Asal-usul Tradisi Keilmuan di Pesantren

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini tidak begitu disadari selama ini, bagaimanapun juga memang terdapat perbedaan yang mendasar antara manifestasi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di seluruh dunia Islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, sarana komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat.

Karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam, dengan sendirinya ia memiliki tradisi keilmuannya sendiri. Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembanagn dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu merujuk ke sebuah asal-usul yang bersifat historis, yang merupakan pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri.

Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, dia juga mampu menyerap  sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan yang kenyal seperti itu untuk tetap hidup maka pesantren memiliki keunggulannya sendiri yang tidak ada di tempat lain. Bagian ini akan memeriksa asal-usul tradisi keilmuan di pesantren dan sekaligus melihat kekenyalan yang merupakan inti dari fungsi tradisi tersebut dalam kehidupan pesantren.

Awal Tradisi dan Pengaruh

Asal-usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu keislaman sejak ia ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan, sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah sumber  motivatif, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menggambarkanpentingnya arti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam pandangan Nabi Muhammad.

Atas dasar itulah maka Islam telah mengembangkan sebah perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang, terbukti dengan ada kelompk-kelompok yang telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama madinah, kita kenal adanya orang yang ahli dalam penafsiran Al-Qur’an, seperti sahabat Abdullah bin ‘Abbas; orang yang menjadi ahli dalam hukum agama, seperti Abdullah ibn Mas’ud; ada juga yang seperti penghafal Al-Qur’an dan pencatatnya, seperti Zaid ibn Tsabit, dan demikian seterusnya.

Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan Al-Qur’an dan hadist sebagai objek ilmu, bukannya sekedar sebagai wadah pengalaman, seperti yang dilakukan oleh Khilafah III, ‘Ustman ibn ‘Affan, yang dikenal sebagai orang saleh yang senantiasa berhasil membaca habis (khatam) Al-Qur’an dalam waktu yang pendek secara periodik. Kesalehan seperti itu pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman pada waktunya. Justru di tangan para ilmuan agama pemulalah, seperti pada saat adanya para penghafal Al-Qur’an dan juga para penjaga hukum agama –terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini.

Kita lihat umpamanya saja belum satu abad setelah nabi wafat, telah muncul sebuah kelompok yang dikenal sebagai al-fuqoha as-sab’ah (para ahli fiqh yang tujuh) yang merupakan para ahli terkemuka dalam bidang hukum agama (fiqh) di Mekah dan Madinah,  termasuk diantaranya adalah Rabi’ah dan Anas. Mereka merupakan peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya berujung pada tradisi madzhab fiqh.

Orang semacam Qadhi Abdurrahman ibn Abi Laila di daerah Mesopotamia (Irak) mengambil pendapat-pendapat para ahli fiqh yang tujuh itu sebagai sumber bandingan bagi pengambilan hukum agama. Demikian juga kita mengenal orang-orang semacam para ahli membaca Al-Qur’an yang tujuh (al-qurra’ as-sab’ah), seperti Imam ‘Ashim adalah kelompok yang memajukan bacaan Al-Qur’an sedemikian jauh mengikuti sendi-sendi fonetik dan sendi-sendi  linguistik yang luas, yang diambilkan dari perbandingan dengan ilmu-ilmu linguistik dari peradaban bangsa-bangsa lain di Timur Tengah waktu itu.

Pada dasarnya Islam menampung dan menyerap tradisi Helenisme  yang bermula pada penjarahan daerah-daerah Timur Tengah oleh Iskandar Agung dari Makedonia beberapa abad sebelum Masehi. Hellenisme ini telah berkembang dengan menyebarkan filsafat Yunani ke seantero kawasan Timur Tengah. Hellenisme itu pula yang akhirnya membawakan mistik Dyonisis yang ada di Yunani kuno bercampur dengan Semenanjung Asia Kecil (Asia Minor) yang akhirnya membentuk apa yang dikenal di dalam agama Kristen sebagai sekte-sekte bidat, seperti sekte Nestoria.

