Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren

Sumber Foto; https://alfuwisdoms.wordpress.com/2020/05/12/motto-pendidikan-gontor-prinsip-pendidikan-yang-dilupakan/

Tulisan ini merupakan terjemahan dari tulisan yang berjudul: Principles of Pesantren Education 

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Secara teknis, pesantren adalah “tempat di mana para santri tinggal”. Frasa ini merupakan gambaran paling penting dari pesantren, yaitu sebagai suatu lingkungan pendidikan dalam pengertiannya yang menyeluruh. Pesantren mirip dengan akademi militer atau biasa dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas. Dibandingkan dengan lingkungan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh sistem pendidikan publik Indonesia sekarang, yang menjadi ‘kultur pendidikan umum’ bangsa, pesantren dengan sendirinya merupakan suatu kultur yang unik. Dalam pengertian itulah saya menyebut keunikan ini sebagai sebuah subkultur dari masyarakat Indonesia. Tersebar dengan jumlah lebih dari 5.000 buah di 68.000 desa di Indonesia, pesantren memang tepat untuk disebut sebagai sebuah subkultur.

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, saya menyebutkan tiga elemen utama yang menjadikan pesantren sebagai sebuah subkultur: pola kepemimpinan di dalamnya yang berada di luar kepemimpinan pemerintahan desa, literatur universalnya yang terus dipelihara selama berabad-abad, dan sistem nilainya sendiri yang terpisah dari yang diikuti oleh masyarakat luas. Berdasarkan ketiga elemen tadi, yang akan saya bahas lebih detail lagi dalam makalah ini, setiap pesantren mengembangkan kurikulum dan membangun lembaga-lembaga pendidikannya sendiri.

Dengan usaha-usaha tersebut, tiap pesantren merespons tantangan-tantangan yang datang dari luar. Respons itu jelas memiliki pola umum, yang pada gilirannya menempatkan konteks sejarah pesantren di tengah-tengah Indonesia modern.

Suatu pengamatan dari jarak dekat terhadap konteks sejarah tersebut akan memberikan kepada kita kemungkinan-kemungkinan yang menarik dalam rangka mengembangkan pesantren menjadi sebuah lembaga yang lebih maju dan diminati. Dengan menggunakan latar belakang sudut pandang sejarah ini, sejumlah teori pedagogik bisa kita pakai untuk menjelajahi pesantren.

Bagian ini tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh pokok-pokok tadi secara lebih ekstensif, namun diperlukan adanya suatu pendekatan yang komprehensif setelah sekian banyak pendekatan sepotong-sepotong dalam berbagai tulisan tentang pesantren dalam dekade terakhir ini. Penekanan hanya pada satu aspek, atau beberapa aspek saja dalam hal ini, hanya akan menghasilkan ketidak-seimbangan bagi pesantren dalam situasi kontemporernya. Sebuah penelitian lapangan mengenai pengetahuan para ulama Indonesia menunjukkan bahwa pesantren sebagai latar belakang pendidikan merupakan pembentuk pandangan dunia dan sikap-sikap mereka. Hal ini menunjukkan kebutuhan nyata akan pendekatan yang lebih cermat terhadap pesantren daripada yang sudah ada saat ini.

