak kunjung mengukuhkan syariah sebagai hukum Mesir, ditambah lagi lahirnya persetujuan damai dengan Israel, maka di mata kelompok-kelompok yang berpandangan sempit (yang umumnya disebut sebagai Islam fundamentalis, suatu istilah yang sesungguhnya sangat tidak tepat), ia sudah dianggap sebagai orang kafir yang harus dibunuh.

******

Mindset atau pola pikir orang-orang Islam tampaknya telah terpola demikian, sehingga mau tidak mau, Islam selalu dibuat berhadapan dengan kebudayaan. Dengan kata lain, pola pikir demikian menciptakan suatu kesenjangan, bahkan ketegangan, antara Islam dan kebudayaan. Mengapa? Seperti kita maklumi, kebudayaan merupakan hasil perkembangan cara hidup manusia. Dan kebudayaan itu tidak pernah statis, senantiasa berkembang. Apa yang dahulu dipandang pantas, sekarang barangkali tidak pantas lagi. Sebaliknya, apa yang pada masa silam tidak pantas, kini menjadi pantas. Apa yang dahulu konvensi, sekarang dianggap keanehan, tetapi apa yang dahulu aneh kini malah dianggap konvensi.

Sementara itu, juga ada “daerah gelap” di tengah kontradiksi-kontradiksi seperti dikemukakan di atas. Contohnya, menurut K.H. Yusuf Hasyim [5], generasinya merupakan “generasi sial”. Alasannya generasi mereka sering “dipukuli” oleh orang tua mereka, disuruh macam-macam, namun kehendak mereka tidak pernah dituruti oleh para orang tua. Akan tetapi, dia sebagai orang tua sekarang tidak berani melakukan hal yang sama terhadap anak-anak mereka. Bahkan sialnya, anak-anak masa kini berani memukuli para orang tua. Dulu “dijajah” orang tua, sekarang “dijajah” anak-anak. Ketundukan kepada orang tua yang dahulu dianggap mutlak dan biasa, kini tidak dapat diterima begitu saja.

Sekarang, jika orang tua memukuli anak mereka, maka mereka –seperti yang telah terjadi di Amerika- bisa dituntut ke pengadilan, dan posisi mereka sebagai orang tua bisa dibatalkan. Sang anak bahkan meminta agar orang tuanya diganti. Ini yang saya katakan yang dahulu konvensional, sekarang tidak konvensional lagi. Yang dahulu tidak konvensional, dewasa ini menjadi konvensional. Inilah kebudayaan; selalu ada unsur-unsur yang menetap, tapi dengan fluktuasi-flluktuasi tertentu dari zaman ke zaman. Semua ini membuat hidup manusia tidak klop (sesuai) sepenuhnya dengan aturan-aturan normatif yang abadi atau diabadikan.

******

Tarik-menarik antara kebudayaan dengan agama sangat kentara di dalam Islam. Sebuah ilustrasi lain, yang barangkali agak lucu, namun mempunyai relevansi dengan pembicaraan kita berikutnya patut disampaikan di sini. Ilustrasi itu adalah mengenai santri “modern”. Dibandingkan dengan santri “kuno” (tradisional), santri modern harus berpikir berulangkali pada saat hendak memutuskan akan menikah lagi. Ini pencerminan dari kondisi kebudayaan yang senantiasa berubah itu.

Dahulu, untuk kawin lebih dari satu, makna keadilan yang terdapat dalam al-Qur’an, surat an-Nisa’ ayat 3, kerap diterapkan dengan cara pikir yang sederhana. Seorang lelaki yang ingin menikah lagi cukup menghitung –apakah ia bisa membagi atau tidak- penghasilan dan ketersediaan waktunya secara adil. Cara seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang. Seorang muslim modern yang ditanyai perihal ini akan menjawab bahwa cara hitung-hitungan seperti itu tidak dapat lagi dijadikan patokan. Ukuran keadilan ditentukan oleh objek, dalam hal ini adalah perempuan, bukan subjek si laki-laki. Sebab, jikalau pria menerapkan ukuran keadilan atas wanita hanya dari sudut pandangnya belaka, maka betapa pun perlakuannya tidak adil, niscaya ia akan memandangnya sebagai adil.

Pandangan baru mengenai keadilan seperti di atas sudah umum diterima di kalangan muslim modern. Tetapi, mereka belum berani maju melangkah ke satu tahapan lagi, yakni menyelenggarakan plebisit. Sebab, jika keadilan ditentukan oleh objek hukum (dalam kasus pernikahan lebih dari satu, objek hukum adalah wanita), maka sebagai konsekuensinya, plebisit sebaiknya diadakan, dan atas dasar plebisit itu, undang-undang dapat dibuat yang kelak akan mengatur ketentuan apakah menikah dengan wanita lebih dari satu –yang kedua-duanya masih hidup- diperbolehkan atau tidak.

