NU dan Faham Kebangsaan

Sumber Foto: https://www.nu.or.id/fragmen/nu-asas-tunggal-pancasila-dan-pandangan-syariat-islam-bagian-1-5BZD8

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

APA yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini sebenarnya telah dibahas dalam beberapa artikel penulis. Karena ditanyai berkali-kali oleh orang, maka penulis membahas sekali lagi hal-hal tersebut dalam sebuah artikel yang ada di tangan pembaca kali ini. Itupun hanya masalah terpenting, yaitu hubungan NU (dan dengan sendirinya PKB) dengan faham kebangsaan. Inilah apa yang oleh kawankawan penulis, terutama Soetardjo Surjoguritno anggota DPR-RI dari PDI-P sebagai ‘gerakan Islam yang nasionalistik’. Penamaan ini memang tepat, sesuai dengan kenyataan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam Muktamar Asembagus (Situbondo), mengubah asasnya dari Islam menjadi kebangsaan. Keputusan itu tampak seperti oportunisme politik. Namun sebenarnya perubahan itu punya cerita panjang yang tidak diketahui orang. karena itu tulisan ini bermaksud memberikan gambaran yang sebenarnya.

Bahwa NU bermula dari budaya pondok pesantren adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari siapapun. Karenanya NU kaya dengan penampilan budaya tersendiri, haruslah dimengerti. Sedangkan NU (dan juga Muhammadiyah) didirikan menjadi sebuah lembaga atau instansi pada abad ke-20, yaitu tahun 1926 dan 1912. Budaya NU itu sendiri berasal dari bumi Nusantara, karenanya, masalah-masalah kebangsaan tidak asing baginya. Dengan demikian, kelembagaan NU tidak dapat dilihat terlepas dari apa yang ada pada bangsa ini, dan terkait erat dengan sejarahnya. Karena itu, dapat dipahami betapa NU tidak akan mungkin menjadi organisasi yang militant atau ekstrim. Karena keseluruhan NU terkait dengan kehidupan bangsa ini, dan terlepas dari sesuatu yang formal/resmi ataupun universal. Ambil contoh para ulama NU mengizinkan orang-orang perempuan bersalaman dengan mereka. Ini tentu karena tujuannya adalah untuk menghormati sang Alim, sesuai dengan kaidah fi’qh: “Segala sesuatu tergantung kepada tujuan yang diinginkan” (Al-umur bi maqashidihah).

NU sebagai gerakan Islam, bergulat dari awal dengan masalah-masalah kebangsaan, di samping hal-hal yang murni bersifat keagamaan. Karena itu, pada tahun 1936 (dalam Muktamar Banjarmasin) NU harus menjawab sebuah pertanyaan: Wajibkah bagi kaum muslimin di Hindia Belanda mempertahankan kawasan tersebut, dikuasai atau diperintah oleh orang-orang non-Muslim (yaitu para Kolonialis Belanda)? Jawab muktamar: Hal itu wajib dilakukan, karena teks Bugbyah Al-Mustarsyidin menyatakan di mana dahulunya ada kerajaan Islam, maka kawasan tersebut harus dipertahankan sebagai kewajiban agama. Karena dengan cara mempertahankan keutuhan teritorialnya, tentu ajaran Islam yang ada di tempat itu akan dapat dipertahankan. Di samping itu, kata muktamar tersebut, kaum muslimin di kawasan ini dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam, walaupun tanpa ada negara Islam secara resmi.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa NU sejak semula memang mengacu kepada sebuah sudut pandang, bahwa tidak pernah ada kewajiban agama untuk mendirikan sebuah negara Islam di kawasan ini. Pandangan ini juga dikemukakan Ibn Taimiyyah tentang bolehnya ‘Imam berbilang’, yang berarti tidak wajibnya kaum muslimin tunduk kepada sebuah negara Islam, lalu dibakukan oleh NU. Ini tentu saja mempunyai implikasinya sendiri: bagi NU, sama saja nilai dan artinya memiliki negara Islam atau negara kebangsaan. Lalu, bagaimana ajaran-ajaran Islam harus dilaksanakan oleh kaum muslimin? Jawabnya adalah bukannya lalu kita bebas tidak menjalankan syariat Islam, melainkan ajaran-ajaran Islam harus ditegakkan oleh masyarakat itu sendiri, bukan oleh negara. Jika hal ini kita pahami benar-benar, maka apa yang dibawakan NU ini adalah sesuatu yang sangat demokratis.

