NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang

Sumber Foto; https://www.kompas.id/baca/riset/2022/02/02/nu-dan-komitmen-politik-kebangsaan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Jika ingin melihat tempat Nahdlatul Ulama (NU) dalam konfigurasi kelompok-kelompok strategis bangsa saat ini, satu hal yang harus segera disadari adalah bahwa NU merupakan bagian dan organisasi atau gerakan Islam (Islamic Movement). Oleh karena itu kita akan melihat terlebih dahulu bagaimana nasib gerakan Islam itu di dalam naungan rezim Orde Baru sejauh usia dua puluh lima tahunnya yang pertama. Pengamatan terhadap konstelasi sosial politik pada era itu akan menampilkan sebuah pola interaksi yang sangat menarik apabila ditinjau dari sudut proses perkembangan dan pemecahan berbagai isu utama yang timbul. Berbagai gambaran muncul tentang dinamika hubungan antara gerakan-gerakan Islam dan pemerintah, hubungan internal antara berbagai gerakan Islam sendiri, bubungan eksternal dengan gerakan-gerakan Islam di luar negeri, dan hubungan antara gerakan-gerakan non-pemerintah di dalam maupun di luar negeri. Juga akan muncul gambaran tentang pola utama yang digunakan oleh berbagai gerakan Islam di negeri kita semasa Orde Baru ini.

Namun sebelum memasuki berbagai sudut tinjauan seperti itu, terlebih dahulu kita harus mengenal perkembangan dasar dalam hubungan antara Islam dan negara dalam masa Orde Baru. Terdapat sebuah gambaran sangat menarik dalam kurun waktu tersebut, yaitu adanya perkembangan yang berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap Islam. Di satu pihak dapat disaksikan bahwa sebagai kekuatan politik formal, Islam telah berhasil digusur dari panggung politik oleh kebijaksanaan “de-aliranisasi” (dekonvensionalisasi) yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri kepada Golongan Karya (Golkar) sebagai pemerintah semenjak pemilihan umum (pemilu) 1971, penyederhanaan partai-partai politik dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, pemerintah Orde Baru sesungguhnya sedang melakukan suatu rekayasa untuk proses de-aliranisasi tersebut. Dengan kebijakan seperti itu, partai-partai politik yang berdasarkan aliran seperti NU. PSII, Perti, Parmusi (yang menghasilkan penggabungan partai-partai Islam itu ke dalam Partai Persatuan Pembangunan), berhasil dipapras pemerintah. Dapat disaksikan kemudian, sebagai kekuatan politik formal Islam bersama-sama golongan lain habis tergusur dari panggung politik nasional. Seluruh rekayasa itu dapat dirampungkan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar lima belas tahunan saja.

Namun pada saat yang sama terlihat potensi gerakan-gerakan Islam sebagai kekuatan politik informal juga berkembang dalam masa yang sedikit lebih lama yaitu sekitar dua puluh tahun. Karena memerlukan legitimasi bagi program-program pembangunannya, pemerintah Orde Baru harus memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Termasuk dari gerakan-gerakan Islam. Hampir semua pihak berhasil diserap dengan mudah oleh pemerintah, termasuk PNI dan PSI. Pemberian legitimasi itu berhasil dicapai dengan mudah karena tawaran politik mereka simpel sekali “ikutkan kami dalam proses politik, semua beres”. Hanya kantong-kantong kecil saja yang tidak berhasil diserap, termasuk gereja. Tetapi karena jumlahnya kecil, ya tidak ada masalah bagi pemerintah. Yang menyangkut golongan Islam itulah yang susah. Karena jumlahnya besar, pemerintah tidak dapat mengabaikan begitu saja golongan Islam dalam upayanya untuk memperoleh legitimasi bagi program-program pembangunan.

Responsi yang konstruktif dan gerakan-gerakan Islam telah memungkinkan tumbuhnya ketergantungan parsial di pihak pemerintah kepada gerakan-gerakan itu, seperti dalam masalah keluarga berencana, lingkungan hidup, perbaikan gizi keluarga, pendidikan secara keseluruhan, pemeliharaan stabilitas keadaan sosial-politik dan perkembangan hukum nasional (national law). Ketergantungan itu juga menjadi semakin nyata dengan terjadinya dinamika intensif dalam hubungan internal pemerintahan antara berbagai pusat-pusat kekuasaan (power centres) yang bercatur di tingkat nasional.

