Anatomi Sebuah Ajakan

Sumber Foto: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49395778

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penulis berbeda pendapat dengan saudara Agus Miftah dari Partai Rakyat Indonesia (PARI) mengenai beban luar negeri kita saat ini. Menurut penulis, beban luar negeri kita sudah mencapai 700 milyar dollar Amerika, sedangkan menurut Agus Miftah jumlahnya ada sekitar 900 milyar dollar Amerika. Perbedaan sebesar 200 milyar dollar itu datang dari perbedaan dalam menghitung beban kita sebagai bangsa. Tetapi, bagaimanapun juga tanggungan kita mencapai dua lipat lebih atau empat lipat kurang sedikit–bila dibandingkan dengan produksi kotor kita-Produksi Bruto dalam negeri (Gross Domestic Products).

Tentu saja kita bertanya dalam hati, apakah yang kita gunakan untuk membayar kekurangan tersebut? Atau lebih tepat lagi, siapakah yang harus membayar beban sebesar itu? Tentu anak cucu kita, dengan kata lain, merekalah yang harus melunasi beban berupa hutang-hutang luar negeri, bunga-bunga obligasi, tanggungan deposito dan sebagainya.

Pertanyaan berikut justru lebih relevan terasa bagi kita. Bagaimanakah kita harus membayar beban itu, sedangkan pada saat ini kita justru dililit oleh hutang-hutang tersebut? Jawabnya hanya satu, kita berhutang lebih banyak lagi dari luar negeri. Dengan kata lain, kita sebagai bangsa hanya berbuat main gali lobang tutup lobang, alias bertahan hanya sekadar untuk hidup belaka.

***

Pada hakikatnya, sikap inilah yang diperlihatkan pemerintah saat ini. Perhatikan saja, kita meminjam lagi sekitar 3 sampai 4 milyar dollar Amerika. Untuk tahun anggaran 2002, sebuah harapan yang tidak realistis kalau melihat keadaan ekonomi dunia saat ini.

Tentu saja timbul pertanyaan; akan begini teruskah kita dengan permainan tutup lobang gali lobang itu? Tidak adakah jalan lain yang membawa pemecahan yang lebih berjangka panjang dari sekadar hidup saja? Mengapakah kita tidak berani menempuh sebuah jalan yang lebih menjamin kelangsungan hidup kita sebagai bangsa yang benar-benar merdeka, termasuk dalam bidang ekonomi?

Dari sinilah timbul kebutuhan akan politik ekonomi yang lebih baik bagi kita semua. Kalau Orde Baru hanya mempertimbangkan usaha besar, dalam bentuk konglomerat dan sejenisnya, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan, mengapakah kita tetap demikian? Tak adakah jalan lain yang memungkinkan kita menata kembali perekonomian nasional?

***

Jawabnya tentu saja dapat.

Yaitu dengan meninggalkan pemihakan terhadap usaha besar/konglomerat. Bukankah sektor ini yang telah membangkrutkan kita dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Bukankah pemihakan kepada mereka membuat kita bergantung pada negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia? Bukankah kita belum siap sebagai bangsa untuk bersaing dengan perusahaan raksasa, dan karenanya menerima saja persyaratan yang mereka ajukan demi mendapatkan penanaman modal?

Kalau jawabannya dapat, caranya adalah dengan memajukan UKM (Usaha Kecil dan Menengah, small and medium enterprise) dengan kredit murah dari bank-bank pemerintah dan sebagainya. Kalau perlu, dengan penghentian sementara/moratorium selama tiga atau lima tahun pembayaran kembali beban luar negeri kita. Ini tentu akan menimbulkan reaksi hebat, antara lain dengan pemboikotan ekspor ke dan impor dari negari lain.

Pasaran kita di dalam negeri, dengan jumlah 210 juta jiwa warga bangsa, cukup untuk menciptakan pasaran dalam negeri yang sangat luas bagi produksi kita. Memang ideal kalau kita dapat melanjutkan ekspor-impor seperti dahulu, tetapi keputusan berada di tangan negeri lain, dan bukan di negeri kita. Dalam keadaan terburuk kita masih dapat berkembang dengan pemboikotan negeri-negeri tersebut atas politik ekonomi kita.

Dikombinasikan dengan kebijakan mendorong perlombaan antara kenaikan daya beli dan kenaikan pendapatan, sikap mawas diri ini akan merangsang pertumbuhan ekonomi yang sehat. Yang harus kita lawan adalah keinginan untuk membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan tindakan-tindakan lain yang bersifat pungutan terlalu banyak bagi UKM kita untuk berkembang secara pesat/merajalela. Kemampuan bersaing (competitiveness) dan tindakan-tindakan mengutamakan efisiensi di kalangan UKM kita harus diteruskan. Kita mengikuti prinsip perdagangan bebas (free trade) tetapi dengan orientasi lebih memajukan UKM daripada usaha besar (konglomerat).

Ini adalah apa yang dinamakan ekonomi rakyat dan penulis mengajak kita semua sebagai bangsa untuk mengembangkannya sebagai tindakan mawas diri di bidang ekonomi. Inilah tugas pemerintah untuk merancang kebijakan ekonomi baru secara kreatif, dan tak mengulang-ulang barang lama yang sudah jelas tak bermanfaat.