Mau Mencari Apa, Kabinet?

Sumber Foto: https://news.republika.co.id/berita/lt20ci/tambah-wakil-menteri-sby-dituding-boros-apbn

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DI NEGERI ini dahulu ada film yang terkenal berjudul Apa yang Kau Cari Palupi? karya sineas Asrul Sani, sementara di Amerika Serikat tahun-tahun 50-an terbit novel sangat laris karya Budd Schulberg What Makes Sammy Run?, yang kemudian dijadikan film. Maka pembentukan kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, dengan nama Kabinet Indonesia Bersatu juga menimbulkan pertanyaan seperti pada judul tulisan ini. Mengapakah ada pertanyaan seperti itu? Karena begitu hebat pertentangan yang terjadi dalam pembentukannya, yang dalam beberapa hari saja sudah diketahui oleh kalangan pers dan sebagainya. Bahkan, orang-orang seperti penulis pun akhirnya juga tahu dalam beberapa hari saja. Tahu, bahwa ada pertentangan hebat dalam pembentukannya yang tidak berjalan mulus. Kita lalu tahu, bahwa SBY ternyata ‘kalah gertak’ dari Muhammad Jusuf Kalla (MJK).

Karena itu, para pejabat intelijen kita lalu dapat menyebutkan bahwa MJK berhasil ‘memaksakan’ kepada SBY untuk menerima 75% para menteri usulannya dalam kabinet tersebut. Jadi SBY sendiri hanya dapat memasukkan 25% menteri, alias sembilan orang saja. Dengan ‘berbaju’ menjaga keseimbangan parpol guna memperoleh dukungan di parlemen, MJK berhasil memaksakan komposisi ‘keseimbangan’ tersebut, karena itu sangat lucu untuk melihat dua buah orientasi muncul bersama walaupun saling bertentangan dalam kabinet itu. Ini adalah akibat dari ‘perkawinan politik mereka, yang berdasarkan dua pandangan yang saling berbeda, ‘perpaduan’ orientasi pasar dengan orientasi campur tangan negara yang sangat besar, sudah wajar saja jika tidak ada kejelasan dalam hal ini.

Di satu pihak kelompok pro pasar’ sudah terbiasa hidup dalam pasar sebagai pandangan. Kelompok yang satu lagi adalah orang yang melihat pentingnya arti suatu agama sebagai ‘pengarah’ hidup bermasyarakat, sehingga akan tercipta masyarakat Islami’. Namun, bahwa kabinet ini hanyalah pelobi untuk mengekalkan kekuasaan status quo, tidak pernah diakui secara terbuka oleh para eksponennya.

Akibat dari adanya dua orientasi tersebut, maka MJK dan kawan-kawan sangat marah kepada adanya kelompok pro-pasar dalam kabinet yang diwakili oleh sebagian besar menteri-menteri bidang perekonomian. Perbedaan pandangan itu tentu saja akan menimbulkan ‘keanehan-keanehan’ dalam roda pemerintahan di waktu-waktu masa depan. Dalam rincian-rincian program mereka akan dapat terlihat, bagaimana terjadi perbedaan orientasi dalam berbagai kebijakan yang akan diambil. Di satu pihak, akan ada orientasi pasar yang menekankan ‘kebebasan berusaha bagi semakin banyak badan-badan perdagangan dan industri. Di pihak lain, badan usaha milik negara (BUMN) juga akan ‘menawarkan’ jasa-jas mereka yang semakin banyak. Tinggal terserah, apakah ‘kebersihan usaha dapat dijamin dengan cara demikian.

Sudah tentu orientasi ganda (double orientation) seperti itu, tidak membuat jelas kebijakan dasar apa yang akan menjadi warna utama dari kabinet tersebut. Memang sudah menjadi takdir kita sebagai bangsa tidak memiliki orientasi yang jelas. Ini tentu disebabkan oleh ketidakjelasan struktur kekuasaan kita sejauh ini. Setelah sebulan memperoleh mandat dari pemilu capres-cawapres putaran kedua, yang sebenarnya cacat hukum, SBY-MJK tetap belum jelas apa yang menjadi orientasi dasar mereka di bidang perekonomian.