Akibat dan ambivalensi itu dapat dilihat sekarang. Meskipun di satu sisi terjadi pengikisan kelompok formal politik Islam, namun di pihak lain kekuatan kepemimpinan non-formal Islam justru semakin meningkat. Karena ia kemudian dapat berada di dalam sistem, sekaligus sebagai korektor di luar sistem. Ini merupakan proses yang tidak terduga sebelumnya. Kekuatan gerakan Islam, meskipun tidak formal, sudah imbang dengan ABRI.1 Terlepas dari itu, dinamika yang terjadi dalam perjalanan menuju posisi inilah yang menarik untuk disimak, karena di dalamnya tersembunyi pola-pola yang dapat digunakan untuk memproyeksikan perkembangan politik berbagai gerakan Islam di masa datang. Juga akan terungkap strategi yang dipakai oleh pihak-pihak yang saling berbeda, kalau tidak dapat dikatakan saling berlawanan di antara berbagai gerakan Islam sendiri. Atau lebih tepat lagi, juga akan menampilkan mana yang mengembangkan dengan sadar strategi tertentu dan mana yang hanya terbawa arus tanpa memiliki strategi apa pun.

Patut juga diingat, bahwa dalam perkembangan tersebut terjadi nuansa-nuansa yang pada umumnya bersifat historik, terbawa oleh latar belakang masing-masing gerakan Islam. Tajamnya isu “Kristenisasi”, umpamanya, berpangkal pada akar lebih ideologik di kalangan sementara golongan Islam, yaitu memahami perkembangan Islam sebagai proses “untung rugi” dalam hubungannya dengan perkembangan-perkembangan lain. Sebaliknya isu tersebut tidak begitu terasa di kalangan yang menangkap perubahan-perubahan tidak secara ideologik, melainkan hanya secara kultural belaka. Nuansa-nuansa seperti itu harus selalu diperhitungkan jika proyeksi yang akan dibuat diinginkan memiliki derajat kedalaman dan kecermatan yang tinggi.

Polarisasi Kekuatan Islam

Kekuatan (politik), umat Islam selama lebih kurang dua puluh tahunan ini sudah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, namun bukan berarti tanpa dinamika internal sama sekali. Kita semua tahu, di kalangan Islam tidak pernah ada kesamaan strategi dalam pengembangan umat, sehingga yang terjadi adalah polarisasi yang cukup tajam antar berbagai gerakan Islam.²

Ada dua kecenderungan umum, sesungguhnya, yang selama ini terjadi, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Kecenderungan pertama, pihak yang berpendapat bahwa Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk eksklusif. Islam tidak menampilkan warna keislamannya, melainkan mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan. Pada kelompok ini tema-tema dan pilihan masalahnya sangat jelas, yaitu masalah yang dihadapi bangsa. Paradigma yang digunakan, berangkat dari agama untuk memecahkan masalahmasalah bangsa.³ Kedua, adalah pandangan yang menginginkan diwujudkannya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata negara (state). Mereka ingin agar agama menjadi pemecah masalah. Paradigmanya, berangkat dengan agama untuk memecahkan masalah bangsa.

Dua corak gerakan ini terlihat jelas setelah pemilihan umum (pemilu) 1971 yang menghasilkan kemenangan mutlak Golkar dan penggusuran partai-partai Islam dari papan tengah percaturan politik. Ketika itu isu utama pertama yang muncul adalah penyederhanaan partai-partai politik ke dalam dua partai saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketika rekayasa politik itu dilakukan, dilaksanakan pula upaya anschlussing (penyerapan) sejumlah tokoh Islam yang tidak terlalu terikat dengan partai-partai Islam ke dalam Golkar. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang berada pada lingkungan birokrasi atau dekat dengan birokrasi pemerintah direkrut dalam posisi-posisi non-strategik dalam batang tubuh Golkar, sementara posisi strategik tetap berada di tangan tokoh-tokoh ABRI dan teman-teman koalisi mereka, seperti teknokrat.

