Kita dan Hak-hak Konstitusional

Sumber Foto: https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-konstitusional-warga-negara-lt640908f758dd9/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Suatu waktu penulis didatangi oleh dua rombongan. Rombongan pertama adalah para pengasuh dan pimpinan Gereja Sang Timur di Ciledug, yang jalan masuknya ditembok oleh oknum-oknum Front Pembela Islam (FPI). Alasan mereka adalah tidak ada izin tertulis, baik dari Walikota Tangerang maupun Lurah Ciledug untuk tempat ibadah. Karenanya, penulis lalu mengeluarkan pernyataan yang meminta agar hal itu diubah, karena bertentangan dengan konstitusi. Demikian juga dengan, tindakan FPI yang mengakibatkan telantarnya anak-anak cacat yang belajar di tempat itu.

Penulis sengaja menentang tindakan-tindakan berbau rasialis dalam sikap tersebut, yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi. Kalau pemerintah tidak mampu menangani masalah ini dengan cepat dan tepat, maka masyarakat tidak memperoleh perlindungan apapun dari pemerintah. Dengan sendirinya warga masyarakat yang sadar akan hal ini dapat mengambil tindakan sendiri. Inilah bahayanya.

Setelah menerima rombongan Ciledug itu, penulis juga bertemu dengan kawan-kawan Perhimpunan INTI (Indonesia Tionghoa). Mereka ‘mengadukan’ M Jusuf Kalla (Wapres) yang menyatakan dalam harian Sinar Harapan, bahwa orang-orang Tionghoa boleh memilih antara tindak kekerasan terhadap mereka atau didiskriminasi. Lagi-lagi pernyataan melanggar konstitusi, yang notabene diucapkan oleh orang yang menjadi pejabat penting di negeri ini. Tapi hal ini tidak mengherankan, karena di samping dirinya juga ada menteri-menteri yang melanggar undang-undang, dan bahkan dulunya ada yang menjadi preman. Dalam hal ini ada dua kemungkinan, tindakan politis ataupun tindakan hukum/legal.

Tindakan politis jelas tidak dapat diambil sekarang ini, karena itu berarti mengajak untuk melakukan pemboikotan terhadap pemerintah. Hal itu juga adalah dorongan kepada masyarakat untuk melakukan tindak kekerasan, yang penulis sendiri tentang sejak dahulu. Ternyata, ajakan berdemokrasi semakin lama semakin bergaung dalam kehidupan masyarakat, suatu hal yang menunjukkan bahwa kebohongan dan kepalsuan dapat dilawan tanpa kekerasan. Kalau kita dapat bertahan lebih dari angka 32 tahun terhadap tindak kekerasan bermacam-macam (termasuk pembunuhan, seperti dialami oleh wartawan Udin dari Yogyakarta), maka kita dapat bersyukur kekerasan semacam ituh dapat dilawan secara terbuka pada saat ini.

Seorang Kapolsek di daerah Jakarta Raya menyatakan secara lisan kepada penulis bahwa ia berhati-hati ketika menghadapi para demonstran di ruang sidang sebuah pengadilan negeri. Soalnya, ia takut ‘bertindak keras’ karena takut publikasi seperti apa yang terjadi di Makassar. Polri dirugikan oleh tindakan tersebut, karenanya ia lebih banyak menahan diri saja. Walaupun bukan karena kesadaran, bahwa hal semacam itu bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), tetapi jelas bahwa rasa takut itu mendorongnya untuk bertindak hati-hati dalam menghadapai massa. Ini berarti pembelajaran bagi aparat negara kita untuk bertindak menghargai HAM serta tidak bertindak semaunya sendiri. Aparat negara kita memang sudah terlalu lama dibiarkan menentukan sikap apa yang harus diambil. Pihak-pihak yang menentukan mana yang menjadi gangguan bagi ketertiban umum seharusnya dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bukan oleh Polri, tentara atau birokrat sendiri.