Kepemimpinan kiai di pesantren sangat unik, dalam arti mempertahankan ciri-ciri pramodern, sebagaimana hubungan pemimpin-pengikut yang didasarkan atas sistem kepercayaan dibandingkan hubungan patron-klien yang semu sebagaimana diterapkan dalam masyarakat pada umumnya. Para santri menerima kepemimpinan kiainya karena mereka mempercayai konsep barakah, yang berdasarkan pada “doktrin emanasi” dari para sufi. Namun hal ini bukan satu-satunya sumber ketaatan tersebut, karena tradisi pra-Islam, Hindu, Budha mengenai hubungan guru-santri juga berperan dalam hal ini. Meski demikian, hasil-hasil riset yang belum dipublikasikan dari Sidney Jones1 di Kediri beberapa tahun yang lalu mengungkapkan bahwa secara eksternal kepemimpinan kiai berkembang sepenuhnya menjadi hubungan patron-klien, di mana kiai paling berpengaruh yang berasal dari “pesantren induk” memperoleh ketaatan atas otoritasnya sampai tingkat propinsi dibandingkan para pegawai pemerintah dan para ahli ekonomi maupun politik. Ia mendelegasikan, melalui suatu pembagian tugas yang kompleks, berbagai otoritas yang berbeda kepada para wakil-wakilnya untuk mengurusi berbagai sektor kemasyarakatan. Hasilnya adalah munculnya berbagai tipe kiai yang melayani satu pesantren yang sama, di mana sang kiai sepuh bertindak sebagai pemimpin utamanya.

Betapapun pentingnya sisi kepemimpinan kiai ini, ia tetap berkaitan dengan masalah bagaimana sang kiai memelihara hubungan kepemimpinan dengan masyarakat luas pada satu sisi dan dengan kolega kiai lainnya di sisi yang lain, namun hal tersebut berada di luar lingkup pembahasan ini. Apa yang akan kita telaah di sini adalah bagaimana kepemimpinan kiai dalam hal kependidikan. Dalam hal ini, muncul satu faktor yang sangat penting, yaitu pelestarian tradisi Islam di mana para ulama berperan sebagai penjaga ilmu-ilmu agama. Peran ini tak dapat diwakilkan pada kelompok lain di dalam masyarakat Islam, karena ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa “ulama adalah pewaris para nabi”, sebagaimana dengan terang dinyatakan dalam hadits Nabi. Hanya merekalah penafsir sebenarnya terhadap dua sumber dasar Islam, Al-Qur’an dan hadits. Peran sebagai pemegang kesahihan akhir atas ajaran-ajaran agama ini merupakan kerangka berpikir dasar di mana pengetahuan kiai diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak kesulitan yang dihadapi dalam usaha melestarikan peran penting untuk mengajarkan “pengetahuan agama yang benar” (dibandingkan dengan ajaran yang disebarluaskan oleh para ahli bid’ah) kepada generasi yang muda, karena ada hal yang sangat penting yang lebih harus dilaksanakan dengan cermat sebelumnya: yaitu pencapaian standar ilmu agama yang sangat tinggi pada diri para kiai itu sendiri. Sebagaimana ditunjukkan oleh Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, keberadaan yang unik dari “para santri kelana” merupakan satu bagian dari tradisi untuk mencapai standar tertinggi yang mungkin dapat diraih dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan agama.

Secara pedagogik, ini berarti bahwa segi paling penting dari pendidikan tercapai: suatu bimbingan yang terarah disiapkan oleh sang kiai kepada para santrinya. Sebagaimana semua kadet militer bercita-cita untuk menjadi jenderal di masa depan, dan hanya satu atau dua orang saja yang mampu mencapai cita-cita tersebut tanpa meninggalkan kesan bahwa keseluruhan sistem gagal dalam menjalankan tugasnya, para santri bercita-cita untuk menjadi kiai di kemudian hari, tanpa memandang besarnya pengorbanan fisik dan finansial yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dari sudut pandang hubungan kiai-santri, kepemimpinan kiai meletakkan kerangka berpikir untuk melaksanakan kewajiban menjaga ilmu pengetahuan agama. Aspek sangat penting dari kepemimpinan kiai ini kerap diabaikan dalam usaha-usaha memodernisasi pesantren pada saat ini, dan oleh sebab itu maka sungguh penting mengikut sertakan fokus atas peran pedagogik kiai ini dalam kajian-kajian lebih lanjut mengenai pesantren.