Proses rekrutmen seperti itu tentu saja membuat tokoh-tokoh kuat atau kreatif dari berbagai gerakan Islam menjadi enggan memasuki Golkar. Bagi yang berada dalam pemerintahan, mereka umumnya memilih berkiprah melalui sistem birokrasi yang ada, atau berkiprah dalam berbagai gerakan Islam non-politik seperti Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Bagi yang berada di luar pemerintahan, ada yang menggabungkan diri ke dalam organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau berbagai yayasan budaya dan sosial. Tokoh-tokoh NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada umumnya bertahan di dalam PPP. Tapi tidak sedikit pula yang menceburkan diri dalam berbagai perguruan tinggi swasta atau mendirikan lembaga-lembaga kajian dalam berbagai bidang.

Beberapa isu pada tingkat nasional seperti Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang diajukan pemerintah tahun 1973 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tentang Eka Prasetya Pancakarsa (P4), asas tunggal Pancasila, RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU-SPN) dan RUU Peradilan Agama (RUU-PA) bisa menyatukan kesemua aktivis golongan Islam dari berbagai jenis kegiatan itu untuk mengembangkan kesamaan sikap, yaitu melakukan proses bargaining atau tawar menawar dengan pemerintah untuk memperoleh hasil akhir yang kurang lebih dapat diterima sebagai konsensus yang tidak merugikan Islam. Sedangkan dalam berbagai hal, seperti keluarga berencana, mereka melakukan penerimaan penuh atas program yang ditawarkan pemerintah dan berkiprah aktif untuk mensukseskannya. Hanya dalam beberapa hal yang berlingkup kecil, seperti masalah perjudian, ada perbedaan cukup fundamental antara gerakan-gerakan Islam.

Dari kasus-kasus itu terlihat, bahwa ternyata tidak sepenuhnya ada kesamaan mendasar dalam pandangan berbagai pihak di lingkungan gerakan-gerakan Islam. Perbedaan-perbedaan itu lebih ditentukan oleh tujuan dan sasaran yang diinginkan masing-masing dari pola yang berkembang, baik dengan pemerintah maupun dengan pihak-pihak non-pemerintah di luar gerakan-gerakan Islam sendiri. Mereka yang berkiprah di kalangan LSM misalnya, tentu tidak akan dapat hanya memperjuangkan kepentingan Islam saja, melainkan harus melayani kepentingan masyarakat dalam arti berbagai pihak dan golongan yang saling berbeda asal usul etnis, agama maupun bahasa ibunya. Sebaliknya, bagi gerakan-gerakan formal Islam, justru “agenda Islam” itulah yang menjadi lahan garapan.

Namun “agenda Islam” itu sendiri juga sangat ditentukan oleh orientasi masing-masing gerakan Islam. Sebuah gerakan Islam lokal, misalnya perguruan Islam As-Syafi’iyah di Jakarta, tentu akan lebih menampilkan “warna Islam” bila dibandingkan gerakan berbasis kawasan (territorial coverage) lebih luas, seperti NU. Isu yang dikembangkan sebuah gerakan Islam lokal tentu lebih bermuatan memantapkan pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan umatnya. Sedangkan bagi sebuah gerakan Islam berskala nasional tentunya harus ada kemampuan untuk melakukan akomodasi kepada kepentingan nasional dari bangsa kita.

Demikian pula, muatan transformatif dari upaya mencapai tujuan masing-masing juga mengharuskan adanya perbedaan di antara sesama gerakan Islam. Bagi Muhammadiyah yang sejak semula menekankan upaya pendidikan sekolah, tentu prioritas diberikan kepada orientasi pendidikan dalam kiprahnya. Sebaliknya, bagi NU yang sejak semula lebih menekankan pada basis dan jaringan pesantren, kegiatannya akan lebih diorientasikan oleh keinginan memperkuat pengaruh pesantren dalam kehidupan masyarakat. Ketika orientasi ini memperoleh masukan berupa kesadaran umum untuk memfungsikan pesantren dalam transformasi sosial dan ekonomi sejak lima belas tahun belakangan ini, dengan sendirinya tekanan kegiatan NU lalu kembali ke arah transformasi kehidupan pedesaan (sebagai basis pesantren) secara sosial ekonomis.

