Berbeda Cara, Berlainan Biaya

Sumber Foto: https://deepublishstore.com/blog/materi/pengertian-pluralisme-dan-contoh/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

A HAFIDZ — pemilik usaha ONH plus Haramain — pada Ramadhan 2004 memberangkatkan penulis dan kawan-kawan untuk umroh ke Tanah Suci. Dikatakannya, perhitungan hotel untuk jamaah haji dan umrah dari Indonesia lebih mahal sedikit biaya penginapannya di Saudi Arabia karena sebuah faktor. Sebabnya, adalah karena jamaah Indonesia lebih banyak menggunakan air daripada jamaah negeri-negeri lain. Hal itu karena penziarah Indonesia senang mandi, berwudlu dan mencuci lebih banyak. Ini sekaligus menunjukkan kebenaran pepatah lama lain ‘padang lain belalang’. Hal ini jelas menunjukkan pluralitas dalam cara hidup bangsa muslim. Jadi, kalau kita konsekuen dengan demokrasi, yang berintikan perbedaan cara hidup kita pun harus sanggup memikul biaya perbedaan yang ada sesuatu yang wajar. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang terbiasa dengan cara hidup yang dibawakan oleh pemerintahan Orde Baru, yaitu pola hidup seragam (uniform). Ini justru yang kita hindari.

Contoh yang paling sederhana, bagaimana kita dahulu membuat undang-undang yang melarang perjudian. Larangan itu begitu menyeluruh termasuk mereka (terutama kaum Tionghoa) yang memang menganggap perjudian sebagai masalah budaya, bukannya moral atau hukum Fiqh. Sebagai akibat kita lihat sekarang adanya undang-undang antijudi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Apalagi beberapa perwira polisi dan militer kita, justru menjadi pelindung (backing) usaha perjudian yang dilakukan oleh sejumlah preman di negeri kita. Bahkan ada seorang pejabat tinggi sipil yang turut serta mempunyai tiga rumah perjudian di Jakarta, dengan dukungan dari seorang preman. Bagaimana undang-undang tersebut dapat berjalan, kalau sudah ada kolusi antara pejabat tinggi sipil itu, para perwira polisi-militer dan sang preman. Muncul pemikiran mengusulkan agar dibuka saja sebuah tempat judi di sebuah pulau yang terletak di kawasan Teluk Jakarta, ditambah oleh berbagai fasilitas seperti hotel dan sebagainya. Tempat itu hanya terbuka untuk orang-orang non-muslim saja, tetapi dengan pajak yang tinggi untuk kepentingan negara. Hal ini serupa dengan Genting Highs yang berada sekitar 30 kilometer dari Kuala Lumpur (Malaysia). Tentu ini merupakan ‘usul aneh’ dari kalangan tersebut.

Usul di atas memperlihatkan kita tidak dapat hanya memperhatikan sebuah ukuran saja, karena perbedaan-perbedaan yang cukup besar dalam bangsa kita. Inilah yang jarang kita sadari. Sebagai seorang praktikan/pelaksana hukum fiqh, penulis tidak pernah merasakan daging babi/anjing atau minuman alkohol barang setitik pun selama hidup. Tetapi ini tidak berarti penulis harus melarang orang lain melakukannya. Antara pandangan hidup dan pelaksanaannya oleh orang-orang lain, terdapat perbedaan yang cukup besar. Kalau kita memahami isi Sumpah Palapa oleh Mahapatih Gajah Mada dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari para pendahulu kita di Majapahit dahulu, tentu kita dapat memahami pula mengapa para pendiri republik yang kita cintai ini, menganggap perbedaan antara para warga negara sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja.