Elemen dasar, yaitu literatur universal yang dipelihara dan diajarkan dari generasi ke generasi selama berabad-abad, secara langsung berkaitan dengan konsep kepemimpinan kiai yang unik. Kitab-kitab klasik tersebut, bila dilihat dari sudut pandang masa kini, menjamin keberlangsungan ‘tradisi yang benar’ dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama sebagaimana yang ditinggalkan kepada masyarakat Islam oleh para imam besar masa lalu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga standar tertinggi ilmu pengetahuan agama yang dapat diraih di masa depan. Hanya dengan cara ini masyarakat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran-ajaran agamanya. Demikianlah posisi utama konsep ahli as-sunnah bagi pesantren hingga kini.

Menurut konsep ini, hanya para ulama secara yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dua luas sumber dasar Islam. Terkandung di dalamnya klaim lain yang menyatakan bahwa hanya masyarakat Islam saja yang dikaruniai tugas dasar untuk memimpin rakyat secara luas. Dengan kata lain, pesantren adalah model dasar untuk menuntut ilmu bagi masyarakat Islam, dan selanjutnya masyarakat ini adalah teladan yang akan diikuti oleh rakyat secara luas dalam hal menuntut ilmu. Dua model pencarian ilmu pengetahuan ini menggambarkan ikatan peran ilmu pengetahuan agama secara keseluruhan. Hanya inilah satu-satunya cara yang tersedia bagi para ulama untuk melestarikan ajaran Islam sebagai suatu etika sosial masyarakat setelah kemacetan konsep politik tentang ummah (bentuk masyarakat Islam) dalam berabad-abad yang lampau. Secara edukasional, peran kitab-kitab klasik, yang lazim disebut kitab kuning, adalah memberikan informasi kepada para santri bukan hanya mengenai warisan yurisprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang untuk mencapai hakikat ‘ubudiyah kepada Tuhan, namun juga mengenai peran-peran kehidupan di masa depan bagi suatu masyarakat.

Tentu saja, “konsep aplikatif” mengenai menuntut dan menguasai ilmu pengetahuan agama ini bukanlah satu-satunya fungsi yang tampak dari kitab-kitab yang telah diajarkan dari generasi ke generasi tersebut, karena ada lagi fungsi-fungsi yang lain, yakni sebagai mata air tempat para peziarah sufi mereguk minuman bagi rasa dahaga jiwa mereka yang tidak pernah terpuaskan akan Kebenaran Sejati. Namun sejauh berkaitan dengan pendidikan pesantren, peran ganda yaitu memelihara warisan masa lalu pada satu sisi dan legitimasi bagi para santri dalam kehidupan masyarakat di masa depan pada sisi lain, adalah bukti yang paling tampak, karena keduanya adalah proses yang saling terjalin dari pemeliharaan pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan pada saat yang bersamaan.

Hakikat konsep penyebaran pengetahuan, yang berdasarkan pada ketaatan penuh terhadap kandungan kitab-kitab tadi, kini menghadapi tantangan dengan adanya fakta bahwa pengetahuan agama dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai macam cara belajar termasuk penggunaan terjemahan langsung atas kitab-kitab tersebut ke dalam bahasa nasional atau setempat. Hal ini jelas mengancam peran keilmuan atau keulamaan sang kiai. Yang juga masuk dalam proses ini adalah peran kiai sebagai penjaga “ilmu pengetahuan agama yang benar”, karena penggandaan kitab-kitab berarti juga penyebaran paham-paham yang beraneka warna tentang kehidupan. Diperlukan adanya kajian-kajian lebih lanjut mengenai hal ini untuk mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan-perkembangan seperti yang telah digambarkan di sini terhadap karakteristik inti dari pesantren.