Islam mengambil dari itu semua, bahkan pada akhir abad ke-13 telah mampu menyerap  juga tradisi mistik dari Kabbalah Yahudi. Dilihat dari itu semua maka besar sekali adanya proses penyerapan yang dilakukan peradaban Islam dalam masa-masa mula ketika terjadi benturan budaya antara peradaban Islam dengan peradaban lain. Perbenturan itu terjadi pada lingkup yang sangat luas, namun yang paling terasa hanya beberapa bidang saja. Pertama, di bidang-bidang ilmu agama yang dibatasi ketauhidan (teologia) yang sempit, lebih jelas lagi pada skolatisisme. Perbenturan itu terjadi ketika para ahli baca Al-Qur’an menekankan pentingnya arti pengambilan harfi dari sumber-sumber pertama Al-Qur’an dan hadist.

Dengan demikian mereka memperlakukan sumber itu sebagai sesuatu yang mutlak, tidak bisa diganggu lagi keberadaannya. Paling jauh manusia hanya boleh melakukan penafsiran kembali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist, tidak lebih dari itu. Keabsahan kedua sumber itu tidak dapat diganggu gugat. Ini adalah jasa dari para ahli hadist dan para ahli Al-Qur’an , para ulama’ yang saleh dan pejabat pemerintah yang masih murni pandangan-pandangannya atas agama. Pada akhirnya nanti akan terjadi pergulatan yang sengit antara paham yang memandang Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber otentik yang tidak dapat diganggu gugat melawan mereka yang berani melakukan penolakan terhadap sebagian hadist, walaupun penolakan itu tidak pada letter atau bentuk harfiahnya, tetapi pada kandungan artinya.

Jadi pergulatannya adalah ketika sampai pada masalah apakah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadist-hadist nabi harus diartikan secara harfi atau boleh diartikan secara alegoris (kiasan). Kalau boleh dilakukan penafsiran secara alegoris, dengan sendirinya penafsiran akan jauh lebih bebas dan lebih merdeka lagi. Sebaliknya, kalau pengertiannya hanya boleh secara harfi maka penafsiran terhadap arti tersebut juga sedikit banyak akan mengalami keterbatasan. Pergulatan ini berjalan selama dua abad dan akhirnya menghasilkan kelompok Mu’tazilah melawan kelompok Sunni, atau yang lebih dikenal dengan Ahlu as-sunnah Wa al-jama’ah. Akan tetapi, yang dilupakan orang adalah suatu fase lain dari pergumulan tersebut.

Ketika ilmu-ilmu Islam berkembang di tangan para ahli agama yang mengkhususkan diri pada Al-Qur’an dan hadist itu maka terasa adanya suatu kebutuhan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang tidak hanya bertumpu pada Al-Qur’an dan hadist, yaitu apa yang dikatakan kajian bahasa  (dirosah lughawiyah). Kajian dan penelitian di bidang bahasa dilakukan oleh para ulama muslim yang agung, bahkan para ahli hukum agama seperti Imam Syafi’i justru dikenal sebagai ahli bahsa yang mampu menegakkan timbangan bahasa yang benar untuk bahasa Arab. Pendalaman pengetahuan tentang bahasa dan kajian linguistik seperti itu atas bahasa Arab, akhirnya menampilkan kebutuhan akan penguasaan kategori ilmu oleh filusuf Yunani dan masa-masa setelah itu hingga ke masa abad pertengahan, di mana para sarjana muslim hidup.