Pelanggaran terhadap konstitusi itu, tentu saja tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Karena, lambat laun kelompok atau orang yang melanggar itu akan merasa ‘ditakuti’ oleh siapapun di negeri ini. Inilah sebabnya, mengapa penulis selalu langsung menjawab tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi dilakukan oleh siapapun. Ketika beberapa tahun yang lalu Kapolda Jatim Sutanto menangkap ratusan orang laskar Jihad di Ngawi, penulis langsung membuat pernyataan tertulis mendukung tindakan itu. Namun, penulis juga mengingatkan aparat negara ada yang menjadi backing perjudian, yang nyata-nyata dilarang undang-undang. Jadi, faktor keadilan juga harus menjadi bahan pertimbangan, karena hal itupun diminta oleh konstitusi. Bukankah konstitusi mewajibkan kita untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran sekaligus, yang sekarang lebih dikenal dengan nama kesejahteraan warga negara.

Karena itu, kewajiban menegakkan masyarakat adil dan makmur itu adalah kewajiban konstitusional, yang mau tidak mau harus diwujudkan sedini mungkin di negeri ini. Tidak cukup kita makmur saja, karena itu akan berarti kemakmuran hanya dinikmati sebagian warga negara belaka. Demikian pula, ukuran kemakmuran itupun dapat berubah dari waktu ke waktu. Umpamanya di AS, penghasilan 40-100 dolar dianggap hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, dan tidak mencukupi apa yang diperlukan untuk ‘hidup pantas’ sebagai seorang warga negara. Untuk kelompok mereka itulah dibuatkan food stamp (kupon makanan) yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia akan makanan. Kebutuhan-kebutuhan lain saja akan sulit dipenuhi, karena mahalnya biaya hidup, apal agi biaya kebutuhan-kebutuhan di luar makanan.

Memang sejak proklamasi kemerdekaan hingga kini, perhatian kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) baru berupa janji-janji yang muluk belaka. Bukannya dalam bentuk kredit murah yang dapat mendorong usaha mereka menjadi besar. Karena itu, perhatian kita lebih banyak diberikan kepada usaha-usaha besar yang memang sudah kuat. Tentu saja kuat di dalam negeri, tetapi lemah dalam persaingan internasional. Dari hal ini saja sudah terlihat betapa kecilnya perhatian kita kepada sisi keadilan dalam hidup bermasyarakat. Apa yang disebut Senator AS Patrick Moynihan sebagai benign neglect (kelalaian yang murah hati), adalah sikap kita kepada UKM selama ini. Padahal sektor UKM adalah sektor yang ‘menghidupi’ perekonomian nasional. Kurangnya perhatian itu sebenarnya adalah pelanggaran konstitusional pula.

Sekarang, perekonomian kita menjadi porak-poranda oleh kelalaian kita untuk memajukan UKM di hampir semua sektor. Sampai-sampai kita sebagai bangsa dihadapkan kepada krisis berkepanjangan. Pihak yang kecil bahkan harus ‘mengalah’ kepada tekanan-tekanan usaha-usaha besar untuk mengambil keuntungan bagi diri mereka saja, dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan UKM, bahkan kalau perlu jatah-jatah kredit murah bagi UKM itu sering ‘direbut’ oleh konglomerat hitam yang bermasalah dengan BLBI-nya. Inilah ‘strategi ekonomi’ yang didengung-dengungkan oleh sementara kalangan, umumnya aparat negara yang sudah menerima sogokan. Sudah tentu kita harus mengubah hakikat perekonomian rakyat, karena rencana-rencana yang ada menginginkan keadilan dalam bentuk pendapatan yang mencukupi kebutuhan dasar.

Salah satu ‘warisan’ dari masa kolonial, yang menghidupi kraton-kraton dalam bentuknya sekarang. Tetapi, kita tidak mungkin mengharuskan kita menggunakan strategi membangun negara dan bangsa dengan menggunakan tekanan-tekanan politik militer. Justru kita harus memulai upaya demokratisasi secara bersungguh-sungguh melalui penegakan hak-hak konstitusional para warga negara. Kenyataan inilah yang tidak pernah diperhatikan dalam dunia perpolitikan di negeri ini. Sistem politik kita memang mengacu kepada apa yang dikatakan para pemimpin nan jauh di atas, dan mereka berpikir hanyalah untuk menciptakan kerangka yang menjamin kepentingan mereka saja. Mereka tidak dibiasakan untuk mengacu kepada hak-hak konstitusional para warga negara melainkan hanya bagaimana lebih mengokohkan kekuasaan mereka. Di sinilah terletak permasalahan HAM yang kita hadapi saat ini. Di sinilah kita merasa perlu adanya tilikan sejarah atas jalannya hak-hak konstitusional kita, bukan?