Dalam pengertian klasiknya, demokrasi berarti inisiatif masyarakat dalam segala bidang. Negara berperan untuk menjaga agar hal itu berjalan dengan benar. Hal itu diperoleh melalui ‘pelayanan’ negara kepada masyarakat, dan itu berarti masyarakat bebas memilih melalui pemilu, siapa yang akan memerintah. Karena kedudukannya yang melayani masyarakat, maka negara harus melayani semua pihak secara sama. Kedaulatan bukan berada di tangan pemerintahan atau yang memegang kekuasaan, melainkan di tangan rakyat yang membentuk masyarakat tersebut. Karena itulah, pemerintahan dapat berganti-ganti tangan, dan semuanya melayani rakyat secara adil dan sama. Para pemilih atau konstituen adalah raja; dan yang mampu memenuhi janji kepada mereka yang dipilih sebagai pemimpin politik, yang pada akhirnya menjadi penentu kebijakan pemerintahan.

Semangat kebangsaan ini, terus dibangkitkan oleh NU pada masa-masa setelahnya. Sewaktu balatentara Jepang menduduki kawasan ini, ada semacam kesepakatan lisan dengan pemimpin kita, bila tentara sekutu mendarat di pusat pemerintahan Jepang (Tokyo) maka negeri-negeri yang didudukinya dapat mencapai kemerdekaan. Ini tentu untuk merintangi sekutu, yang menjadi musuh Jepang. Pada akhir 1943, Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang menghubungi KH. A. Wahid Hasyim di Jakarta, menanyakan siapa yang akan mewakili bangsa Indonesia melakukan negosiasi tentang kemerdekaan bangsa ini dari tangan Jepang. Setelah berkonsultasi dengan ayahnya di Pondok Pesantren Tebu Ireng KH M. Hasyim As’yari, beliau menyatakan bahwa Soekarno yang akan melakukan hal itu. Dari sini tampak, lagi-lagi NU mementingkan arah kehidupan bangsa ini melalui gerakan kebangsaan.

Ketika Proklamasi diumumkan Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Mr. AA Maramis menyatakan bahwa kawan-kawan non-muslim tidak dapat menerima Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar. Dalam pertemuan yang dipimpin M. Hatta tanggal 18 Agustus 1945 dicapai kesepakatan dari semua gerakan Islam yang terwakili dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bahwa Piagam Jakarta dikeluarkan dari dokumen tersebut. Sudah tentu NU termasuk di dalamnya, dan ini berarti adanya semangat kebangsaan yang diikuti oleh semua gerakan Islam yang ada. Ini sudah dapat diduga, karena di dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA), batalyon Hizbullah dan Sabililah, menjadi ‘Sayap Nasionalis’ dari berbagai gerakan Islam yang ada, termasuk NU. Dari sinilah kemudian lahir BKR, TRI, APRI, ABRI dan TNI yang kita miliki sekarang.

Sikap kebangsaan NU itu kemudian diperkuat oleh Resolusi Jihad yang dikeluarkan PBNU tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi itu menyatakan bahwa tindakan mempertahankan Republik Indonesia dari serangan musuh, adalah kewajiban jihad bagi kaum muslimin di kawasan ini. Pandangan itu adalah untuk pertama kalinya tindakan mempertahankan sebuah negara Indonesia yang bukan negara Islam, menjadi kewajiban agama Islam. Di sini tampak jelas, NU menganggap kehadiran sebuah negara Islam tidak sebagai kewajiban agama, walaupun juga tidak menolaknya. Dari hal ini tampak, bahwa ajaran Islam dalam pandangan NU, bukan dilaksanakan ‘berdasarkan tuntutan negara’ melainkan menjadi kewajiban masyarakat. Dengan demikian, kewajiban itu bukanlah kewajiban politis atau hukum negara melainkan kewajiban moral dari masyarakat.

Hal ini kemudian dikuatkan lagi, oleh keputusan Muktamar Asembagus, yang disebutkan di atas. dengan berasas Pancasila, NU lalu menegaskan tidak adanya kewajiban agama untuk mendukung gagasan sebuah negara Islam. Di mata NU, pandangan itu sama bobotnya dengan pandangan tentang negara kebangsaan. Salah satu wujud pandangan itu, adalah keputusan KH. A. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pada tahun 1950, bahwa kaum putri atau perempuan dapat menjadi penerima beasiswa oleh pemerintah seperti kaum lelaki, sebagai pelajar di Sekolah Guru Hakim Agama Islam Negeri (SGHAIN), yang kini menjadi IAIN/UIN Fakultas Syariah jurusan Qadha, almamater istri penulis di IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) dahulu.

Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa sikap NU menerima asas Pancasila bukanlah sesuatu yang bersifat oportunistik. Ia bersumber dari keputusan-keputusan lain sebelumnya yang didasarkan pada semangat kebangsaan yang ada. Ini adalah proses mengambil dan membuang yang umum terjadi dalam sejarah, bukan?