Elemen dasar ketiga dari pesantren adalah sistem nilainya yang unik. Berdasar pada ketaatan terhadap ajaran Islam dalam praktik sesungguhnya, sistem nilai ini tak dapat dipisahkan dari elemen-elemen dasar lain-nya, yaitu kepemimpinan kiai dan literatur universal yang digunakan oleh pesantren. Pengundangan ajaran-ajaran Islam secara total dalam praktik kehidupan sehari-hari baik oleh para kiai dan santri menjadi legitimasi, baik bagi kepemimpinan kiai dan penggunaan literatur universal tadi hingga sekarang. Literatur yang menjadi sumber pengambilan nilai-nilai dan kepemimpinan kiai sebagai model bagi penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata merupakan arus utama dari sistem nilai ini.

Sistem nilai yang unik ini memainkan peran penting dalam membentuk kerangka berpikir masyarakat yang dicitakan oleh orang-orang pesantren bagi masyarakat secara luas. Kesalehan, contohnya, adalah salah satu nilai yang sering digunakan oleh para kiai pesantren untuk memupuk solidaritas di antara berbagai lapisan kelas sosial, sebagaimana ditunjukkan melalui cara-cara cerdik untuk mengkonversi perilaku yang demikian kokoh dari para bekas abangan menjadi tata cara hidup yang islami. Dengan meminta mereka untuk menunaikan ibadah haji ke Makah lalu, berdasarkan status baru mereka sebagai haji, diminta untuk mengurusi administrasi dan pengelolaan keuangan masjid desa, adalah salah satu dari sekian banyak cara yang digunakan untuk menjalankan jenis ‘kesalehan sosiologis’ ini. Kajian yang dilakukan oleh Bambang Pranowo2 tentang bagaimana pesantren-pesantren di Magelang menggunakan cara ini untuk melintas-batas kesalehan memberikan suatu informasi yang kaya tatkala proses ini diterapkan dalam konteks yang lebih luas untuk mengubah masyarakat lokal menjadi berperikehidupan santri yaitu dengan menyerap ekspresi-ekspresi kultur lokal dan bentuk-bentuk kesenian yang semula dipandang “tidak islami”, melalui acara keagamaan formal yang diselenggarakan oleh pesantren. Sebagaimana seluruh sistem nilai holistik, nilai-nilai yang dihargai di pesantren berdasarkan pada ajaran-ajaran agama formal yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Sistem nilai pesantren mengambil kerangka berpikir- nya dari doktrin barakah kiai kepada santrinya. Keyakinan bahwa bimbingan yang memancar dari sang seorang kiai atas santrinya merupakan syarat untuk menguasai “pengetahuan agama yang benar” merupakan landasan sistem nilai ini. Para santri harus berusaha mengikuti dengan sangat cermat penerapan ajaran-ajaran agama oleh kiai mereka sedetil mungkin. Mereka harus mengalami periode permulaan dalam bentuk pengorbanan fisik (tirakat), melaksanakan tugas apa saja yang diperintahkan oleh kiai mereka, dan harus senantiasa taat kepadanya. Ketundukan penuh atas perintah guru ini, berasal baik dari praktik-praktik mistik Timur Tengah maupun hubungan guru-murid pada zaman pra-Islam yang sudah lazim di kalangan masyarakat pribumi Indonesia, mencapai titik kulminasinya dengan doktrin kewalian yang tentu saja khas Indonesia.

Sementara konsep awal dari kewalian sendiri di Timur Tengah menunjukkan kepada orang-orang saleh dan suci yang menolak keduniawian dan larut dalam perilaku kefanaan diri (tafani), konsep kewalian orang-orang Indonesia (atau lebih tepatnya lagi, orang Jawa) tetap mempertahankan fungsi-fungsi keduniawian tertentu bagi orang-orang suci tadi, di mana banyak dari mereka adalah orang-orang yang piawai dalam berbagai jabatan publik, yang tetap dipakai sebagai para penasihat oleh kemudian adipati. Hal ini menunjukkan pengaruh yang para raja dan kuat dari nilai-nilai pribumi pra-Islam pada sistem nilai pesantren, karena tradisi pandita dari zaman-zaman terdahulu menunjukkan ciri yang sama dari tingkat kenegarawanan kuno (begawan) dari para pejabat publik.