Atas dasar pemekaran dan pendalaman seperti itu maka banyak sekali para ulama Islam yang saleh pada pada masa abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, bahkan seterusnya sampai beberapa abad kemudian, merupakan humanis, dalam arti mampu mengusai ilmu-ilmu utama yang dikenal oleh peradaban Hellenis yang berada di Timur Tengah pada waktu itu. Mereka mengambil dari luar dan mendudukkan apa yang mereka ambil dan serap itu pada tolak ukur pengertian harfiah atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist nabi. Kombinasi dari humanisme seperti itu dan kecenderungan normatif untuk tetap memperlakukan kitab Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber formal, dengan sendirinya lalu memunculkan adanya suatu sikap yang unik.

Di satu pihak mereka merupakan sarjana (scholars) yang mempunyai reputasi ilmu yang hebat, namun dari segi lain mereka tetap merupakan manusia-manusia yang taat beribadah kepada Allah dan tidak luntur keimanan mereka di hadapan penyerapan yang begitu massif dari peradaban-peradaban lain. Inilah sebenarnya yang merupakan asal-usul dari tradisi keilmuan di pesantren. Nama-nama besar seperti Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi sebagai penulis kamus Arab yang pertama, yaitu Qamus Al-Ain yang terdiri dari dua jilid itu, merupakan cikal bakal dari perkembangan ilmu tata bahasa Arab yang begitu massif , yang akhirnya melahirkan manusia seperti Imam Sibawaih. Selain itu, ahli-ahli bahasa dan para sastrawan seperti Abdul Abbas al-Mubarrid, telah mampu menghasilkan karya-karya raksasa, seperti al-Kamil (empat jilid), yang merupakan buku pengolahan pertama dalam bahasa Arab tentang kritik sastra, yang sebagian dari timbangan-timbangan yang digunakannya masih juga berlaku hingga hari ini dalam sastra arab modern.

Demikian juga terdapat para ensiklopedis yang tidak tanggung-tanggung kelasnya, seperti Ibn Qutaibah ad-Dinawari yang menulis karya agung Kitab Al-Ma’arif (empat jilid), yang tidak lain merupakan ensiklopedi pertama dalam bahasa Arab. Demikian juga ada Ibn Khallikan yang membuat kondepenium, apa dan siapa (who’s who) yang berjudul Wafayat al-A’yan dalam abad ke-6 Hijriah, termasuk juga Yaqut al-Humawi yang membuat Mu’jam al-Buldan, ensiklopedi negara-negara.

Jadi, ini semua menunjukkan mekarnya humanisme dalam artian yang luas, yang sanggup mengemban kehausan manusia akan ilmu pengetahuan, kemempuan untuk menyerap ilmu secara massif, mampu menggunakan ilmu itu untuk meluaskan wawasan dan pandangan hidup mereka, namun pada saat yang sama berpegang pada norma-norma semula yang mereka yakini. Keseimbangan yang seperti inilah yang merupakan humanisme yang sebenarnya, yang pernah menjadi sendi peradaban Islam yang agung.

Akan tetapi semua itu berangsur-angsur menjadi kendur, ketika kendala normatif menjadi terlalu besar fungsinya, sedangkan kendala penyerapan semakin mengecil fungsinya. Penyerapan akhirnya dikalahkan oleh pengawasan dari dalam. Sedangkan yang ada hanyalah tinggal ilmu-ilmu yang sangat normatif, yang tidak memberikan tempat dan perhatian pada kebutuhan penciptaan rasionalitas ilmiah yang tersendiri dan independen dari pengendalian oleh skolastisisme. Inilah yang merupakan asal-usul tradisi keilmuan Islam di pesantren.

Fiqh Sufistik

Tradisi keilmuan Islam di pesantren bersumber pada dua gelombang, yaitu gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi, bersamaan dengan masuknya Islam kemari dalam lingkup yang luas, dan yang kedua, gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di Semenanjung Arabia, khususnya di Makah dan kembali setelah itu ke tanah air untuk mendirikan pesantren-pesantren besar. Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber dari tradisi keilmuan Islam yang berkembang di pesantren.