Hal seperti di atas dahulu pernah diinginkan Habib Burguiba di Turki manakala ia melarang poligami. Tetapi, mereka yang belum mengerti, termasuk kaum wanita, dengan marah menentangnya. Mereka berpendapat bahwa larangan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan al-Qur’an.

Mereka tidak teliti, bahwa ketentuan al-Qur’an sendiri membuka diri tehadap perubahan dengan mengatakan, “Kalau tidak dapat bersikap adil, cukup menikah satu kali.” Ketentuan ini mirip dengan undang-undang dasar di banyak negara yang menyatakan bahwa konstitusi itu dapat diubah melalui sebuah amandemen.

Kembali kita melihat di sini ketegangan-ketegangan yang terus-menerus terjadi. Salah satu wajah ketegangan itu adalah upaya untuk menundukkan kebudayaan kepada agama melalui sebuah proses pemberian legitimitas (proses legitimasi). Legitimitas diberikan bukan sebagai alat penguat, tetapi sebagai alat pengerem. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan (penyempitan) terhadap hal-hal yang dipandang sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan agama. Penyaringan ini bermakna Yang “diperbolehkan” adalah yang memperoleh legitimasi, sedangkan yang di luar itu, tidak diperbolehkan.

******

Di dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU), hingga sekarang ini berlaku ketentuan mengenai tarikat (ordo-ordo sufi). Berdasarkan ketentuan ini, ada sebanyak 45 tarikat yang diakui atau disahkan sebagai tariqah muktabarah. Di luar jumlah itu NU tidak mengakuinya. Di sini tampak bahwa proses pemberian legitimasi dilakukan melalui hukum agama, dalam hal ini fiqh.

Fiqh dibuat oleh para ulama melalui perdebatan-perdebatan dalam pelbagai kongres, muktamar, atau musyawarah nasional. Setiap bulan, di tingkat ranting (desa) dan kecamatan sampai kabupaten, komunitas NU menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan. Isi pertemuan adalah pembahasan mengenai masalah-masalah agama, termasuk asuransi jaminan sosial atau praktik bayi tabung dari sudut pandang agama dan fenomena sosial lainnya. [6] Bahkan, dibahas juga hukum dari kehadiran Ketua Umum PBNU dalam acara-acara seminar yang diselenggarakan lembaga-lembaga Kristen. Dalam kasus terakhir ini, misalnya, dipertanyakan apakah kehadirannya diperbolehkan atau harus dilarang. Hukum fiqh itu, ketika nantinya ditingkatkan menjadi ketentuan yang berlaku mengikat semua, akan dinamakan syariah. Dengan perkataan lain, hukum fiqih itu sebenarnya adalah aturan pra-syariah.

Ada kalanya, fungsi fiqh sebagai penyaring dan pengokoh sangat manfaat. Umpamanya: ketika orang Islam sedunia menghadapi kebingungan seputar masalah hubungan antara negara dan Islam, maka NU dengan tandas menyatakan bahwa “Negara yang bukan negara Islam, asal memperkenankan para pemeluk agama Islam menjalankan ajaran agama mereka dengan bebas, maka negara itu harus dipertahankan.”

Tetapi, tidak kurang-kurang, fiqh itu juga dapat mengganggu. Contohnya pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melarang (mengharamkan) pemutaran film Schindler’s List dan melarang ucapan selamat hari Natal dan bahkan mengirim kartu Natal, dengan alasan bertentangan dengan ajaran agama. Menghadapi persoalan-persoalan seperti ini sungguh melelahkan. Seakan-akan, kita senantiasa berhadapan dengan ketegangan-ketegangan yang tidak terlerai, sementara, seakumulatif, persoalan-persoalan seperti itu selalu bertambah hari demi hari. Yang dahulu tidak dipermasalahkan sekarang semuanya menjadi masalah.

Persoalan-persoalan meletihkan itu muncul karena banyak tokoh-tokoh Islam yang tidak membedakan mana yang ibadah dan mana yang bukan ibadah, atau tidak mampu membuat kenisbian atas hukum agama. Ibadah (worship) memang tidak dapat ditawar-tawar. Namun, perihal mengirimkan kartu Natal atau pemutaran film di atas tidak berkenaan dengan soal ibadah.