Ketiga unsur dasar pesantren tadi saling terkait satu sama lain dalam suatu pola yang sangat kompleks yang teramat rumit untuk dapat diurai. Akan tetapi, tantangan-tantangan yang datang dari luar lingkungan Pesantren sendiri yang sesungguhnya menyebabkan tak dapat diurainya saling keterkaitan tadi, dengan mengarahkan tiap-tiap unsur dasar pada perubahan- perubahan ke dalam pola-polanya sendiri. Sistem nilai ini, yang secara eksklusif berdasarkan hampir pada barokah kiai, kini harus diformalkan dengan adanya diploma tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai “ijasah”. Literatur universal yang telah diguna-kan selama berabad-abad kini harus bersaing dengan materi pengajaran baru yang lebih sederhana yang dipakai pada sekolah-sekolah agama negeri yang berada dalam pesantren-pesantren, sebagaimana literatur agama umum di media massa modern. Kini kepemimpinan kiai tunduk pada skema-skema yang telah melembaga baik yang berasal dari dalam pesantren sendiri maupun dari luar, yang mana mau tak mau dapat memengaruhi sifat, lingkup, dan gaya dari kepemimpinan yang sangat unik tersebut.

Pesantren telah menjawab tantangan-tantangan masa lalu di Indonesia dengan sukses. Sementara sistem pondok sebagai penginapan sufi (zawiyah, jamak zawaya)–yang kini jumlahnya sedikit di tanah Malaysia atau sebagai benteng pengajaran keagamaan nonsekolah yang ketat bagi umat Islam di propinsi-propinsi selatan Thailand-kini mengendor di bawah serangan gencar yang tiada henti-hentinya dari sistem sekolah model Barat maka pesantren di Indonesia menunjukkan kemampuan unik untuk menanggapi dengan cara yang lebih kompleks daripada semata-mata menolak bentuk pendidikan yang berupa sekolah. Selama tahun 20-an pesantren menerapkan sekolah-sekolah agama secara eksklusif di dalam lingkungannya. Pada tahun 30-an mulai terlihat kurikulum campuran di sekolah-sekolah tersebut, puncaknya adalah didirikannya sekolah-sekolah agama negeri di pesantren selama tahun 60-an dan awal 70-an. Pada waktu yang sama, pengalaman-pengalaman terpisah di berbagai pesantren selama akhir tahun 60-an untuk mendirikan sekolah-sekolah nonagama di sekitar lingkungan mereka dengan pendidikan agama hanya diberikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler selama jam-jam di luar sekolah menghasilkan jaringan yang lebih luas dari sekolah-sekolah seperti ini di banyak daerah di Jawa.

Contohnya, di Banyumas selatan, Jawa Tengah, banyak sekolah-sekolah agama dengan kurikulum campuran telah mengubah bentuk menjadi sekolah yang nonagama total sehubungan dengan banyak permintaan masyarakat. Apa akibat dari situasi ini bagi pendidikan agama di Indonesia pada masa depan tetap belum dapat dilihat, yang jelas diperlukan kajian-kajian serius lebih lanjut mengenai topik ini.

Di sisi lain, percobaan-percobaan untuk mendorong pesantren agar menjadi “basis pembangunan desa atau masyarakat” yang dimulai pada awal tahun 70-an, kini telah berkembang pesat menjadi suatu usaha oleh yang masif bagi transformasi sosial yang diawali pesantren. Akan tetapi, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah asumsi ini naif ataukah semata-mata ambisius, namun bagaimanapun juga munculnya gagasan-gagasan seperti ini dalam suatu pola penerimaan yang meluas telah membawa dampak dan implikasinya sendiri bagi masa depan. Peran untuk memajukan tranformasi sosial seperti ini memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap fisibilitas gagasan-gagasan itu sendiri, sebagaimana perubahan-perubahan yang telah dibawanya ke dalam eksistensi pesantren itu sendiri.