Perbedaan-perbedaan dalam orientasi dan “agenda Islam” yang digeluti berbagai gerakan Islam itu, yang lahir dari perbedaan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, juga sangat ditentukan oleh bagaimana masing-masing gerakan memahami pola hubungannya sendiri dengan sistem kekuasaan yang ada. Ada gerakan Islam yang memandang tujuan dan sasaran masing-masing akan lebih berhasil diraih melalui hubungan yang dekat dengan pemerintah, bahkan bilamana dianggap perlu dengan memasuki kekuasaan itu sendiri. Tapi ada juga yang bersikap ambivalen, sementara masih ada beberapa gerakan Islam yang menganggap keikutsertaan dalam dan kedekatan kepada pemerintah sebagai hal yang harus dijauhi.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penentu dalam interaksi internal dan eksternal gerakan-gerakan Islam. Pertama, adalah latar belakang dan sikap historik masing-masing gerakan, termasuk muatan ideologinya. Kedua, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Dan ketiga, pemahaman masing-masing akan hubungannya dengan sistem kekuasaan yang ada.

Tentu hal itu harus juga dilihat tidak secara simplistik, melainkan dalam segala aspek masing-masing gerakan. Dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), umpamanya, walaupun secara formal kepemimpinan berada di tangan para birokrat, dalam kenyataan gagasan dan warna kegiatan sangat ditentukan oleh para mantan aktivis masjid kampus dan kalangan LSM. Tentu akan ada perubahan juga jika nantinya perimbangan kepemimpinan dalam ICMI mengalami perubahan pula. Kecenderungan kuat sikap menolak apa yang dirumuskan sebagai “bahaya kristenisasi yang diperlihatkan ICMI dewasa ini, lebih ditentukan oleh kemenangan pihak masjid kampus dalam menentukan “agenda Islam” yang berkembang di dalamnya.

Dengan menyadari bahwa berbagai faktor mempengaruhi “agenda Islam” dan kiprah masing-masing gerakan, dapatlah kita lakukan kategorisasi dalam hubungan antara gerakan-gerakan Islam dan pemerintah dan melihat orientasi masing-masing kategori ini. Tentu saja dengan senantiasa mengingat bahwa bisa saja terjadi perangkapan peranan oleh berbagai tokoh melalui kiprah kelembagaan yang berlainan.

Di satu pihak ada yang beranggapan bahwa sangat penting untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan, baik sebagai pelaku langsung maupun hanya sebagai perumus kebijakan dan/atau jalur penetapan (king makers) bagi personalia yang bergerak dalam pemerintahan. Karena pandangan ini mementingkan keharmonisan hubungan dengan pemerintah, dengan sendirinya segala hal harus dinomorduakan, termasuk proses demokratisasi politik yang berintikan perjuangan membangun struktur masyarakat yang lebih adil. Sikap lebih menyerahkan masalah itu kepada kemauan baik (political will) pemerintah menjadi umum, kalau perlu dengan membiarkan kemungkinan friksi dengan kelompok-kelompok pejuang hak asasi manusia, lingkungan hidup dan sebagainya. ICMI adalah salah satu contoh dari sikap dan pandangan ini.

Di pihak lain, muncul sikap untuk lebih mengutamakan pengembangan kemampuan melakukan perubahan, tanpa harus masuk ke dalam sistem kekuasaan. Selama hubungan baik dengan pemerintah dijaga agar tetap baik pada tingkat tertentu, dianggap sudah memadai kiprah kelompok-kelompok seperti itu bila ditekankan pada transformasi intern kehidupan para warga mereka. Inilah pendekatan yang dilakukan NU dengan akibat kemudahan bagi para aktivisnya untuk memasuki perjuangan demokratisasi politik melalui “lembaga-lembaga alternatif”, seperti Forum Demokrasi.

