Kebijakan Ekonomi: Antara Teori dan Praktik

Sumber Foto: https://www.liputan6.com/bisnis/read/5296012/kinerja-bisnis-pengolahan-dan-petrokimia-pertamina-lampaui-target-di-kuartal-i-2023

Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

SEWAKTU menjabat sebagai menteri perekonomian Jerman di tahun-tahun 30-an Hjalmar Schacht membangun jalan-jalan raya (autobahn) yang menghubungkan seluruh daerah Jerman Raya, sepanjang puluhan ribu kilometer. Maksudnya, di samping memudahkan hubungan antar daerah adalah menggunakan anggaran belanja negara untuk menciptakan lapangan kerja. Hal itu juga memudahkan pemasaran pembuatan barang jadi (manufacturing industry) negara itu. Dalam teori, barang-barang jadi buatan Jerman itu dapat dijual di pasaran dunia, dan ini berarti keharusan merebut pasaran bagi negara tersebut. Tetapi, dalam praktik, Adolf Hitler yang menjadi penguasa Jerman, menggunakan ‘kebangkitan ekonomi’ Jerman itu untuk menjarah negara-negara tetangga, melalui apa yang disebutnya sebagai ‘ruang hidup’ (lebensraum). Hal ini mengakibatkan pecahnya Perang Dunia II yang menelan korban lebih dari 35 juta orang.

Dalam hal ini terlihat jelas ada perbedaan besar antara teori dan praktik dalam kebijakan ekonomi Jerman waktu itu. Tentu timbul pertanyaan, sesuaikah antara teori dan praktik dalam kebijakan ekonomi kita di masa depan yang dekat ini? Dalam kenyataan, minyak bumi mentah (crude oil) hasil kilang minyak kita yang diekspor dengan harga murah, harus kita beli kembali dalam bentuk BBM jadi dengan harga pasaran dunia yang sangat tinggi. Akibatnya negara kita harus memberikan subsidi besar-besaran untuk memperoleh BBM bagi kepentingan rakyat kita. Akibatnya Pertamina sebagai BUMN akan menjadi bangkrut dalam waktu tidak lama lagi. Menurut teori, ini berarti akan terjadi krisis ekonomi sangat besar, yang mungkin dapat melumpuhkan negara kita yang berpenduduk 205/208 juta jiwa itu.

Apa yang tertera dalam teori itu, apakah akan terjadi dalam praktik? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus tahu dulu keadaan Pertamina itu sendiri. Sebagai sebuah BUMN, Pertamina menjadi ‘sapi perah bagi banyak kepentingan di negara kita, yang memerlukan ‘sumbangan langsung’ bagi kepentingan mereka. Sudah tentu BUMN ini adalah juga ajang untuk memodali usaha swasta milik para penguasa dahulu dan keluarga mereka. Akibatnya justru Pertamina yang dirugikan. Karena itulah, pendapatan yang diperoleh Pertamina tidak dapat membiayai ekslplorasi kembali minyak mentah saat ini. Dengan demikian, persediaan kita akan minyak mentah ternyata semakin berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu, dan sebentar lagi kita akan mengalami ‘kekeringan BBM’ yang luar biasa.

Sebagai negara kaya BBM, sungguh ironis bahwa kita akan memasuki kelompok negara pengimpor minyak (net oil importer) dalam waktu tidak lama lagi. Untuk mengatasi hal itu, seorang pejabat tinggi negara ini tentu akan membuka pintu” Pertamina dengan jalan menswastakan bidang-bidang kegiatannya ke dalam berbagai perusahaan, seperti eksplorasi, penyulingan, distribusi dan pemasaran BBM melalui sejumlah perusahaan swasta. Sudah tentu dengan komisi lumayan besarnya bagi sang pejabat tinggi tersebut. Pertamina yang dahulunya terpisah-pisah dan kemudian ‘disatukan’ dalam sebuah badan usaha yang besar, kemudian akan dibagi-bagi kembali ke dalam sejumlah badan usaha swasta berukuran kecil atau sedang. Ini karena ketiadaan dana, sedangkan Petronas milik Malaysia yang dahulunya belajar dari Pertamina, baru saja mengumumkan keuntungan sebesar lebih dari 15 miliar dolar AS. Ironis bukan?