Ini adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan. Bukankah penerapan sebuah ketentuan bagi para warga negara berlaku secara universal? Terhadap pendapat seperti ini, penulis perlu menyatakan, para pendiri negara kita menghargai perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang universal pula. Jika ini dijadikan pegangan, maka setiap ketentuan yang ada hanya berlaku bagi kelompok-kelompok yang meyakininya, dengan tetap membuka peluang untuk membiarkan kelompok-kelompok lain menjalankan pendiriannya. Hanya dalam beberapa nilai-nilai yang berlaku bagi semua warga negara, seperti kejujuran dan keharusan tunduk kepada undang-undang/peraturan-peraturan yang ada. Memang, ini memerlukan sikap yang menghargai pandangan yang sangat beragam dan kita tidak terbiasa dengan hal itu. Karena kita salalu khawatir, keragaman pendirian itu justru menghancurkan kesatuan kita.

Penulis menyanggah anggapan seperti itu, karena ‘rasa beragam’ dalam mengikuti dan menerapkan pandangan yang ada justru mendewasakan kehidupan kita. Di sinilah letak pentingnya arti sikap toleransi kepada perbedaan-perbedaan antara kita. Kalau berpindah dari hal itu, kita sama dengan ingin mendirikan negara dengan satu pendirian yang akhirnya akan melahirkan negara otoriter atau bahkan negara agama. Kenyataan sejarah akan keberagaman ini sering dianggap tidak ada, di sinilah penulis perlu mengingatkan bahwa Islam juga mengakui hal itu, seperti kata kitab suci Al-Qur’an: “Sesungguhnya kami telah menjadikan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar saling mengenal”.

Dari ayat di atas, jelas bahwa kitab suci kaum muslimin itu menghendaki agar kita mengakui dan saling mengenal perbedaan-perbedaan antara kita. Yang dilarang oleh Islam adalah keadaan terpecah-belah yang sekarang justru menghantui agama kita. Kita justru harus menerima perbedaan-perbedaan yang ada, dan tetap bersatu padu dalam melayani perikemanusiaan. Untuk itu diperlukan kearifan pandangan kita, baik sebagai sesama muslim maupun dengan pihak-pihak lain. Karena itu, penulis menerima pelaksanaan ajaran-ajaran Islam oleh orang-orang NU, Muhammadiyah maupun lain-lainnya. Begitu juga, penulis sangat menghargai pendapat dan cara hidup orang-orang non-muslim. Ini tentu saja menghendaki kemampuan mengikuti undang-undang yang ada.

Penulis juga menghargai perbedaan dalam menerapkan standar moralitas antara berbagai pihak dalam masyarakat kita. Karenanya, walaupun penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, dengan tidak canggung penulis berpidato di hadapan para wisudawan/wati STIE Gotong Royong, milik MKGR dari Partai Golkar baru-baru ini. Ketika itu, penulis mengingatkan para hadirin akan peluang bagi agama-agama di Asia (Shinto di Jepang, Konghucu, Budha, Islam dan agama Yahudi, dan tentu saja agama Kristen di Asia), hendaknya mengembangkan pandangan hidup yang mampu menyeimbangkan antara pertimbangan-pertimbangan spiritual dan material demi perdamaian dunia, ajakan itu disambut dengan antusiasme tinggi dari mereka.

Memang hanya dengan kemampuan menghargai pandangan saling berbeda itu, kita akan dapat membentuk sebuah bangsa yang besar di kawasaan ini. Jadi, kita tidak tepat untuk menganggap hanya sebuah pandangan saja yang memiliki ‘kebenaran mutlak’ dalam kehidupan. Sangat menarik untuk mengikuti pendapat Konsili II Vatikan tahun 1963-65 di bawah pimpinan Paus Johannes XXIII: “Kami, para uskup yang berkumpul di Vatikan, dengan ini menyatakan penghargaan kepada tiap upaya mencari kebenaran abadi, tetapi kami yakin kebenaran abadi seperti itu hanya terdapat di lingkungan Gereja Katolik Roma.” Di situ terlihat bagaimana para pemimpin agama Katolik itu bersikap menghargai perbedaan yang ada, tetapi sambil tetap meyakini kebenaran sendiri. Ini adalah proses melestarikan dan membuang yang terjadi dalam sejarah, bukan?