Pada gelombang pertama yang datang dan masuk ke Indonesia, manifestasi keilmuan Islam yang datang kemari adalah dalam bentuk tasawuf dan ilmu-ilmunya yang tentu juga tidak terlepas dari ilmu-ilmu syari’ah pada umumnya. Fiqh memang dipelajari, tauhid demikian pula,dan tentu saja alat-alat bantu dalam bentuk bahasa Arab, juga ada ilmu hadisttafsir, akhlaq,dan ilmu-ilmu lain yang ada di kawasan Timur Tengah waktu itu. Masa abad ke-13 itu, Islam datang di Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di anak benua India, yang berorientasi sangat kuat pada tasawuf.

Oleh karena itulah kita dapati bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di pesantren saat itu. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fiqh dengan amal-amal akhlak merupakan bahan pelajaran utama. Di antaranya adalah Bidayah al-Hidayah dari Imam al Ghazali yang merupakan karya fiqh sufistik paling menonjol selama berabad-abad, ahkan sampai abad ini di pesantren-pesantren.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang sejak abad ke-13, yaitu selama 7 abad ia berkembang di pesantren, manifestasi keilmuan yang seperti itu bertumpang tindih dengan pandangan-pandangan dan perilaku mistik orang Jawa atau penduduk setempat. Demikian juga ia bertumpang tindih dengan berkembangan beberapa aliran tasawuf yang menyimpang dari ortodoksi, seperti faham wahidiyah atau wahdat al-wujud. Hal ini dapat kita jumpai pada pada Abdurrauf Singkel dan pada beberapa tokoh lain pada masa itu. Perdebatan antara ar-Raniry dan gurunya yang menghasilkan “pemurnian” ajaran tasawuf di Aceh pada abad ke-16, menunjukkan dengan jelas bahwa manifestasi fiqh sufistik telah merasuki keseluruhan kehidupan ilmiah orang Islam.

Waktu itu yang dipentingkan adalah pendalaman akhlak dalam bentuk pengalamannya secara tuntas dan pendalaman pemahaman sufistik pada kehidupan. Buku utama yang dipakai tentunya adalah Syarah Hikam karya Ibn Atha’illah Askandary, salah seorang diantara penulis sufi yang paling terkenal. Salah satu di antara “peninggalan” al-Hikam adalah kata nahdlah untuk kebangunan yang dicantumkannya dalam Syarh Hikam dengan kalimat: La tashab man la yunhiduka ila Allah haluhu,wa la yadulluka ila Allah ma qaluhu. Artinya: “Janganlah kau bersahabat dengan orang hal-ihwalnya tidak membangkitkan kamu pada Tuhan, dan janganlah berteman dengan orang yang ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu pada Allah.” Dari kata la yahiduka atau tidak membangkitkan inilah lalu secara tidak sadar muncul suatu ungkapan seperti Nahdlatul Ulama, kebangkitan ulama. Di sini saja sudah tampak bahwa sangat besar pengaruh dari manifestasi keilmuan serba sufi itu.

Demikian pula kalau diingat bahwa sampai hari ini muncul ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti insan kamil yang merupakan judul karya sufi al-Jilly. Dari situ jelas sekali bahwa kata tersebut telah terpantul dalam kehidupan pesantren selama berabad-abad dan kemudian terpantul dalam bahasa Indonesia tanpa orang merasa canggung lagi, padahal tidak dimengerti akar katanya. Bahkan di dalam manifestasi kehidupan kelompok-kelompok pembaru sekalipun, seperti gerakan Muhammadiyah, pengaruh tasawuf dalam bentuk akhlak atau akhlak sufi ini sangat kuat, seperti dibuktikan oleh seorang antropolog Jepang, Mitsuo Nakamura, dalam salah satu tulisannya. Demikian besar cekaman itu sehingga sulit dibedakan antara penganut sufi bertarekat dengan warga gerakan pembaru yang berakhlak sufi tanpa mengikuti salah satu tarekat. Kenyataan ini membuktikan betapa luasnya jangauan fiqh sufistik yang mengarah pada akhlak muslim Indonesia dalam kehidupan kaum muslimin dan beberapa dalam akarnya.

