Judul |
---|
Gus Dur Bertutur |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Alvian Muhammad, Helmi Jacob |
Penerbit |
Harian Proaksi dan Gus Dur Foundation, Jakarta, Maret 2005 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan GD, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2005 |
Judul Tulisan
Prolog
Bagian (1) Agama, Peradaban, dan Perubahan Sosial
- Mengerti Berbeda dari Mengetahui
- Tradisionalisme yang Diinginkan
- Batas Perubahan, Garis Tradisionalisme
- Berbeda Cara, Berlainan Biaya
- Komunisme, Agama, Modernisasi
- Lain Dahulu Lain Sekarang
- Lain Sejarah Lain Sekarang
- Memahami Pengertian Orang Lain
- NU Dulu dan Kini
- Peranan Para Pendahulu
- Supaya Sekadar Tahu Saja
Bagian (2) Demokratisasi dan HAM
- Pemeriksaan Tuntas atas Kasus Munir
- Belajar dari Pengalaman Orang
- Bepergian dengan Seorang Master
- Demokrasi adalah Sebuah Pilihan
- Kita dan Hak Konstitusional
- Memahami Arti Sebuah Kongres
- Perhelatan Akbar ataukah Perubahan Sosial
- Tugas NU dan PKB dalam Politik Nasional
Bagian (3) Ekonomi dan Keadilan Sosial
- Akhirnya Mereka Punya Airport
- Asimilasi, Pluralitas, dan Ekonomi
- Pembangunan Ekonomi dan Lingkupnya
- Krisi Multi Dimensi Segera Berakhir
- Kebijakan Ekonomi: Antara Teori dan Praktik
- Kisah Sebuah Pertentangan Lama
- Semangat Kebangsaan dan Perikemanusiaan
Bagian (4) Ideologi dan Negara
- Sebuah Teori tentang Terorisme
- Anatomi Sebuah Pendapat
- Mencari Arti Rekonsiliasi
- Berubah Karena Alasan Geopolitis
- Dialog Model Berjualan Kecap
- Gereja Awam, Gerejanya Rakyat
- Mau Mencari Apa Kabinet?
- NU dan Faham Kebangsaan
- Susu Kerbau dibilang Susu Sapi
Bagian (5) Tregedi Kemanusiaan
- Tragedi Itu Bernama Tsunami
- Sahaya Biologis, Budak Sosiologos
- Tembok Besar, Lambang Penderitaan?
- Kedewasaan dan Bencana Alam
- Bersatu dalam Penderitaan
- Lagi-Lagi Bencana Alam NAD
- Menyambut Terbitnya Koran Baru
Epilog
Sinopsis
Buku Gus Dur Bertutur adalah berisi gagasan Gus Dur di Harian Proaksi yang terbit dari 2 Oktober 2004 hingga 28 Februari 2005. Ada empat puluh empat artikel yang ditulis Gus Dur dalam waktu lima bulan. Harian Proaksi sebelumnya lahir dalam format tabloid dengan nama AKSI.
Ada perkembangan menarik di tiap tulisan-tulisan Gus Dur di era 70-90an yang sering menggunakan diksi seperti dinamisasi, transformatif, tradisi, dan humanitarian. Sementara di buku ini pembaca akan menemukan kata yang berbeda. Gus Dur lebih sering menggunakan diksi ‘melestarikan’ dan ‘membuang’. Hal itu dicantumkan di setiap akhir paragraf, hampir di semua tulisannya.
Di tambah lagi dengan gaya khas Gus Dur, yang selalu mengakhiri tulisannya dengan sebuah pertanyaan: “bukan?”. Sepertinya Gus Dur tahu siapa target pembaca di harian Proaksi kala itu. Ia sengaja melempar gagasan-gagasan reflektif ke sidang pembaca dengan gaya pertanyaan unik di tiap tulisannya.
Kalau diperas, setidaknya ada dua semangat yang Gus Dur hadirkan dalam buku ini. Pertama adalah tentang keislaman. Yang kedua adalah keindonesiaan. Dari keduanya lalu lahir gagasan-gagasan yang di bagi pada lima bagian. Yakni agama dan perubahan sosial, demokratisasi dan ham, ideologi dan negara, keadilan ekonomi, dan tragedi kemanusiaan.
Dari semuanya itu Gus Dur ingin menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang tradisionalis muslim yang menginginkan terjadi perubahan sosial di masyarakat. Dalam tulisan Tradisionalisme yang Diinginkan, Gus Dur mengkritik orang beribadah yang asal ibadah saja, yang secara syariat penting sudah sah. Yang mana hal itu tidak memberikan dampak perubahan sama sekali bagi dirinya maupun ke masyarakat. Seperti kasus orang berlomba-lomba pergi umrah ke tanah suci yang tidak bertumpu pada kebersihan biaya dan cara melakukannya.
Bagi Gus Dur, ibadah tidak sekadar kepuasan psikologis namun juga mampu mengubah hidup masyarakat.
Esai-esai di sini ditulis dengan cara bertutur. Gus Dur menceritakan atau menuturkan pengalaman-pengalamannya saat berjumpa dengan sahabatnya, bertemu seseorang di sebuah forum, baik di dalam maupun luar negeri. Di akhir tulisan diberi keterangan kota atau negara serta tanggal disaat tulisan itu terbit. Seperti Makkah, Madinah, Melbourne, Beijing, Shanghai, dan Jakarta.
Seperti pada esai Mengerti Berbeda dari Mengetahui, Gus Dur menuturkan ia bertemu seorang ibu bernama Dr Saliha Scheinhardt Sapcioglu, dalam sebuah forum di Timur Tengah. Ia mengajukan pertanyaan kepada Gus Dur tentang keislaman, lalu dijawablah pertanyaan itu hingga membuatnya terkesima. Lalu Dr Saliha mencium lutut kanan Gus Dur.
Kenapa Gus Dur memiliki cara pandang yang luas dalam melihat persoalan, bahkan dianggap kontroversial bagi sebagian orang? pembaca akan menemukan jawabannya di buku ini. Satu hal kegemaran Gus Dur selain membaca buku adalah suka silaturrahim, sowan, berkeliling bertemu banyak orang. Dalam tulisan Batas Perubahan, Garis Tradisionalisme, sangat terlihat akan hal itu. Gus Dur bertutur saat sowan ke kediaman Sayyid Alawi Al-Maliki dan Ir Farhad, cucu Syekh Yasin Padang, lalu menuliskan analisis tentang pola pengajaran yang berbeda dari dua ulama besar yang dijadikan rujukan muslim Indonesia.
Membaca buku ini seakan Gus Dur sedang nuturi, memberi nasihat kepada kita tentang masa depan bangsa. Ini loh cara beragama yang baik seperti ini, begini loh cara bernegara yang benar, coba kamu pikirkan ulang deh dari kejadian ini (yang sudah terjadi). Pengalaman berharga dari Gus Dur ini menarik kembali kita nikmati walaupun sudah puluhan tahun silam.