Kata Pengantar: Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam serangkaian percakapan, Dr. Soedjatmoko [1] mengemukakan bahwa negara-negara industri tampaknya sudah pada titik optimal dalam perkembangannya. Kelebihan yang tampaknya belum dapat dikejar oleh negara-negara berkembang kini hanya tinggal di bidang persenjataan. Dalam keadaan demikian, negara-negara berkembang akan dituntut untuk mengembangkan peradaban (civilisasi) mereka sendiri [2]. Ia memperkirakan munculnya tiga peradaban dunia dari negara-negara berkembang di masa depan yang tidak terlalu jauh, yakni peradaban Sinetik (bersumber pada daratan Cina) yang meliputi kawasan RRC, Korea, Jepang, dan Vietnam. Peradaban Indik (bersumber pada daratan ke-India-an) dengan lingkup bagian kawasan Asia Tenggara, Srilanka, dan anak benua India sendiri, dan peradaban Islam yang membentang dari Asia Tenggara hingga ke Maroko.

Terhadap serangan mereka yang menganggap mustahil sebuah peradaban Islam dapat bangkit kembali (sebagian karena terpecah-belahnya bangsa-bangsa beragama Islam satu sama lain dalam hampir semua sektor kehidupan), ia menjawab justru dinamika pertentangan itu sendiri yang akan membesarkan kebudayaan Islam menjadi hampir satu peradaban dunia. Bukankah peradaban Eropa Barat pada waktu itu mulai menjarahi dunia dahulu yang sering saling menyerang satu sama lain?

Apa yang menarik dari pengamatan di atas adalah bahwa ia dikeluarkan oleh seorang intelektual dengan sikap hidup yang serba kosmopolitan yang dimilikinya selama ini. Kalau kesimpulan seperti itu dicapai oleh seseorang yang sudah dikenal kejujuran intelektualitasnya seperti Soedjatmoko ini, bagaimanakah dengan mereka yang berkecimpung dalam studi keislaman? Bagi mereka, pengamatan selama ini, sedikit-sedikitnya satu abad, sudah cukup untuk menambahkan keyakinan akan kebesaran peradaban Islam. Kebesaran material yang diwariskan kepada dunia dalam bentuk legasi arsitektur penuh kemegahan (dari masjid Pualam Biru di Turki hingga Taj Mahal di India) keagungan rohani yang dilestarikan dalam kepustakaan yang masih berjuta-juta dalam bentuk naskah tulisan tangan dan belum dicetak, serta dalam tradisi penurunan ilmu-ilmu dan nilai-nilai keagamaan dari generasi ke generasi dengan hasil terpeliharanya kebulatan pandangan hidup kaum Muslimin hingga kini dan kelengkapan yang ada pada masa lalu peradaban Islam yang dapat digunakan sebagai alat pengembangan peradaban Islam yang baru di masa depan.

Salah satu syarat mutlak bagi kebangkitan kembali sebuah peradaban dunia sudah terpenuhi oleh peradaban Islam, yaitu “persambungan elemen-elemen kehidupannya, sehingga membentuk kerangka tangguh bagi kebangkitan kembali Islam itu sendiri”. Elemen-elemen itu sebagaimana digambarkan dari persambungan warisan material yang begitu megah, untuk kemudian diantarkan oleh keagungan rohani yang sudah lestari ke gerbang kebangunan kembali oleh kelengkapan yang telah berkembang dalam dirinya, membentuk sekuen-sekuen/bagian-bagian yang berurutan dari gambaran terpenuhinya persyaratan kebangkitan kembali peradaban Islam itu.

Hasilnya dapat kita amati dari perkembangan yang terjadi sekarang ini: dari meningkatnya kegairahan untuk melakukan peribadatan di kawasan Asia Tenggara (penuhnya masjid-masjid, ramainya forum-forum keagamaan Islam dan sebagainya), melalui keberhasilan kaum muslimin Iran di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini [3] untuk melakukan koreksi total atas kesalahan-kesalahan fundamental yang dilakukan Syah Reza Pahlevi, [4] hingga kepada kesadaran kaum cendekiawan negara-negara Afrika Utara untuk membentuk cakra budaya baru yang lebih bernafaskan Islam, baik melalui pengembangan kaidah-kaidah lama seperti al-Azhar, maupun melakukan penafsiran baru seperti ditempuh Mustafa Mahmud [5] dengan tafsir al-Qur’an kontemporernya yang sempat membuat heboh di Mesir beberapa tahun yang lalu.

