Sahaya Biologis, Budak Sosiologis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SEWAKTU menjalankan ibadah umroh di bulan Ramadhan, penulis duduk-duduk di warung kopi Starbuck di Hotel Oberoi (Madinah), menunggu pesanan berupa kopi cappuccino tanpa gula. Tiba-tiba datang kepada penulis seorang wanita berasal dari Madura, diiringi beberapa orang lain dan anaknya yang berhidung mancung dan mengajak bersalaman. Ini adalah kejadian sehari-hari yang harus penulis jalani, baik di Cengkareng, Airport Changi (Singapura) maupun Saudi Arabia. Menarik mendengar penyataan wanita tersebut, bahwa yang dibawanya itu adalah anak kandungnya sendiri. Pernyataan yang sangat sederhana itu, namun menampakkan sebuah proses sangat besar yang terjadi pada sebagaian besar tenaga kerja wanita (TKW) kita di Saudi Arabia dewasa ini. Para pria Saudi Arabia, memperlakukan TKW kita itu dengan dua sikap yang dapat saja terjadi secara beriring, tetapi mungkin juga secara terpisah antara keduanya. Yaitu sikap menganggap para TKW kita sebagai budak atau sahaya secara sosiologis, dan kedua, sikap menjadikan para TKW itu istri sah mereka.
Pendapat pertama, didasarkan atas pengetahuan mereka bahwa TKW itu adalah ‘milik mereka.’ (Aw maa malakat aemaanukum). Mereka memasukkan TKW dalam kategori hamba sahaya yang berarti menjadi milik mutlak dari orang yang mendatangkan mereka ke Saudi Arabia untuk waktu tertentu. Ini tentu anggapan kuno, yang sudah dengan sendirinya tidak dianggap relevan oleh gerakan perempuan di negeri kita. Tetapi, dalam kenyataan yang terjadi di negeri itu, para pria seperti itu masih banyak terdapat. Walaupun kita menganggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), tidak berarti bahwa hal itu tidak ada. Namun, kenyataan pahit itu masih berjalan di kalangan masyarakat Saudi Arabia.
Kenyataan di atas seharusnya diakui pemerintah Saudi Arabia dengan jalan menyetujui adanya beberapa Mahkamah Tenaga Kerja di beberapa tempat, sehingga dapat terjadi ‘perkawinan sosiologis’ antara sejumlah pria di negeri itu dengan TKW. Mudah-mudahan TKW yang menemui penulis di Madinah itu, dengan menuntun anaknya termasuk dalam kategori kedua ini. Maksudnya menjadi istri sosiologis dari pria yang mendatangkannya ke Saudi Arabia. Mengapa demikian? Karena pria Saudi Arabia harus mengumpulkan harta benda cukup banyak (apalagi menurut ukuran kita) untuk menjadi mas kawin, jika mereka ingin menikah dengan perempuan-perempuan sesama warga Arab. Karena itu, seperti banyak terjadi di Saudi Arabia, para pria sudah berumur cukup lanjut ketika menikah. ‘Kawin’ dengan TKW kita adalah salah satu cara pemecahan sementara.
Orang tentu bertanya, bagaimanakah nasib TKW yang menjadi “istri sosiologis” itu? Jawabnya sederhana saja, yaitu bahwa tentu mereka dibekali cukup banyak uang untuk membeli sawah dan rumah di Tanah Air, bahkan ada yang dapat membeli kendaraan umum (untuk dijadikan angkutan kota), sudah tentu tidak ketinggalan pula, membawa anak berhidung mancung. Dari waktu ke waktu sang suami (atau lebih tepatnya mantan suami) akan menjenguk ke kampung paling tidak untuk menengok anaknya itu, apalagi kalau ia anak lelaki, yang senantiasa dibangga-banggakan dalam masyarakat Saudi Arabia. Bahkan mungkin juga ada yang membiayai pendidikan mereka hingga tamat perguruan tinggi, di negeri ini ataupun di tempat lain. Kita tentu tidak setuju tetapi tentu tidak dapat berbuat apa-apa.
Kalau kita meninjau masalah ini, tentu kita melihat adanya tragedi TKW kita di perantauan. Kita dapat saja bertindak seperti pemerintah Saudi Arabia, yaitu menyembunyikan persoalan dan menganggapnya tidak ada. Ini adalah sikap ‘Burung Onta’ yang memang banyak terjadi semenjak dahulu kala. Tetapi, bagi penulis hal itu harus dipecahkan secara memuaskan, sesuai dengan martabat TKW sebagai warga negara kita.