Cakrawala Baru

Namun di abad ke-19 terjadi perubahan secara berangsur-angsur. Akibat dibukannya perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau yang luas di beberapa daerah, selain pabrik-pabrik gula dengan kebun tebunya yang luas, dengan sendirinya lalu muncul sebuah kelompok santri yang memiliki akumulasi kekayaan semakin bertambah dari masa ke masa, dan dalam waktu 20 sampai 30 tahun telah mempunyai cukup dana untuk mengirimkan anak-anak mereka ke Timur Tengah untuk belajar di sana.

Pada saat yang bersamaan, pelayaran dengan kapal motor secara teratur antara Eropa dan Hindia Belanda telah berlangsung sejak dibukannya Terusan Suez pada awal abad ke-19 itu. Dengan demikian, terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka menghasilkan korps ulama yang tangguh yang mendalami ilmu-ilmu agama di Semenanjung Arabia, terutama di Makah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Aryad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Khalil Bangkalan, dan deretan ulama lain yang tak terputus-putus sampai hari ini. Mereka ini membawakan orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqh yang besar-besar, melainkan juga dengan mengembangkan alat bantunya, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab yang tuntas, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan tidak lupa tentunya juga ilmu-ilmu akhlak.

Gelombang kedua dari sumber keilmuan yang diikuti oleh tradisi keilmuan di pesantren ini menampakkan diri secara jelas di dalam karya-karya para ulama besar Indonesia, seperti Sabil al Muhtadin dari Tuan Guru Arsyad Banjar, Nur azh Zhalam dari Kiai Nawawi Banten, dsb. Merekalah yang memperkenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang-cabang ilmunya di pesantren sehingga muncul kebangkitan humanis ilmu-ilmu keislaman yang telah terpendam selama beradab-abad lamanya.

Hingga saat ini umpamanya, di Pesantren Tebuireng masih terlihat koleksi Kiai Hasyim Asy’ari yang berupa sejumlah buku yang mencerminkan pandangan humanistik, seperti buku Nuzhat al-Alibba fith-Thabaqat al-Udaba (Taman Orang Pandai dalam Tingkatan para Sastrawan). Bahwa seorang ulama fiqh dan hadits seperti Kiai Hasyim Asy’ari memerlukan untuk meninjau secara mendalam buku-buku seperti Nuzhat al-Alibba ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendalaman yang dilakukan akhirnya membawa pemekaran cakrawala mereka sehingga membuat para ulama itu meninjau kehidupan ini secara lebih bulat dan lebih tuntas.

Tidak hanya aspek akhlak saja yang dipentingkan, atau dengan kata lain aspek pengalaman hukum, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan tentang hakikat manusia itu sendiri. Pemekaran pun terjadi juga dengan sendirinya pada pandangan mereka tentang kehidupan bermasyarakat. Jadi, inilah yang merupakan hasil yang sangat positif yang dibawa oleh para ulama Indonesia yang mengalami pendidikan di Timur Tengah pada abad ke-19, terutama tahun-tahun akhir abad itu.

Berdasarkan adanya perkembangan itu maka di pesantren terjadi suatu keadaan di mana peningkatan fiqh sufistik di satu pihak dan di pihak lain pendalaman ilmu fiqh itu sendiri melalui bermacam alat bantu. Muncullah nama-nama orang yang dianggap pandai dalam mendalami ilmu agamanya, bukan hanya dari segi amaliahnya, dan bukan dari segi besarnya pengikut tarekat yang dimilikinya, serta bukan karena tempatnya dalam hierarki ketarekatan di Indonesia, melainkan karena pengetahuan perorangannya mengenai ilmu-ilmu agama yang sudah mencapai batas sangat tinggi.