Dalam fiqh ada kaidah demikian “al-ashlu fil ibadah tahrimuha, illa idza dalla al-dalilu ‘ala tajwuiziha” (asal aturan di dalam masalah ibadah adalah pelarangan atasnya, kecuali kalau ada petunjuk yang memperkenankan). Sedangkan tentang hal-hal di luar ibadah atau muamalah adalah: al-asłu fil mu’amalah tajuizuha, illa idza dalla addalilu ala tahrimiha (semua hal yang diperkenankan kecuali kalau ada petunjuk yang melarangnya). Mengenai shalat, umpamanya, terdapat petunjuk ayat-ayat tentang shalat, sehingga shalat lalu boleh dilakukan. Kalau petunjuk itu tidak ada, maka shalat tersebut tidak boleh diadakan. Karenanya, antara Muhammadiyah dan NU dahulu tak henti-hentinya menghadapi persoalan mengenai boleh tidaknya melakukan shalat tertentu. Misalnya, menurut pihak Muhammadiyah ada shalat yang dijalankan NU yang tidak mempunyai dasar petunjuk ayat-ayat al-Qur’an, sehingga shalat itu tidak boleh dilakukan. Namun menurut NU, petunjuk itu tidak hanya berdasarkan bunyi al-Qur’an dan Hadis saja. Petunjuk itu bisa diambil dengan cara lain.

Pada saat MUI mendiskusikan keputusan untuk melarang penginiman kartu Natal, para kiai NU sudah berpandangan bahwa pelarangan itu adalah hal yang percuma karena memang tidak tersedia landasan buat melarangnya. NU beranggapan agar hal itu selayaknya dibiarkan saja karena persoalan itu bukan masalah ibadah, namun urusan duniawi. Secara sederhana mengirimkan kartu ucapan Selamat Natal adalah dalam rangka memelihara dan mengembangkan hubungan persaudaraan antara pihak pengirim dan penerima. Atau lebih sederhana lagi, mencetak kartu Natal adalah lahan bisnis tersendiri.

******

Kembali di sini kita bisa melihat bahwa sangat banyak hal yang terkait dengan masalah perbedaan pandangan mengenai aturan dalam Islam. Aturan agama bisa berbentuk fiqh yaitu hukum agama pra-syariah, dan syariah atau hukum agama yang diundangkan ke dalam hukum negara. Sama dengan agama-agama lain, dalam hal ini pun selalu terjadi kesenjangan antara apa yang tersurat secara tekstual dalam Kitab Suci dan sunnah (petunjuk-petunjuk) Nabi dengan kehidupan manusia yang senantiasa berkembang.

Di tengah-tengah suasana berlangsungnya wacana mengenai hubungan agama dengan kebudayaan, di kalangan kaum muslimin kini muncul sebuah konsep ad-dinDin adalah agama (a religion) dalam pengertian yang masih umum. Tetapi, jika sudah menyebut langsung the religion (ad-din), maka yang ditunjuk oleh pernyataan itu adalah Islam sebagai agama yang benar. Pernyataan ini mempunyai pretensi eksklusivitas. Dan dalam pandangan penganutnya, eksklusivitas Islam sebagai ad-din merupakan satu hal yang baku dan utuh, tidak boleh dipotong-potong.

Adalah Abul A’la al-Maududi, [7] seorang ulama asal India dan kini tinggal di Pakistan, salah seorang ulama dan pemikir muslim di abad ini, yang menyatakan bahwa Islam adalah satu konsep hidup ad-din. Agama sebagai jalan hidup (way of life) tidak boleh tunduk kepada yang lain, termasuk pada hukum Barat, di dalam proses-proses bernegara. Pengikut-pengikut Maududi inilah yang sekarang menentang Benazir Bhutto. Mereka menyatakan, sebuah bangsa muslim tidak boleh diperintah oleh wanita. Kata mereka, bukankah Nabi Muhammad sudah menggatakan, “Sebuah kelompok yang dipimpin wanita akan mengalami kehancuran.” Oleh sebab itu, alangkah bersalahnya kita jika kita berani menentang pernyataan Nabi.