Untuk menemukan pemecahan masalah, terlebih dulu kita harus mengetahui fakta yang terjadi. Ternyata, ada keputusan untuk membiarkan para TKW bekerja di luar negeri. Sudah tentu, secara politis hal ini akan diingkari baik oleh para petugas Saudi Arabia, maupun oleh para pejabat kita sendiri. Baik oleh Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), maupun oleh perusahaan yang mendatangkan mereka ke Saudi Arabia. Namun, beberapa kejadian sudah menunjukkan dengan jelas terjadinya hal-hal yang tidak wajar dalam pengiriman TKW ke Timur Tengah, seperti terjadi dengan kasus warga negara kita yang diculik sebagai sandera di Irak baru-baru ini. Untunglah, karena tindakan penyanderaan itu terjadi karena kesalahpahaman, mereka dapat dibebaskan dengan segera, dan mereka kembali ke Tanah Air.
Ini adalah kejadian langka, yang tidak mencerminkan apa yang sebenarnya berlangsung dalam jumlah sangat besar, sebagai bagian dari proses kemasyarakatan yang sedang terjadi di Saudi Arabia. Sudah tentu proses yang dimiliki ini ada akibat-akibatnya sendiri, yang justru harus kita ketahui dalam pembentukan bangsa kita sendiri. Seperti kita ketahui bahwa di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ada kampung yang dahulu menjadi tempat tinggal orang-orang Portugis. Karena penduduknya saat ini berwajah indo-eropa dengan sedirinya dapat disimpulkan bahwa mereka adalah produk percampuran (melalui perkawinan) antara wanita-wanita lokal dan orang-orang Portugis itu.
Di sini lalu kita tahu bahwa kearifan memang diperlukan dalam menyikapi suatu persoalan hingga memiliki obyektivitasnya sendiri. Kalau kita mengakui dengan jujur kenyataan-kenyataan yang ada, maka dengan sendirinya kita akan mengenal proses yang sebenarnya terjadi, dan menganggapnya sebagai ‘kenyataan sejarah’ yang tidak dapat disangkal, baik secara resmi (atau tidak).
Kenyataan-kenyataan yang diuraikan di atas, mengharuskan bangsa ini untuk mengetahui keadaan bangsa-bangsa lain. Kita tidak hanya mendasarkan sikap-sikap yang harus diambil terhadap kenyataan-kenyataan obyektif yang ada di negeri-negeri lain itu, atas pertimbangan-pertimbangan formal dengan berbagai negara tersebut, melainkan pada kenyataan-kenyataan yang kita yakini sendiri. Hal ini dilakukan oleh banyak negara atas keadaan kita, seperti nasehat pemerintah AS agar para warga negaranya tidak berkunjung ke Indonesia menjelang lebaran ini. Jelas hal itu ‘digerakkan’ oleh kemungkinan adanya kejadian-kejadian di negeri kita yang tidak nyaman oleh aksi para teroris di negeri ini.
Mengapakah kita tidak berani memberikan nasehat kepada para TKW kita, akan hal-hal yang dapat terjadi atas diri mereka di luar negeri, termasuk ‘status’ sebagai budak sahaya biologis ataupun istri sosiologis? Untuk mengambil sikap seperti itu, harus diikuti dengan upaya ‘membersihkan diri dari tindakan-tindakan melanggar hukum oleh berbagai pihak, temasuk para pejabat formal di negeri kita sendiri. Memang tidak mudah, untuk melakukan identifikasi atau pengenalan diri sendiri dalam jumlah sangat besar. Ini tentu memerlukan keberanian moral cukup besar pula untuk melakukannya. Kenyataan memang sering ‘dibungkus’ oleh kebutuhan-kebutuhan golongan-golongan atau kelompok-kelompok. Apalagi kalau mereka memiliki aset-aset ekonomi dan keuangan cukup besar, seperti yang ada sekarang di negeri kita.
Perilaku ‘Burung Onta’ seperti dikemukakan di atas, akan menghasilkan sikap yang tidak menghendaki kejujuran dan keterbukaan, dalam hubungan kita dengan masyarakat Saudi Arabia. Hasilnya, sikap ini tidak akan membuahkan pandangan yang sejalan, baik dari kalangan pemerintah Indonesia dan Saudi Arabia, juga tidak akan disetujui oleh PJTKI kita maupun oknum-oknum Arab yang mendatangkan TKI kita ke sana. Padahal ini adalah bagian dari proses lumrah untuk mengambil dan membuang menurut kenyataan sejarah yang ada bukan?