Orang-orang semacam Kiai Mahfudz Tremas dan Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak dikenal sebagai tokoh tarekat dan tidak mengenal sufisme sebagai “orang dalam” melainkan sebagai sarjana-sarjana yang memiliki kualifikasi sendiri di bidang ilmu pengetahuan tanpa harus bertopang pada hierarki ketarekatan.

Namun, berbeda dengan ulama-ulama di daerah-daerah lain, dan terutama di Timur Tengah, para ulama yang menamakan diri sebagai ulama syari’at itu, tetap saja berpegang pada akhlak sufistik yang telah berkembang selama berabad-abad di Indonesia. Dari sinilah kita masih melihat kegemaran “kiai fiqh”, seperti Kiai Bisri Syamsuri, untuk mengajarkan kitab-kitab fiqh sufistik seperti Qathr al-GhaitsAn-Nasha’ih ad-DiniyahBidayah al-Hidayah, dan kitab-kitab sejenisnya.Bahkan kitab akhlak murni semacam Durrah an-Nashihin juga sangat banyak diikuti dan dikembangkan. Inilah yang merupakan manifestasi keilmuan yang telah sampai ke Indonesia melalui perbedaan waktu 7 abad lamanya.

Dari sinilah bersumber asal usul tradisi keilmuan Islam di pesantren. Di satu pihak, kita melihat adanya kitab-kitab fiqh yang mendalam dengan penguasaan alat-alat bantu yang sangat mengagumkan tetap diajarkan di pesantren-pesantren, seperti terlihat dari pengajian kitab fiqh seperti Al-MuhadzadzabFath al-WahhabQulyubi wa ‘Umairah, bahkan Bijurain yang merupakan komentar fiqh yang sangat dalam. Lebih jauh dari itu, diajarkan pula penggunaan referensi fiqh yang berukuran raksasa seperti Majmu’, yang merupakan komentar atas Kitab Al Muhadzdzab, yang berjumlah 14 jilid dengan tebal masing-masing lebih kurang 6.000 halaman tetap dilakukan oleh para kiai pesantren hingga saat ini.

Kitab fiqh yang sangat tua, yaitu Tuhfah, merupakan salah satu di antara pegangan utama yang tidak pernah berhenti diajarkan. Penjagaan kualitas fiqh itu dilakukan sedemikian rupa sehingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab dasar fiqh, yaitu Taqrib yang terkenal itu. Demikian juga kajian kitab yang pendek tetapi sangat sulit dibaca, seperti Tahrir, tetap dilakukan di pesantren.

Alat bantunya juga mengalami perkembangan pesat. Di antara alat bantu yang terkenal ialah kitab tafsir semacam JalalinIbn KatsirKhazin, bahkan tafsir Qosimi yang 16 jilid dan tafsir Thabari yang 30 jilid masih juga diajarkan terutama di beberapa pesantren utama. Kitab-kitab hadits tidak dicukupan hanya pada Al-Bukhari dan Muslim, melainkan juga berlanjut pada Syarh Al-Bukhari yang bermacam-macam dan tebal-tebal. Syarh Muslim dari Imam Nawawi dan Kaylani sebagai komentar atau syarh atas Bukhari, demikian juga yang lain-lain merupakan bacaan yang berkembang luas di pesantren-pesantren selama ini.

Bahkan buku standar seperti Bulugh al MaramTajrid ash-Sharih, dan Riyadh ash-Shalihin menunjukkan tingginya mutu pengajaran hadits di pesantren-pesantren. Dalam bahasa Arab, yang menitikberatkan pada gramatika dan sintaksis, buku-buku nahwu dan sharaf sangat umum digunakan dalam pendalaman bahasa Arab dan jenjangnya jelas sekali menunjuk pada penguasaan yang bertahap yang semakin tinggi dan semakin kompleks. Mulai dari Al-Jurumiyah, melalui Al-Amriti dan Milhat al-I’rab, selanjutnya ditingkatkan menjadi Al Mutammimah dan berakhir pada Alfiyah ibn Malik yang merupakan seribu baris sajak tentang gramatika bahasa Arab. Pendidikan lanjutannya dapat dilihat pada penggunaan Syarh Hudhari atas Alfiyah ibn Malik, dan lain-lain.