Pada saat ini dapat dikatakan berkembang tiga varian pendekatan masalah untuk menampung kedua macam sikap dan pandangan di atas. Pertama, pendekatan sosial politis, yang menekankan perlunya keikutsertaan dalam sistem kekuasaan yang ada. Pendekatan ini tentunya lebih menampilkan warna ideologi Islam, bahkan watak eksklusifiek dari agama Islam terhadap agama, ideologi dan faham-faham lain. “Kepentingan Islam” adalah kredonya dan solidaritas  Islam adalah tali pengikatnya. Sikap sektarian sangat mudah berkembang dalam pendekatan seperti ini, seperti terbukti dari berkobar-kobarnya semangat anti-Kristen dan anti-Cina di sementara kalangan gerakan-gerakan Islam dewasa ini. Kemutlakan tuntutan mereka akan keharusan mensukseskan “proyek Islamisasi” memperlihatkan wajah seolah-seolah kepentingan bangsa secara keseluruhan menjadi terancam, walaupun dalam kenyataan tidaklah demikian.

Varian kedua adalah pendekatan kultural (semata budaya), yang berupa kecenderungan menampilkan sosok Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari, tanpa terlalu dikaitkan dengan kelembagaan apa pun. Kalaupun harus dilembagakan, hal itu hanyalah dalam konteks mendukung proses penyebaran Islam secara budaya itu sendiri, seperti terlihat dari kasus berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina, tumbuhnya kelompok-kelompok “pengajian gedongan” dan sebagainya. Pendekatan ini sebenarnya lebih mengutamakan wawasan universal dari Islam sebagai perwujudan sebuah peradaban dunia, bukannya dalam sosok sistem kekuasaan apa pun. Namun dalam kenyatannya dapat saja terjadi mutasi watak pendekatan ini kepada kehidupan. Sejumlah proponen pendekatan ini serta merta berubah menjadi penuduh pihak lain yang mengganggu suatu sistem kekuasaan manakala mereka mengambil sikap ingin memasukinya. Pendekatan kultural yang demikian inklusif, langsung menjadi pandangan historis yang menuding-nuding kelompok-kelompok etnis dan agama lain sebagai penyebab ketertinggalan kaum muslimin. Sikap yang sesungguhnya hampir sama dangan sikap yang ditunjukkan pendekatan sosio-politis di atas. Dengan sendirinya lalu berubahlah orientasi mementingkan “agenda Islam” atas kerugian “agenda nasional”.

Varian ketiga yang dapat  diketengahkan adalah pendekatan sosio-kultural (sosial-budaya). Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural, yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kelembagaan masyarakat yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini mementingkan kiprah budaya dalam konteks kiprah mengembangkan lembaga-lembaga yang dapat mengubah struktur masyarakat secara berangsur-angsur dalam jangka panjang. Karenanya, ia tidak mementingkan sikap masuk atau tidak ke dalam sistem kekuasaan. Pendekatan inilah yang digunakan kalangan aktivis LSM muslim dalam semua jenis LSM, demikian pula oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang besar seperti Muhammadiyah, NU, kalangan pesantren dan sebagainya. Dengan demikian mudah bagi mereka untuk memasukkan “agenda Islam” ke dalam “agenda nasional” bangsa ini, karena keterkaitan mereka kepada sistem kekuasaan yang ada.

Dengan melihat kategori-kategori pendekatan yang diambil oleh gerakan-gerakan Islam di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir ini, menjadi nyata bagi kita bahwa hubungan antara Islam (yang diwakili oleh gerakan-gerakan Islam) dan negara (yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru) ternyata berkembang dalam pola yang sangat kompleks. Kompleksitas pola hubungan itu justru menimbulkan hikmah karena posisi umat Islam menjadi bertambah kuat. Umat Islam lalu tersebar dalam sekian banyak kegiatan secara merata, mulai dari “pengritik” model pembangunan, mengurusi masalah-masalah ritual, politik formal, masuk ke dalam jajaran birokrasi hingga ada juga yang hanya bangga kalau “dekat” dengan pejabat. Akibatnya sungguh luar biasa. Umat Islam muncul sebagai kekuatan yang sangat diperhitungkan, yang bisa berfungsi korektif walaupun dalam banyak hal berfungsi legitimatif yang sangat memuakkan. Oleh karena itu, sebenarnya sudah waktunya dilakukan upaya untuk saling memahami, bukan menyeragamkan atau menyamakan. Dan kalau bisa tanpa harus dikomunikasikan secara verbal mekanistik. Karena jika sudah bisa saling memahami, tanpa komunikasi pun akan terjadi proses saling mendukung dan mengisi.