Tanda-tanda kebangunan kembali peradaban Islam sudah tampak sehingga mudah saja orang menjadi terbuai untuk turut memproklamasikan Islam sebagai bagian dari apa yang dinyatakan oleh sosiolog Daniel Bell [6] dari Universitas Harvard, bahwa “abad kedua puluh satu nanti adalah abad agama (The Age of Religion).” Tetapi sikap untuk mudah terbuai ini justru bertentangan dengan sikap hidup cendekiawan. Karenanya kita harus mempertanyakan kepada diri kita masing-masing, sudah benarkah pengamatan di atas, cukup kuat dan langgeng momentumnyakah unsur-unsur yang menunjang kebangunan kembali itu? Adakah ia menunjuk kepada kehidupan beragama yang lebih baik daripada sekarang ataukah justru sebaliknya yang akan terjadi? Apakah proyeksi dari kebangunan kembali itu, sehingga nantinya dapat diidentifikasikan manifestasi kebangunan kembali itu sendiri secara kongkret dan tuntas?

******

Kesulitan terbesar untuk melakukan proyeksi itu adalah memperkirakan aspek-aspek mana saja yang akan tinggal langgeng dari manifestasi kehidupan beragama kaum Muslimin yang ada sekarang. Akan lestarikah kecenderungan memegang teguh ajaran-ajaran legal formalistik yang ada dalam syari’at dan tauhid, ataukah justru kecenderungan mencari cara-cara penafsiran kembali (reinterpretasi) ajaran agama lebih banyak berkembang di kemudian hari? Akan lestarikah semangat paguyuban kaum sufi seperti tercermin dalam puluhan ribu gerakan tarekat dan tempat ritual (zawáyã, sufun al-naját) yang mereka dirikan di seluruh dunia Islam sekarang ini, ataukah justru kontemplasi spekulatif dalam lingkungan individual tentang kebulatan hidup manusia antara unsur-unsur duniawi dan ukhrawi-nya yang akan lebih banyak diikuti kaum muslimin nantinya? Zamakhsyari Dhofier dalam sebuah tulisannya, The Ideology of the Javanese Kyai, mengemukakan pendapat “kyai kolot” yang menyangsikan perlunya ditegakkan “urusan dunia”, sementara “urusan akhirat” belum lagi ditata lebih baik. Gejala inikah yang akan lebih kuat, ataukah justru gejala lebih jauh lagi menggarap urusan dunia dan urusan akhirat secara bersamaan, seperti dilakukan kaum modernis di mana-mana?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan menentukan jenis wawasan kemanusiaan yang akan melandasi kebangunan kembali peradaban Islam. Kita telah melihat bagaimana Romawi yang terlalu menitikberatkan wawasan kemanusiaannya pada aspek pengorganisasian hidup manusia dalam deretan aturan yang berlebih-lebihan, akhirnya kehilangan kekuatan yang justru mendukung kebesaran organisasi kehidupan itu sendiri. Hal itu terjadi karena mereka tidak lagi mengetahui kegunaan upaya melestarikan imperium yang serba menindas dan merampas atas nama peraturan itu. Kita pun telah mampu menebak nasib peradaban industrial dari negara-negara superpowers sekarang ini di kemudian hari, karena ke hebatan teknologi dan kerapihan manajerial yang mereka miliki tidak didukung oleh solidaritas tulus dan kepekaan yang timbul dari kesamaan nasib antara mereka yang kaya dan miskin, antara petani/pekerja dan kaum industrialis pemilik modal, dan antara birokrasi pemerintahan yang kaku dan “orang kecil” yang sedianya memperoleh pelayanan darinya tetapi ternyata tidak.

Petro-dolar yang dimiliki negara-negara Arab memang berhasil sedikit banyak memegang satu dua aspek dari peradaban Islam masa mendatang berdirinya masjid-masjid dan pusat-pusat agama Islam di berbagai ibukota dunia, kampanye literatur yang luas untuk memperkenalkan ajaran Islam, pembiayaan cukup baik sejumlah lembaga-lembaga pendidikan Islam (terutama di negara-negara berkembang) dan sebagainya. Potensi kekuatan petro-dolar ini tidak dapat dianggap kecil, kalau dilihat dari sudut lain. Ia adalah salah satu jawaban konkret terhadap tantangan kebangunan kembali ajaran-ajaran banyak agama lain. Karenanya, seringkali pola pengembangan yang dilaksanakan oleh negara-negara petro-dolar itu yang di ambil begitu saja oleh masyarakat-masyarakat muslim yang kebetulan menikmati bantuan mereka.