Bukankah kepemimpinan kiai terlalu elit untuk tunduk pada kebutuhan akan kepemimpinan partisipatoris yang diperlukan bagi transformasi sosial yang murni? Seberapa jauh pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan dapat memainkan suatu peran pembebasan bagi masyarakat dari era lama bentuk-bentuk perbudakan, sedangkan pada saat yang sama ia pun harus memenuhi permintaan dari masyarakat itu sendiri yang mana keberadaannya bergantung pada faktor-faktor eksternal di luar jangkauan pesantren? Bagaimana sebuah lembaga pendidikan memainkan peran sebagai penyedia perangkat ideologis bagi perubahan-perubahan mendasar dalam filsafat publik, dalam ketiadaan dari suatu ideologi politik alternatif yang koheren? Akankah usaha ini justru tidak menghancurkan struktur pesantren sendiri yang hanya sebagai suatu “lembaga kultural” dan bukannya lembaga politik?

Mengenal keterbatasan peran pesantren dalam suatu transformasi sosial yang komprehensif dan fundamental adalah suatu perilaku yang sangat penting terhadap apa yang sedang terjadi saat ini bukan hanya di dalam, tapi juga terhadap pesantren. Terlalu menekankan satu kemungkinan untuk mengembangkan pesantren akan melalaikan kita dari sikap yang paling penting untuk selalu waspada atas keberadaan pesantren yang pada pokoknya adalah suatu lembaga pendidikan. Pentingnya peringatan ini tampak jelas dari kenyataan bahwa kegiatan-kegiatan di pesantren saat ini jarang membahas bagaimana caranya memajukan pesantren sebagai sebuah subsistem pendidikan di dalam sistem pendidikan nasional, lepas dari usaha- usaha kecil untuk memajukan pengajaran bahasa dan matematika pada beberapa pesantren. Sebuah kajian yang koheren dan komprehensif mengenai sistem pendidikan pesantren dibutuhkan sebelum kita dapat melanjutkan mengenai pengembangan pesantren dengan cara-cara lain, dan sebelum meyakini dengan pasti tugas-tugas besar pesantren seperti menjalankan transformasi sosial di pedesaan.

Pertanyaan mengenai bagaimana mengembangkan tiga elemen dasar pesantren — tanpa mengubah secara mendasar sifat-sifat kulturalnya yang terbukti bermanfaat bagi pesantren di masa lalu–ke dalam elemen-elemen baru kemajuan yang sesuai dengan peran pesantren di masa depan adalah hal yang krusial.

Mestikah kita membiarkan pesantren terus menggunakan kitab-kitab klasik, dengan kekurangan-kekurangan- nya yang besar sebagai suatu anomali bagi situasi yang sedang berubah? Namun apa yang dapat kita jadikan sebagai gantinya, mengingat fakta bahwa kitab-kitab klasik tadi merupakan latar belakang kultural bagi sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren nantinya?

Jika “para perencana pesantren” di kemudian hari berhasil menemukan suatu solusi, bagaimana nantinya mereka dapat menerapkan kesepakatan tersebut di antara sekian banyaknya panorama pesantren yang terpecah-pecah di Indonesia saat ini?

Perkembangan lain yang juga terjadi di dalam gerakan-gerakan Islam di Indonesia kini juga perlu dibahas secara singkat mengenai efeknya terhadap pesantren. Meningkatnya berbagai strategi yang digunakan oleh berbagai organisasi Islam untuk menegakkan syiar Islam tak terelakkan lagi melakukan pendekatan dasar pada perubahan sosial, strategi-strategi tadi termasuk dalam kategori-kategori berikut ini: sosiopolitik, kultural, dan sosiokultural.