Proses Demokratisasi

Sekarang situasi yang sangat kompleks dalam lingkup gerakan internal gerakan Islam itu kita hadapkan pada konstelasi situasi secara umum dari bangsa kita. Proses de-aliranisasi yang direkayasa oleh pemerintah Orde Baru ternyata juga memperlihatkan corak perkembangan lain. Yakni, upaya untuk melakukan sekulerisasi, suatu upaya untuk mempersempit ruang gerak agama, apa pun alasannya. Kaum sosialis, kaum Murba dan sebagainya — karena pengaruh filsafat politiknya yang materialistik — tidak mengakui agama sebagai kekuatan politik. Mereka sebenarnya dalam soal agama setuju, tetapi sebatas sebagai masalah ekspresi individual. Banyak orang yang beragama Islam, yang senang dengan pesantren tapi ia tidak mau identitas politiknya dikenal sebagai orang pesantren karena persoalannya adalah supremasi pandangan keduniaan. Almarhum Soedjatmoko, misalnya, sebenarnya tidak alergi terhadap agama, namun alergi terhadap “lembaga agama” disebabkan persoalan-persoalan sejarah dari lembaga-lembaga agama itu sendiri. Kelembagaan agama yang cenderung legal formalistik dan memperlakukan manusia secara hitam putih, membuat mereka merasa “turun martabatnya sebagai manusia” ketika berada di tengah-tengah lembaga keagamaan.

Dalam konteks belantara kebangsaan, masalah itu juga harus dipahami. Maka persoalan yang mendesak untuk segera dijawab adalah bagaimana melakukan upaya untuk mencari bentuk kenegaraan yang lebih pasti akan memberikan tempat kepada agama tetapi tidak dengan mematikan yang lain. Pada umumnya jawaban terhadap persoalan ini sangat vulgar. Namun dalam perjalanan sepuluh tahun terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses demokratisasi. Isu demokratisasi inilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju arah kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Jika gerakan Islam dapat memperjuangkan proses ini, ia akan dapat menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi masa depan bangsa ini.

Dengan demikian, proses demokratisasi itu dapat menjadi tumpuan harapan dari mereka yang menolak pengagamaan negara, sekaligus juga memberikan tempat untuk agama, bahwa kalau suatu masyarakat demokratis, Islam akan terjamin. Ini merupakan appeal atau himbauan kepada orang-orang yang fanatik yang sedang mencari identifikasi Islam. Sementara bagi orang yang tahu Islam dari yang seram-seram saja, demokratisasi akan menjadi jaminan perlindungan dari Islam.

Namun persoalannya tinggal terpulang kepada umat Islam sendiri, apakah orang Islam sudah siap untuk demokrasi, karena demokrasi menghendaki adanya kesanggupan untuk melihat masyarakat secara keseluruhan. Sementara golongan Islam ini seringkali hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Ini suatu kelemahan. Kelemahan lain, apakah golongan Islam sudah mempunyai kemampuan untuk take and give yang serius. Demokrasi itu isinya memberi dan menerima, Tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain untuk, misalnya, menanggalkan keyakinan agamanya dalam demokrasi. Tapi bahwa masyarakat juga memberikan tempat kepada pemikiran yang bukan agama, itu juga tidak bisa dihindari. Memang begitulah demokrasi.

Ini tidak berarti bahwa umat Islam secara keseluruhan belum siap berdemokrasi. Karena tergantung mana yang disebut umat itu. Kalau umat itu adalah para pemimpin Islam sekarang, memang belum. Tapi kalau yang dinamakan umat itu rakyat dengan tradisinya, saya rasa tidak ada masalah Umat Islam Indonesia, sebagai rakyat yang beragama Islam, saya rasa sama, sudah matang dan sudah waktunya. Mereka sudah lama menuntut, mulai dari kemerdekaan dulu. Tapi para pemimpinnya tidak bisa menangkap isyarat itu, sehingga yang dilakukan justru membuat isu yang sebetulnya berwawasan sempit terus, tidak melebarkan wawasan umat Islam. Karena itu wajar jika sementara orang menyatakan pertumbuhan Islam kini menuju kepada “kelompok” yang sektarian. Menjadi suatu yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Isu semacam pri-nonpri maupun Kristenisasi, sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme. Padahal kita ini hidup dalam pluralisme. Pluralisme terjaga kalau ada demokrasi. Kita kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralistik.