Ketidakjelasan itu sudah nampak, baik dalam susunan kabinet maupun cara kerjanya. Di satu pihak, ada yang ingin melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan wajah privatisasi (penswastaan) perekonomian sesuai dengan tuntutan pasaran dunia, kehendak pemerintah-pemerintah maupun usaha-usaha besar dan para pemikir ekonomi melalui berbagai pendapat yang mereka ajukan melalui forum-forum ilmiah maupun seminar-seminar di berbagai negara. Di pihak lain, kita ketahui ada pihak-pihak dalam kabinet SBY-MJK yang menghendaki agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memegang peranan dalam perekonomian nasional kita. Sudah tentu, situasi yang ‘macet’ seperti itu menyebabkan adanya keragu-raguan dalam perekonomian nasional kita. Karena itulah, setelah Kabinet Indonesia Bersatu diumumkan, harga saham-saham gabungan tidak segera melonjak tinggi.

Apa yang digambarkan di atas diperparah oleh kenyataan telah terjadi missinformation yang cukup luas akibatnya. Ada utusan sebuah negara asing yang membawa uang dua miliar dollar AS, sebagai bantuan likuiditas untuk 100 hari pertama pemerintahan yang sekarang. Ternyata utusan itu tidak diterima oleh SBY, dengan sendirinya ia pulang ke negerinya dengan membawa kemarahan yang sangat besar. Contoh seperti inilah yang sebenarnya harus kita hindari khususnya pada awal-awal pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat. Terlepas dari kenyataan, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan kezaliman sangat besar, dengan melakukan pelanggaran lima kali terhadap empat undang-undang, bagaimanapun juga pemerintah yang ada sekarang tidak bisa diingkari, walaupun penulis tetap menolak hasil pemilu karena cacat hukum. Inilah yang harus kita ingat dalam menghadapi pemerintahan yang ada, betapa jauhnya sekalipun kita berbeda.

Guyonan orang-orang intelijen berbagai negara, mengatakan bahwa sekarang para teroris sulit dicari di Indonesia, karena semuanya menjadi menteri. Ini adalah bukti nyata dari sikap orang terhadap kenyataan kita dewasa ini. Hal ini harus dihadapi sebagai kenyataan pahit, tanpa kita harus marah kepada siapapun hanya dengan kedewasaan sikap dan kepala dingin kita akan dapat menyelesaikan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini, yang bermula sejak beberapa tahun silam. Sebuah sikap emosional, justru akan lebih memperparah keadaan. Keharusan untuk menaikkan tarif dasar harga bahan bakar minyak (BBM), dan komponen pajak, jelas akan mempersulit kedudukan pemerintah, siapapun yang memimpinnya. Kita harus bersatu padu sebagai bangsa untuk mengatasi akibat-akibat dari hal itu. Penangkalan terhadap KKN dan terorisme tidak boleh melupakan hal ini.

Dari apa yang diuraikan di atas, jelaslah bahwa pertentangan orientasi dalam pemerintahan kita haruslah diatasi. Sudah terlalu lama kita terombang ambing tanpa keputusan antara kecenderungan swastanisasi dengan ‘peneguhan’ Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga pihak yang akan melakukan investasi menjadi takut, dengan sendirinya harus segera diakhiri. Sampai hari inipun penulis belum memerlukan tanda-tanda perbedaan pandangan tentang perekonomian nasional itu akan segera berakhir diperlukan sekali kejelasan akan orientasi pemerintahan kita pada saat ini. Pada waktu Megawati Soekarnoputri memimpin pemerintahan, yang penulis akui secara de facto (walaupun tidak secara de jure), terjadi juga perbedaan orientasi seperti itu. Inilah yang membuat mengapa investasi merosot sangat tajam waktu itu.

Kalau dahulu Bambang Kesowo, yang berorientasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai panglima perekonomian, dihadapi oleh Dorodjatun Kuncorodjakti yang beranggapan swastanisasi sebagai obat bagi krisis ekonomi kita, maka sekarang pun kita masih melihat adanya perbedaan orientasi seperti itu. Kalau kita biarkan hal ini berjalan terlalu lama, ditambah belum adanya kepastian hukum (legal certainty), maka jelas hal itu akan melumpuhkan investasi besar-besaran di negeri ini, padahal justru itulah yang kita perlukan saat ini. Kita ingin segera ada penciptaan lapangan kerja secara besar-besaran dan ini membutuhkan kebulatan orientasi di lingkungan pemerintah kita. Cerita lama yang mengundang penafsiran akan perlunya kesatuan orientasi, bukan?