Pendalaman ilmu-ilmu bahasa Arab sebagai ilmu bantu untuk fiqh merupakan sesuatu yang memang mengagumkan, bahkan bagi para ulama Timur Tengah, karena hingga hari ini bacaan dan penguasaan atas gramatika ini merupakan keunggulan ulama-ulama Indonesia di pesantren atas ulama-ulama Timur Tengah. Ini terbukti terus sampai hari ini. Penguasaan atas gramatika klasikal bahasa Arab ini merupakan modal utama para kiai pesantren dalam percaturan ilmiah dunia Islam. Di bidang ilmu tauhid pun demikian yang terjadi. Dari kitab yang sangat sederhana, seperti Jauharah at-Tauhid dan Aqidat al-Awam hingga pada kitab yang rumit seperti Kitab Al-Arba’in karangan Imam Ramli terjadi pendalaman ilmu tauhid yang tidak tanggung-tanggung, termasuk di antaranya Kitab Umm al-Barahin dan Syarh-nya, Dasuqi. Begitu terkenalnya namaDasuqi ini sehingga akhirnya menjadi nama yang umum bagi anak-anak yang lahir di Indonesia.

Jelaslah dengan demikian bahwa penguasaan atas ilmu-ilmu keislaman dalam arti pendalaman yang menuju pada penguasaan fiqh merupakan sesuatu yang khas pesantren di Indonesia. Namun pada saat yang sama tradisi tersebut tidak melupakan sisi lain, yaitu fiqh-sufistik yang merupakan topangan tradisi keilmuan Islam sebelum abad ke-19, di mana bukan pendalaman ilmu dalam arti penguasaan untuk berargumentasi, melainkan pengalaman ilmu yang menjadi ukuran utama. Atas dasar pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tradisi keilmuan di pesantren memiliki asal usul yang sangat kuat, yaitu di satu segi berasal dari perkembangan tasawuf masa lampau dan segi yang lain pada pendalaman ilmu-ilmu fiqh melalui penguasaan atas alat-alat bantunya.

Demikianlah uraian singkat ini, mencoba mengungkapkan asal usul tradisi keilmuan yang ada di pesantren, yang menghasilkan sesuatu yang unik yang jarang didapati di dunia Islam mana pun saat ini. Dan hasilnya pun sangat mengagumkan, umpamanya seperti pada karya Kiai Ihsan Jampes yang menulis Siraj ath-Thalibin yang merupakan komentar dari Minhaj al-‘Abidin karya Imam Al Ghazali. Dalam buku dua jilid dengan tebal lebih kurang 600 halaman beliau menampilkan penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu agama yang bermacam-macam, namun pada saat yang sama menampilkan pula wajah sufistik dari seorang ilmuwan yang mengamalkan syari’at secara penuh. Buku tersebut telah terbit selama sejak lebih kurang 40 tahun yang lalu.

Selain itu, masih ada karya beliau yang belum dicetak, yang berjudul Manahij al-Imdad yang merupakan komentar atas Irsyad al-‘Ibad, sebuah karya pendek yang menunjukkan manifestasi sufistik. Dalam Manahij al-imdad ini sekali lagi terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas sekaligus mengamalkan tasawuf secara tuntas pula. Alangkah sayangnya kalau asal usul ini dilupakan, dan kita hanya terbuai oleh sebuah pendekatan yang dangkal yang hanya dilihat pada pentingnya satu sisi saja. Terpulang pada pesantren di masa depanlah untuk mencari aplikasi baru dari kedua kecenderungan yang telah diserap oleh tradisi keilmuan Islam di pesantren selama ini.