Sampai di mana kehidupan pluralistik itu dapat terjaga. Tergantung dua pihak besar, yaitu golongan Islam dan ABRI Sejauh mana batas budaya demokratisasi, keduanya yang menentukan. Saya melihat banyak kemajuan yang dicapai. Tapi bahaya mundurnya demokrasi juga masih ada. Bisa maju sepuluh langkah, mundur dua belas langkah, bahkan bisa lebih konyol. Itu yang membahayakan. Bahaya itu bisa datang dari golongan Islam yang terlalu banyak tuntutannya yang eksklusif.

Memandang Kekuatan di Luar

Telah dikemukakan tadi bahwa proses demokratisasi akan merupakan jaminan perlindungan dari Islam sebagai agama mayoritas, baik kepada kaum “sekular” yang menolak pengagamaan negara maupun kepada kelompok agama lain yang selama ini merasa “ngeri” melihat kekuatan Islam. Hal ini perlu dijelaskan untuk mencegah kecenderungan kita yang senantiasa mengidentifikasi kelompok lain menjadi hanya satu model saja, yaitu sebagai kelompok yang mengancam umat Islam. Jika kecenderungan ini berlebihan, sebetulnya hanya akan menampakkan wajah rendah diri umat Islam dan pada gilirannya akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif, bagi kekuatan Islam.

Ide demokratisasi sesungguhnya tidak murni hanya berasal dari kalangan Islam, namun juga berasal dari kalangan muda Katolik dan Kristen yang risau melihat kebijakan pemimpin-pemimpin politik mereka yang berusaha menjejalkan orientasi Kekristenan dalam kehidupan negara. Ada dua pendapat di lingkungan generasi muda Katolik tentang bernegara dan hubungannya dengan umat Islam di Indonesia.

Pertama, pendekatan yang sering disebut minus malum, yaitu mengambil alternatif terbaik dari dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Dalam kasus Indonesia, misalnya, apakah Kristen memilih hijaunya tentara atau hijaunya Islam. Mereka lalu memilih hijaunya tentara. Namun pendekatan ini pamornya sudah merosot, maka ya tidak ada pendukungnya. Pendekatan itu dinilai akan berakibat menjadi kontraproduktif.

Kedua, adalah kelompok yang berpendapat sebaliknya. Bagi kelompok ini, hidup di Indonesia tidak bisa sekadar “mengadu” tentara dan umat Islam, karena jika dua gajah berkelahi, yang menjadi korban justru pelanduk. Mereka percaya, Islam tidak berbahaya kecuali kalau diganggu. Sehingga mereka mengajukan pendekatan maius bonum, mana yang paling bermanfaat itulah yang menjadi teman.

Sementara itu perkembangan konstelasi sosial politik era Orde Baru ternyata juga memperlihatkan kepada kita polarisasi yang tejadi di dalam lingkup Angkatan Bersenjata (ABRI). Polarisasi itu muncul karena beberapa faktor yang saling berkait. Perubahan sosial ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah bagaimanapun juga telah membawa sedikit peningkatan taraf hidup. Great expectation pun lalu dikandung penduduk sebagai akibat naiknya ukuran-ukuran obyektif terhadap kehidupan. Dengan kata lain, penduduk meningkat menjadi kritis. Kemudian ada tuntutan-tuntutan subyektif dalam menilai keberhasilan pembangunan, sehingga muncul pula tuntutan peningkatan kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat; pendeknya demokratisasi di segala aspek kehidupan. Dari sini kita tahu, bahwa proses demokratisasi tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Dalam tekanan arus demokratisasi di atas, ABRI justru dalam posisi yang sulit. Jika arus yang berkembang itu ditebas begitu saja, pamor ABRI akan menjadi semakin tidak populer. Namun jika arus itu tidak dipotong, tentu akan menciptakan pertentangan intern dalam tubuh ABRI sendiri, terutama antara mereka yang dinilai melanggar wewenang, mengumpulkan kekayaan, menyalahgunakan kekuasaan dan sebagainya, dengan mereka yang masih “puritan”. Krisis-krisis semacam itu seringkali tampak gejala-gejalanya di permukaan.