Strategi sosiopolitik menekankan pentingnya formalisasi ajaran-ajaran Islam ke dalam lembaga-lembaga negara melalui upaya-upaya formal dan legal yang terus-menerus pada gerakan-gerakan Islam tersebut, terutama melalui partai Islam yang eksplisit atau suatu partai politik eksklusif bagi orang Islam pada tahap nanti. Untuk mengantisipasi datangnya tahapan itu, orang-orang Islam harus belajar mengenai moral Islam yang benar dan menerapkan pola hidup islami baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini kampanye bagi islamisasi hukum nasional mendapat prioritas.

Strategi kultural dirancang bagi pengembangan Kepribadian yang matang bagi orang-orang Islam dengan cara memperluas wawasan mereka, melebarkan ruang lingkup komitmen mereka, memperdalam kesadaran mereka mengenai kompleksitas lingkungan umat manusia, dan memperkuat solidaritas mereka terhadap sesama umat manusia tanpa memandang ideologi politik, asal usul etnis, latar belakang budaya, dan keyakinan agama. Agar tujuan ini dapat dicapai maka diperlukan pengembangan penuh perilaku rasional orang-orang Islam terhadap kehidupan. Strategi ini menekankan sebuah dialog terbuka dengan seluruh ideologi dan pemikiran-pemikiran filsafat, dengan tujuan untuk memberdayakan umat Islam agar dapat menyerap sebanyak mungkin segala macam pengetahuan dan informasi. Dengan demikian, perilaku ini menghindari segala macam pelembagaan ajaran-ajaran Islam, karena usaha semacam ini dalam hal pelembagaan ajaran-ajaran tadi akan memersempit mereka ke dalam sikap-sikap eksklusif dan langkah-langkah sendiri yang menghambat kebebasan mengemukakan pendapat dan pikiran-pikiran liberal yang sangat dihargai oleh strategi ini. Gagasan-gagasan negara sekuler lebih disukai, karena hanya bentuk pemerintahan seperti ini yang cukup objektif untuk menjamin kebebasan tersebut.

Strategi sosiokultural melihat perlunya mengembangkan kerangka berpikir masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, lembaga-lembaga yang dihasilkan dari proses-proses ini bukan eksklusif lembaga-lembaga Islam, tapi “lembaga-lembaga umum” yang dapat diterima oleh semua. Dengan kata lain, kerangka-kerangka berpikir masyarakat yang dibangun oleh umat Islam mesti berhubungan dengan yang dibangun oleh orang lain. Komunalitas ini hendaknya merefleksikan keinginan bagi suatu transformasi fundamental atas masyarakat itu dengan usaha-usaha dari mereka sendiri. Formalisasi ajaran-ajaran Islam bukan bagian dari transformasi itu, tapi mereka memberikan kontribusi bagi terbentuknya suatu masyarakat di mana umat Islam dapat mengimplementasikan diri mereka secara individual atau secara sosial sebagai etika sosial. Selain lembaga-lembaga politik, strategi ini mengilhami terbentuknya suatu komunitas politik yang menjunjung tinggi aturan hukum, kebebasan mengemukakan pendapat, kerangka berpikir demokratis negara, pembagian kekayaan bangsa yang adil, dan lain-lain. Cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan tadi bukanlah suatu jaringan politik, tapi kampanye-kampanye kultural untuk menyadarkan rakyat akan kemampuan mereka yang inheren untuk menentukan nasib mereka sendiri. Lembaga-lembaga sosial yang mereka bangun tentu saja lembaga-lembaga kultural, sekalipun dengan fitur-fitur sosial ekonomi, yang diilhami oleh kesadaran politik daripada kekuatan rakyat untuk mengubah kehidupan mereka sendiri.