Seorang ulama pengikut Maududi pernah dikirim ke Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada beberapa organisasi keagamaan mengenai sikap Maududi. Setelah ia berbicara secara panjang lebar kepada Pengurus Besar NU dan ketemu saya di kantor PBNU. Saya berkata bahwa memang Nabi menyatakan kepada mereka demikian. “Nabi tidak pernah salah, namun yang salah adalah kita yang membacanya.” Alasan saya demikian, tatkala Nabi mengatakan perihal itu, beliau mengacu kepada keadaan masyarakat suku di tanah Arab abad VII, di mana perang suku, perampokan, perkosaan, perampasan dan segala macam persoalan lain, sangat banyak terjadi. Masyarakat suku tersebut tidak berstruktur, sehingga kepala suku adalah segala-galanya: dia yang berperang tanding, dia yang bertanggung jawab terhadap warganya, dan mengurus segala macam hal-hal rumit lainnya. Beliau kemudian berpandangan bahwa suku harus dibuat kokoh, dan untuk itu, pimpinannya secara fisik, juga harus kuat. Namun, keadaan masyarakat atau pemerintahan seperti itu tidak ditemukan lagi dewasa ini. Kini, pemerintahan tidak lagi dipersonalkan (personalized) seperti tradisi masyarakat-suku waktu itu melainkan diinstitusionalisasikan, dan di sana terjadilah distribusi tugas. Dengan demikian, wanita menjadi layak untuk memegang kepala pemerintahan.

Persoalan pelik kini adalah, bagaimana melerai ketegangan yang selalu dan sering terjadi antara agama (sebagai jaringan aturan) dengan kebudayaan (sebagai proses perubahan). Menurut saya, yang terpenting bagi Islam kini adalah bagaimana kita membuat ukuran-ukuran mengenai apa yang harus dilakukan. (Tetapi ironisnya, ini saya katakan bukan di depan orang-orang Islam, karena orang Islam sendiri belum tentu mau mendengarkannya).

Menurut pikiran saya, rumus ukurannya sangat sederhana, yakni hal-hal yang mengagungkan (meninggikan martabat atau posisi) kemanusiaan haruslah diutamakan. Manifestasinya adalah memelihara hak-hak asasi manusia dan mengembangkan struktur masyarakat yang adil di mana kaum muslimin hidup. Gugus ukuran di atas berperan sebagai kuasi-norma (bukan norma, tetapi perannya sama dengan norma). Kalau perkembangan zaman atau kebudayaan tidak sesuai dengan ukuran itu, maka harus dihentikan. Juga sebaliknya, jika kebetulan ajaran agama yang justru melakukannya maka ukuran tadi pun mesti mengeremnya.

Kebebasan seksual seperti di Amerika, misalnya, di mana mayoritas anak yang lahir di kalangan orang hitam yang melarat berlangsung di luar perkawinan, harus dihentikan agar ketelanjuran itu tidak menjadi berlarut-larut dan diteruskan dari generasi ke generasi. Kondisi seperti itu sama sekali merendahkan martabat manusia. Dalam “gaya” kehidupan tersebut, tidak ada pretensi mereka untuk memelihara kesucian, keluhuran pernikahan dan lembaga keluarga, dan sebagainya.

Pada sisi lain, agama kadang kala juga harus mengalah. Kerap kali wawasan kemanusiaan yang dikembangkan kebudayaan justru lebih menghargai martabat manusia. Kembali masalah menikah dengan lebih dari satu wanita yang dikemukakan di atas dapat dijadikan teladan. Kebudayaan manusia sekarang menganggap bahwa kedudukan manusia laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga janganlah pihak laki-laki dengan gampangnya menikah lagi, yang benarnya hanya sama dengan perendahan martabat wanita. Karenanya, jika nilai-nilai (norma-norma) seperti ini sudah diterima sebagai aturan atau pendapat umum, maka agama harus mengalah.

Agama justru harus membantu mencarikan jalan pemecahan. Perkara apakah jalan pemecahan itu nantinya bisa diperoleh adalah perkara yang lain. Sayangnya, untuk memulai mencari pemecahan saja, tokoh-tokoh agama seringkali bersikap enggan. Anjuran ini tidak hanya untuk Islam saja, namun berlaku pula bagi agama-agama lain. Menurut pemikiran saya, sikap Gereja Katolik terhadap program keluarga bencana tampak seperti kurang menghargai kesulitan keluarga melarat yang mempunyai banyak anak. Ini hanya perasaan saya yang belum tentu benar, dan bukan maksud saya untuk menentang pihak-pihak tertentu. Tetapi perlu saya utarakan, banyak golongan awam dan secara diam-diam juga kaum rohaniwan Katolik, yang sepakat dengan perasaan saya ini.

Akhir kata, sekali lagi yang penting bagi kita adalah mencari jalan tengah kala menghadapi ketegangan antara agama dengan kebudayaan. Ketegangan yang selalu terjadi itu bukan sesuatu yang harus ditangisi dan disesali, karena justru dapat memberikan peluang-peluang bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.