Strategi Ganda

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya banyak sekali yang dapat dijadikan partner kerja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika kita mengembangkan pola-pola kebangsaan dengan ikut mengupayakan proses demokratisasi di segala sisi kehidupan. Oleh karena itu, menurut saya, perlu ditempuh strategi ganda. Biarkan ada orang yang mengurusi proses formalisasi agama dalam kehidupan bernegara melalui cara-cara dan produk-produk yang nantinya menampilkan syiar (gebyar) Islam seperti yang tengah diperjuangkan oleh Departemen Agama, MUI, ICMI, dan sebagainya. Sementara harus ada pula yang merebut isu-isu umum yang bukan “khas Islam” untuk dikelola. Pemahaman yang utuh terhadap strategi ganda semacam ini haruslah dimiliki tanpa harus dikomunikasikan secara formal.

Jika sudah demikian, dalam jangka panjang pada konstelasi sosial politik nasional-terlepas dari siapa yang menjadi presiden, atau seperti apa corak pemerintahannya — tempat Islam sudah terjamin. Tinggal seberapa ukurannya. Kalau ukurannya optimal, misalnya harus menguasai lembaga kenegaraan, mungkin harus menunggu. Tapi kalau ukurannya minimal, sekadar Islam berfungsi mendorong proses semakin dikenalnya Islam sebagai rahmatan lilalamin (rahmat bagi semesta), saya rasa tidak ada masalah.

Hanya perlu dicegah jangan sampai terjadi proses overislamisasi di pemerintahan, karena dengan demikian Islam mudah dimanipulasi, kemudian disantuni begitu rupa sehingga kemampuannya untuk berkembang dinamis, independensinya dari kekuasaan dan kreativitasnya sebagai lembaga yang hidup atas tenaganya sendiri akan terancam.

Catatan Kaki:

  1. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah penyatuan tiga angkatan dalam tentara Indonesia dan polisi oleh rejim Soeharto Orde Baru. Penyatuan ini dimaksudkan untuk mengontrol semua angkatan di bawah komando Tentara, termasuk polisi, untuk mengontrol politik rakyat. Setelah reformasi tentara kembali kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Polisi kembali ke struktur yang independen, Kepolisian Republik Indonesia.
  2. Pada satu sisi ada sebagian gerakan Islam yang menginginkan bahwa Islam harus dijadikan sistem negara. Sementara pada sisi lainnya terdapat kelompok yang melihat bahwa ajaran Islam tak perlu jauh masuk pada sistem negara, tetapi cukup subtansi ajara-ajarannya, karena, menurut kelompok ini, Islam sesungguhnya tak pernah memiliki konsep tentang negara yang baku. Terdapat juga kelompok yang menginginkan perjuangan politiknya lewat jalur struktural, ada yang memilih jalur kultural. Dan dalam sejarah ini cukup menyebabkan ketegangan dan menimbulkan fragmentasi dalam kelompok Is- lam sendiri. Contoh soal ini misalnya dapat dilihat dalam Muhammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973. Lihat juga, B.J. Boland, The Struggle of Islam in Indonesia, The Hague Martinus Nijhoff, 1971.
  3. Golongan ini lebih mementingkan bentuk formalisme agama yang diterapkan dalam hukum negara. Ajaran yang dipegangi biasanya merujuk pada pemikiran politik al-Maududi. Lihat. Erwin I. J. Rosenthal, Islam in the Modern national State, Cambridge, Cambridge University Press, 1958.
  4. Kelompok ini lebih mementingkan subtansi ajaran Islam yang diwu- judkan dalam pranata negara, tanpa harus mendesakkan diberlakukannya Is- lam sebagai dasar negara. Argumentasinya mencoba untuk menepis anggapan bahwa Islam yang di luar kekuasaan adalah Islam yang tak lengkap. Lihat tu- lisan Donal K. Emerson, “Islam in Modern Indonesia: Political Impasse, Cul- tural Opportunity”, dalam Philip H. Stoddard, David C. Cuthell and Margaret W. Sullivan (eds.), Change and The Muslim World, Syracuse, Syracuse Univer- sity press, 1981.
  5. Lebih jauh pandangan Soedjatmoko mengenai hal ini, lihat Soejdatmoko, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1984.