Penguasa-penguasa agama dari negara kaya itu lalu bertindak selaku penetap dan penjaga moralitas universal bagi kaum muslimin di seluruh dunia, walaupun di tempat asalnya legitimitas klaim itu belum dapat dibuktikan secara tuntas; kegagalan mereka untuk menciptakan struktur masyarakat yang lebih adil, kegagalan untuk menciptakan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, kegagalan menciptakan solidaritas tulus dan rasa kesamaan nasib di kalangan semua warganya, dan seterusnya.

Di wilayah-wilayah lain belum jelas bagaimana wawasan kemanusiaan yang dimiliki Islam akan berkembang. Di kepulauan Nusantara misalnya, kaum muslimin baru mencapai tingkat ketergopohan menegakkan manifestasi Islam dalam sejumlah ritus pengganti yang berbentuk kemeriahan lahiriah, seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), deretan kuliah subuh dan peringatan-peringatan hari besar Islam, berbagai bentuk upacara ketasawufan (seperti upacara haul/peringatan kematian, yang sebegitu jauh bahkan telah menembus benteng-benteng pertahanan yang menolaknya di masa lalu, seperti Pesantren Tebuireng), berbondong-bondong orang menunaikan ibadah haji dan sebagainya. Peninjauan atas wawasan kemanusiaan yang tuntas belum lagi terlaksana, perjuangan mahasiswa untuk membebaskan bangsa dari penindasan, upaya menegakkan hukum oleh kelompok-kelompok kecil, proyek-proyek konkret untuk mengangkat mayoritas bangsa dari dera kemiskinan dan kehinaan, untuk menyebut beberapa contoh saja. Upaya yang masih berlingkup serba terbatas dan baru berada pada taraf permulaan itu masih sering dilakukan secara bermain-main, atau untuk memenuhi ambisi perseorangan belaka.

Di kawasan anak benua India, manifestasi kehidupan beragama Islam justru sedang berada pada persimpangan jalan yang menentukan penerapan norma keragaman secara berlebih-lebihan, seperti terbukti dalam kasus Ali Bhutto [7] dan pengusiran beberapa cendekiawan yang berani melakukan kontemplasi yang jujur dan bebas. Di berbagai negara Afrika dengan penduduk mayoritas Islam, keadaannya juga tidak lebih baik, Islam masih tergantung pertumbuhannya kepada siapa yang kebetulan memerintah.

Jelas dari yang diutarakan di atas, bahwa wawasan kemanusiaan yang akan ditampakkan Islam nanti masih belum jelas identitasnya. Walaupun hal ini patut disayangkan, tetapi sebenarnya ada hikmah yang tersirat dalam kenyataan ini, yakni tantangan bagi kita semua untuk menumbuhkan wawasan kemanusiaan yang lebih relevan dengan kebutuhan universal dari kehidupan umat manusia di kemudian hari.

******

Peradaban sering kali diukur dengan kehebatan teknologi, keagungan arsitektural, ketinggian hasil-hasil karya seni dan sastra, serta sumbangannya kepada ilmu pengetahuan. Secara kolektif unsur-unsur peradaban itu sering dimanifestasikan dalam bentuk negara-negara berkebudayaan tinggi dan berkehidupan serba makmur, di mana pengetahuan dan perekonomian mengalami perkembangan yang relatif sejajar. Athena, Roma, Konstantinopel, Carthago, Sevilla, Baghdad, Peking, Delhi, Memphis, Ctesiphon, Kairo dan banyak lagi “kota dunia” masa lampau dijadikan contoh ketinggian peradaban. Islam boleh berbangga dengan konstribusinya yang cukup banyak dalam deretan manifestasi tersebut yang secara simbolik digambarkan oleh kegemilangan “Hikayat Seribu Satu Malam.”