Catatan Akhir:

[1] Dr. Th. Sumartana (1944-2003) adalah seorang intelektual Protestan yang gigih memperjuangkan hubungan antaragama yang harmonis. Ia adalah juga pendiri dan tokoh utama lembaga pegiat dialog antaragama DIAN/Interfidei di Yogyakarta hingga meninggalnya.

[2] Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidl Sauban bin Tbrahim al-Misri, lahir di Mesir 180 H/796 M, wafat 246 H/860 M. Zunnun adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep makrifat dalam ajaran tasawufnya. Zunnun mengelompokkan tasawuf ke dalam ilmu batin yang hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi (khawas). Menurut Zunnun, ada perbedaan substansial antara taubatnya orang khawas dan orang awam yaitu orang awam taubat dari dosa, sedang orang khawas taubat dari kelalaian (ghaflah). Abu Bakar al-Kalabadzi dalam bukunya “Al-Ta’arruf I Madzahib Ahli al-Tasaunwuf” memaparkan bahwa Zunnun telah sampai pada maqam (station) makrifat yang merupakan tingkat tertinggi dalam capaian tasawuf. Pernyataan spiritual Zunnun yang populer adalah “araftu rabbi bí rabbi wa laula rabbi lama araftu rabbi” (Aku mengenal Tuhanku karena Tuhanku. Jika tidak karena Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku).

[3] Syihabuddin Al-Suhrawardi, lahir di Suhrawad, Zanjan Iran pada tahun 549 H/1155 M dan meninggal di Aleppo Suriah pada tahun 587 H/1191 M. Dia dikenal sebagai sufi dan filsuf dari kalangan Syi’ah dan terkenal dengan gelar Syeikh al-Isyraq (Guru pencerahan) berkat filsafat isyraqiyyah (iluminasi)-nya, tokoh sufi kontroversial ini pernah dituduh oleh sebagian fuqaha (ahli figih) sebagai pengembangbiak ajaran Qaramithah (sekte Syiah). Inti dari filafat isyragiyyah Suhrawardi adalah bahwa sumber dari segala sesuatu yang ada (al-maujudat) adalah nurul anwar (Cahaya mutlak dari semua cahaya). Ia menulis risalah tentang filsafat Hayakil al-Nur (bangunan cahaya), I’tigad al Hukama’ (keyakinan para filsuf) dan Bustan al-Qulub (taman hati). Dia juga menulis komentar terhadap karya Ibnu Sina berjudul Risalah al-Tayr (risalah burung), risalah al-Isyg (risalah kerinduan) dan al-Isyarat wa al-Tanbihat (rambu dan peringatan).

[4] Nama lengkapnya Muhyidin Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Tai. Lahir di Murcia Andalusia Spanyol 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M dan meninggal di Damaskus 28 Rabi’ul Awal 638 H/16 November 1240 M. Ibnu Arabi ini adalah sufi terbesar dalam dunia Islam dan pemikir mistik yang masyhur. Karya ilmiahnya yang sangat populer adalah Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah.

[5] KH. Yusuf Hasyim (1929 – 2007) adalah putera terakhir K.H. Hasyim Asy’ari, yang juga paman penulis. KH. Yusuf Hasyim didaulat sebagai pengganti ayahnya untuk mengasuh pesantren Tebuireng, Jombang, warisan ayahnya.

[6] Dalam tradisi pesantren pembahasan soal-soal keagamaan dinamakan Bahtsul Masail. Dalam bahtsul masail seluruh persoalan sebisa mungkin dicarikan rujukan dalam kitab-kitab fiqh yang mu’tabarah. Ini dilakukan mulai dari pengurus ranting NU di tingkat RT/RW hingga tingkat paling atas, nasional. Dalam perkembangannya, tak jarang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kurang bisa dipahami terlebih dahulu menghadirkan pakar yang kompeten di bidangnya.

[7] Maulana Sayyid Abu A’la al-Maududi (1903-1979) adalah seorang pemikir dan aktivis Islam India yang sangat concern dengan perkembangan Islam. Maududi lahir di Aurangabad Deccan (sekarang Maharashtra) tetapi pengaruhnya begitu besar dalam perkembangan Islam mulai Maroko, Aljazair, Sudan, Iran, Malaysia hingga Indonesia. Maududi mendirikan partai Jama’at Islami pada 26 Agustus 1941 sebagai perjuangan memajukan komunitas Islam dan membentuk masyarakat politik yang berdasarkan ketentuan Islam.