Hal ini langsung membawa kita kepada sebuah pertanyaan: Mengapa kita tampaknya tidak mampu mengelola BUMN? Kita melihat selalu terjadi swastanisasi BUMN sesuai dengan ajaran ekonomi kapitalistik, yang berujung pada divestasi (penjualan saham) pada beberapa bidang yang menyangkut ‘hajat hidup orang banyak. Hal ini sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang Dasar (UUD) seperti pada bidang telekomunikasi yaitu Indosat (karena menyangkut aspek keamanan kita sebagai bangsa dan negara, melalui kode-kode intelijen dalam satelit yang dimilikinya). Jadi dengan menjual aset-aset nasional kita justru hanya melaksanakan UUD, yang tidak berarti Undang-Undang Dasar tetapi yang bermakna ‘Ujung-Ujungnya Duit’. Ini terdengar agak sinis, tetapi itu adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, temasuk juga oleh pemerintah sendiri.

Kalau kita ingin melakukan swastanisasi, itu pun harus ditempuh dengan langkah-langkah rasional dilihat dari segi pelaksanaanya dalam praktik, bukannya mengikuti teori. Ambil contoh sikap kita kepada upaya untuk ‘memperbaiki keadaan’ di lingkungan BUMN sangat besar itu. Ada informasi, bahwa di waktu lampau (ketika manajemennya dikuasai orang lain), Pertamina memasok minyak jadi kepada pemerintah dengan harga 2,5 dolar AS perbarel melalui penawaran tender. Ada seorang pengusaha kelas kakap, yang sangat dekat dengan seorang penguasa saat itu, berhasil ‘memaksa Pertamina untuk tidak menyampaikan harga tersebut. Ia kemudian berhasil memberitahukan’ hal itu kepada seorang tokoh luar negeri, yang kemudian membuat sebuah perusahaan minyak di negerinya untuk mengajukan tender ke pemerintah Indonesia dengan harga 5 sen US$ lebih tinggi, dan dengan cara ‘main gelap’ (insider trading) seperti itu, ia berhasil memenangkan tender BBM itu.

Herankah kita jika BUMN sebesar Pertamina itu akhirnya jebol juga walaupun melaksanakan teori divestasi itu secara fair dan mengikuti aturan-aturan main yang dipakai oleh pasaran dunia. Dengan demikian, praktik yang terjadi menunjukkan distorsi/kesenjangan antara teori dan praktik, sementara negara lain melalui pemerintahan kita, berhasil memperoleh keuntungan sangat besar. Hal ini lalu membawa kita kepada sebuah pertanyaan besar yang sampai hari ini belum juga kunjung terjawab. Pertanyaan itu adalah: Apakah tidak sebaiknya sistem ekonomi di negeri kita dilaksanakan melalui kapitalisme yang disesuaikan (modified capitalism) dengan kebutuhan perekonomian kita. Karena praktik-praktik yang terjadi dalam kenyataan perekonomian kita, mengharuskan adanya perubahan-perubahan tersebut. Di sinilah terasanya ‘keberanian moral’ pemerintah untuk melakukan hal itu sesegera mungkin.

Presiden AS Andrew Jackson pernah diserang oleh para industrialis dan kapitalis, karena mengangkat Gubenur Bank Central yaitu American Federal Reserve System. Mereka menilai tindakan Jackson tidak tepat, karena menurut teori ekonomi kapitalistik pemerintah tidak boleh turut campur dalam urusan ekonomi. Hal itu ditentukan oleh para industrialis dan kapitalis melalui mekanisme pasar. Namun Jackson menjawab, bahwa tugas sang gubenur bank sentral tidak hanya mengenai keseluruhan anggaran belanja/budget, tapi ia juga terkait atas bidang kesehatan dan bidang pendidikan, yang berarti pemerintah harus ‘campur tangan’ dalam penunjukan dan pengangkatannya. Ini pun adalah sebuah modifikasi atas teori kapitalisme dalam perekonomian.

Yang menyedihkan, hingga saat ini pemerintahan kita tidak memiliki keberanian moral untuk melakukan hal itu. Akibatnya, BUMN-BUMN serba besar yang kita miliki ‘sakit berat dan negara harus menanggung biaya ratusan miliar dolar AS untuk biaya penyembuhannya. Diperlukan keberanian moral pemerintah untuk mengetahui dengan tepat apa yang menjadi ‘penyakit yang menimpa mereka. Kita harus berani menghadapi berbagai kemungkinan untuk menutup kesenjangan antara teori dan praktik tersebut, dan melihatnya sebagai bagian dari proses mengambil dan membuang yang biasa terjadi dalam sejarah manusia. Ini adalah perkembangan yang memerlukan kejelian sikap pemerintah kita, yang akan membuktikan keberanian moral mereka. Jelas, ini termasuk kemampuan memelihara dan membuang beberapa hal, yang sering terjadi dalam sejarah umat manusia, bukan?