Festival Islam sedunia yang pernah digelar di London dimaksudkan sebagai semacam stock opname bagi tanda-tanda kebesaran peradaban Islam. Baik tanda-tanda kebesaran lahiriah, seperti hasil-hasil teknologi dan kesenian masa lalu yang memukau mata dan hati, maupun tanda-tanda kebesaran rohaniah seperti buku-buku teks yang menggambarkan sumbangan Islam kepada ilmu pengetahuan (dari logaritmanya al-Khawarizmi, [8] hingga traktat filsafat Ibnu Taufail [9] yang berjudul Hayy ibn Yaqzân yang didakwakan sebagai prototipe filsafat naturalismenya Defoe [10] dalam Robinson Crusoe), kesemuanya itu merupakan kenangan-kenangan indah, akan ketinggian peradaban masa lalu Islam.

Kita lalu dihadapkan pada pertanyaan mampukah kaum muslimin masa kini dan masa datang melakukan hal seperti itu? Kalau tidak, lalu dari mana datangnya keyakinan bahwa Islam akan memunculkan kembali sebuah peradaban dunia? Jawaban pada pertanyaan di atas membawa kita kepada sebuah pendekatan yang berbeda dari hanya memunculkan sejumlah manifestasi ketinggian baru sama sekali. Di sinilah kita menemukan bahwa sudah jelas kaum muslimin itu tertinggal dari orang lain dalam hal kemampuan melakukan penemuan-penemuan ilmiah yang baru. Tetapi mengapakah mereka tidak mampu merumuskan kembali arti, hikmah ilmu dan pengetahuan bagi kehidupan, bagaimana mengendalikan kedua-duanya yang justru untuk kepentingan melestarikan kehidupan umat manusia di muka bumi ini, bukannya untuk kepentingan segelintir pemilik modal dan sejumlah penguasa serakah atas kerugian kebanyakan manusia? Jelas kaum muslimin tidak dituntut untuk mewariskan bagi generasi masa yang akan datang berupa peninggalan arsitektural yang megah dan mengesankan (bukankah masjid Istiqlal sendiri lalu kehilangan relevansi bila dihadapkan kepada kebodohan dan kemiskinan yang melanda bangsa?). Tetapi bukankah apa yang dilakukan Hassan Fathi [11] dengan konsep Gurnah[12]nya di Mesir adalah penafsiran orisinal dan penggali kembali arti arsitektur bagi kehidupan bangsa yang sedang dilanda kemiskinan dan didera ledakan penduduk, yang pada analisis terakhir adalah pelestarian warisan peradaban lama dalam arti sesungguhnya? Bukankah sarah arsitektur Islam dapat digali kembali untuk mengembangkan pola tata kota modern yang berpusat pada desentralisasi fungsi perdagangan dalam sebuah pemusatan kegiatan di sebuah kompleks pasar atau pertokoan, apabila kita mampu membandingkan sejarah kreatif konsep pusat pertokoan masa kini dan konsep súq/khanah dari masa lalu Islam? Bukankah konsep súq (pasar) dengan kebulatan dan paguyuban bazari-nya yang justru mampu menjadi tulang punggung bagi koreksi total Khomeini di Iran?

Apabila dari warisan masa lalu sastra Islam kita tidak hanya terpukau oleh kreativitas kejenakaan Juha/Abunawas/Mulla Nasruddin, petualangan Aladin dan kepahlawanan Sinbad, melainkan berani menukik kepada keluasan pandangan kitab al-Hayawan dari al-Jáhiz, sajak-sajak pahitnya Abil’Ală al-Ma’arri, himbauan kasih sayang al-Rumi, [13] kesegaran moralnya Umar Kayyam, dan sebagainya. Mengapakah kaum muslimin tidak mampu mengembangkan sastra yang membawakan pengertian lebih mendalam akan arti kehidupan yang sebenarnya bagi manusia, bukan tempat menuruti keserakahan belaka, tetapi tempat mencari keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan memenuhinya; bukan wadah pemuas nafsu yang tak terkendali, melainkan wilayah keprihatinan atas bahaya yang mengancam totalitas kehidupan di masa depan sebagai akibat pengurusan sumber-sumber alam tanpa batas; dan persinggahan sementara di mana kasih sayang dan keprihatinan tidak hanya dirupakan dalam karitas cengeng yang menyantuni tetapi sekaligus melestarikan penderitaan, melainkan keterlibatan diri dalam perjuangan secara tuntas untuk membela nasib mereka yang menderita melalui perombakan struktur masyarakat yang tidak adil?