Bagaimana pesantren merespons strategi-strategi tadi? Beberapa pesantren secara alami akan menerapkan strategi pertama, yaitu pendekatan sosiopolitik, karena perkembangan historis gerakan-gerakan Islam di Indonesia pada masa lalu mendiktekan demikian. Akan tetapi, langkah yang aman akan menghasilkan baik strategi kultural maupun strategi sosio-kultural di antara mayoritas pesantren. Ini dinyatakan oleh keberadaan utama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan. Apa efek dari pilihan-pilihan tadi untuk masing-masing pesantren, khususnya mengenai sifat-sifat pendidikan pesantren yang telah dikembangkan sejauh ini? Jawaban untuk pertanyaan ini akan mengarahkan kita ke seluruh pertanyaan penting mengenai apakah lembaga pendidikan mampu mengembangkan wawasan-wawasan ideologis melihat yang semakin meningkat dalam proses perannya transformasi sosial bangsa ini. Bagaimana pesantren, sebagai sebuah lembaga pendidikan, menjawab tantangan ini me- rupakan perkembangan yang paling menarik untuk diamati dan dianalisis. Baik keterbatasan-keterbatasan dan peluang-peluang berlimpah-limpah dalam pengembangan pesantren yang sedang mengalami konflik selama ini.

Kesukaran-kesukaran untuk mengkombinasikan kedua fungsi pendidikan dan ideologi dalam proses ini masih besar sehingga lembaga unik ini akan dapat melakukannya dengan tepat sehingga pertanyaan-pertanyaan berat yang diajukan pada awal tadi dalam makalah ini diajukan secara konstruktif.

Kemerdekaan relatif pesantren dari intervensi luar dalam skala yang masif memberinya ruangan untuk melakukan manuver yang diperlukan guna mencoba berbagai gagasan. Kemerdekaan relatif, yang merupakan buah dari kemampuan pesantren dalam merespons dengan cara-cara yang konstruktif tantangan-tantangan eksternal seperti diperkenalkannya sistem sekolah model Barat pada awal abad ini, adalah situasi otonom yang memberikan pesantren keluwesan yang cukup untuk merintis dan merancang konsep-konsep pendidikan baru dan secara kultural berperanan penting dengan kesadaran ideologis guna terwujudnya dasar yang kokoh bagi transformasi sosial  yang fundamental yang dibutuhkan oleh bangsa ini di masa depan. Sejarahlah yang kelak menilai janji pesantren akan hal ini, apakah terwujud atau tidak.

Catatan Kaki:

  1. Sidney Jones, kini adalah direktur ICG (International Crisis Group) Asia Tenggara bermarkas di Jakarta. Awal tahun 1980-an pernah melakukan riset tentang NU dan pesantren. Salah satu tulisannya yang dipublikasikan adalah Ummah yang terjemahannya dimuat dalam buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Greg Fealy dan Greg Barton (ed.) (Yogyakarta: LKIS, 1997). Sidney Jones juga banyak melakukan riset di Indonesia terutama tentang tumbuhnya gerakan Islam radikal meski terkadang risetnya terkesan generalisasi terhadap kasus-kasus gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney Jones baru populer di ka- langan publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya yang berjudul “Al- Qaidah in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” in Indonesia.” Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan Indonesia ketika menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation (1977-1984), Amnesty International (1984-1988), Direktur Divisi Asia Human Rights Wacth (1989- 2002). Sekitar 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indonesia. Sebagai peneliti yang banyak “asam garam” dengan Orde Baru, Sidney telah mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isu-isu lain yang merupakan “makanan” kelompok LSM. Sedang International Crisis Group (ICG) merupakan sebuah orga- nisasi non-profit yang melakukan riset lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya. Organisasi ini bersifat multinasional dan independen dengan mempekerjakan lebih dari 90 staff di beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor pusat di Belgia serta kantor-kantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London. ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negara-negara tersebut meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Le-one-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbeki stan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir, di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia. ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, perusahaan dan donor individual. Negara-negara yang pada saat ini turut me- nyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies, Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation, John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The Fundacao Oriente.
  2. Professor pada IAIN, sekarang UIN, Jakarta. Lihat tulisan Bambang Pranowo, “Traditional Islam in Contemporary Rural Java,” dalam M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian social context, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.