******

Dari visi yang dikemukakan di atas, kita lalu mengetahui bahwa peradaban Islam sedang mengalami kebangunan dan kebangkitan kembali. Kekayaan warisan yang ditinggalkannya selama ini, dari kedalaman penglihatannya atas tempat hakiki manusia dalam kehidupan hingga kepada toleransinya yang begitu besar, membuat kaum muslimin lalu memiliki landasan berpijak yang sangat kuat dalam mengarungi proses kebangkitan kembali itu. Warisan materialnya, dari konsep-konsep arsitektural yang menangani kehidupan secara keseluruhan hingga gagasan-gagasan ekonomi yang lebih menjamin kelestarian hidup, memungkinkan kaum muslimin untuk menoleh dari masa lalunya, berupa semangat Islam yang sebenarnya dalam menghadapi tantangan justru dibawakan oleh kehidupan itu sendiri. Kesanggupan peradaban Islam dan kemampuan untuk meramu sebuah peradaban baru di masa lalu, dari warisan peradaban-peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia, Asia Kecil, Persia dan sisa-sisa Hellenisme Yunani Kuno, memberikan petunjuk bagi kaum muslimin untuk meramu keluhuran hidup yang dinamis dan berkeseimbangan dari peradaban peradaban yang ada sekarang, yang umumnya telah menjurus kepada perbudakan teknologi dan mesin atas manusia, seperti yang dipadukan dengan sempurna oleh Charlie Chaplin dalam The Great Machine dan George Orwell dalam Nineteen Eighty four-nya.

Kaum muslimin masa kini memang tidak dituntut untuk menyamai penemuan para sarjana masa lampau, dari al-Kindi [14] sampai penemu muslim tak dikenal yang menemukan besi hitam tak berkarat di India dari masa kejayaan dinasti Mughal. Tetapi mereka dituntut untuk menerapkan dan menafsirkan kembali penemuan-penemuan sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia, tugas yang jauh lebih berat dari tugas melakukan penemuan itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut menghasilkan karya agung sastra dunia seperti Kalilah Wa Dimnah. [15] Tetapi mereka diberi kemampuan untuk memberikan arti baru kepada kehidupan melalui karya itu, yang juga bukan tugas lebih ringan, yaitu meneruskan tradisi secara dinamis jauh lebih berat dan sukar daripada membuat tradisi itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut untuk mendirikan aliran-aliran Hukum Islam, seperti mazhab-mazhab fiqh yang empat, atau aliran Teologia Islam, seperti mazhab tauhid al-Asy’ari dan al-Maturidi ataupun al-Ghazali, tetapi mereka diharuskan menerapkan secara kreatif ketentuan-ketentuan yang diletakkan ke semua mazhab itu dalam situasi kehidupan yang modern, sebuah proses penafsiran kembali yang jauh lebih sulit dari mendirikan ke semua mazhab itu sendiri.

Dari kemampuan kaum muslimin masa kini untuk memenuhi ke semua tuntutan di atas, dan menghindari tuntutan-tuntutan semu yang tidak begitu berarti banyak bagi upaya melestarikan kehidupan, justru bergantung corak wawasan kemanusiaan dari peradaban Islam yang sedang bangkit kembali dewasa ini. Kalau kaum Mu’tazilah pernah menjulangkan nama Islam dalam sejarah dunia dengan visi humanismenya yang segar dan kreatif selama beberapa abad lamanya, maka kaum muslimin kini dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki begitu aneka ragam tantangan dan kemungkinan. Dari kemampuan memenuhi tuntutan inilah akan ditentukan dimensi dan kerangka kebangkitan kembali peradaban Islam dalam masa depan yang tidak terlalu jauh lagi.

Catatan kaki:

[1] Dr. Soedjatmoko adalah salah seorang intelektual bangsa Indonesia yang mendunia. Terkenal dengan gagasan dimensi manusia dalam pembangunan di masa Orde Baru. Karena gagasan itu dia terpilih sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1980 yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Soedjatmoko meninggal pada 1989 pada usia 67 tahun.

[2] Refleksi Soedjatmoko tentang soal-soal perubahan sosial, kebudayaan, pembangunan, dan termasuk di dalamnya peranan agama dapat dilihat dalam kumpulan-kumpulan tulisannya yang telah dibukukan. Di antaranya Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1983 dan Etika Pembebasan; Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1984. Pemikiran-pemikirannya sangat kental dengan praksis pembebasan itulah yang telah menempatkan Soedjatmoko dalam posisi sebagai seorang humanis.

[3] Ayatullah Ruhullah Khomeini (1900-1989) adalah inspirator sekaligus pemimpin revolusi Iran 1979 dengan menggulingkan pimpinan Iran waktu itu, Syah Iran Reza Pahlevi. Khomeini kemudian menjadi pemimpin spiritual Iran hingga akhir hayatnya.

[4] Syah Reza Pahlevi adalah Shah atau raja Iran, dinasti Reza Pahlevi. Ayahnya dikenal Reza Khan, karena pada Perang Dunia II berpihak kepada Jerman, maka setelah kemenangan Tentara Sekutu dibuang ke Afrika Selatan dan anaknya, Reza Pahlevi menggantkannya atas dukungan Tentara Sekutu. Namun, ia kemudian menjadi boneka Inggris dan Amerika Serikat dan digulingkan pada revolusi Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini.

[5] Mustafa Mahmud yang lahir pada 1921 adalah seorang ahli bahasa, sastrawan, dan penulis Mesir yang sangat produktif dan kritis terhadap ide-ide keagamaan. Beberapa karangannya antara lain al-Adab al-Arabi fi Misr min al-Fath al-Islami ila Nihayat Asr al-Ayyubi, Nur tahta al-Ramad, Qurain Kain Hayy, Rajul tahta al-Sifr;Ruh wa al-Jasad.

[6] Daniel Bell, seorang sosiolog kelahiran dataran rendah tepi Timur Manhattan 10 Mei 1919. Banyak karya-karya brilian yang ditelurkan. Karya-karyanya antara lain The End of Ideology tahun (1960), The Coming of Post-Industrial Society, (1973) The Cultural Contradictions of Capitalism, (1976).

[7] Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) adalah salah seorang pemimpin negara Pakistan paling dihormati. Ia malang melintang di kabinet Pakistan selama karier politiknya. Pendiri dan pemimpin partai yang cepat besar PPP (Pakistan Peoples Party). Perdana menteri sebelum digulingkan dan kemudian dipenjarakan oleh Jenderal Zia ul Haq melalui kudeta. Anaknya, Benazir Ali Bhutto kemudian menjadi politisi terkemuka dan sempat menjadi Perdana Menteri.

[8] Al-Khawarizmi atau Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi (780-850) adalah seorang ahli matematika dan astronomi. Ia juga dikenal sebagai Bapak Aljabar.

[9] Ibnu Tufail atau Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Taufail al-Qaisi al-Abdalusi (sekitar 1105-1185) adalah salah seorang filusuf dan dokter. Ibnu Taufail juga dikenal sebagai pengarang. Salah satu karyanya berupa roman filsafat berjudul Hayy ibn Yaqzon (Hidup, Putra Kesadaran).

[10] Daniel Defoe (1660-1731), ia menulis Robinson Crusoe, sebuah novel klasik.

[11] Seorang arsitek terkenal kelahiran Mesir.

[12] Nama sebuah kampung klasik di Mesir yang indah dan tertata rapi yang membuat Napoleon terpesona dengan Mesir dan mendorongnya untuk membangun budaya warisan klasik di kawasan ini.

[13] Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad al-Bakhi al-Qanuwi (lahir di Balkh, Afganistan 604 H/30 September 1273 M dan wafat di Konya Turki 672 H/17 Desember 1273 M). Ia lebih dikenal dengan nama Jalaluddin Rumi, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Kebesaran Jalaluddin al-Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuannya mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat dalam. Salah satu karya monumentalnya adalah Diwan Shamsi Tabriz. Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdah al-wujud, ar-Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan. Tak heran, jika ar-Rumi juga merupakan pendiri tarekat al-jalalliyah (al-maulawiyah), sebuah tarekat sufi terkenal yang sekarang masih banyak dianut di Turki dan Suriah.

[14] Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 886). Lahir di Kufah. Al-Kindi adalah filusuf muslim pertama yang memelopori tradisi penulisan filsafat. Terdapat sekitar 242 karya al-kindi dalam bidang logika, metafisika, aritmatika, falak, musik, astrologi, geometri, kedokteran, politik, dan lain-lain.

[15] Kalilah wa Dimnah adalah hikayat pancatantra (lima cerita fabel/perumpamaan) yang digubah dalam bentuk cerita berbingkai dalam versi Arab, yang merupakan terjemahan seorang sastrawan muslim kenamaan bernawa Ibnu Muqaffa. Buku ini berisi pelajaran dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Sebagian besar ajaran tersebut diungkapkan dalam bentuk dialog antarsesama binatang yang menjadi tokohnya.