Pemeriksaan Tuntas Atas Kasus Munir

Sumber Foto: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-68572838

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SAAT itu tiap Sabtu pagi antara jam 07.00-09.00 WIB, penulis diwawancarai dan terlibat dalam dialog interaktif dengan para pendengar, melalui radio Jakarta News FM. Dalam wawancara Sabtu pagi itu, penulis ditanyai oleh sang penyiar bagaimana pendapatnya mengenai kemungkinan dibentuknya tim penyelidikan mengenai kasus pejuang hak asasi manusia (HAM) almarhum Munir. Penulis menyatakan, melihat ‘keharusan’ adanya penelitian dan penyelidikan atas kasus tersebut. Ketika menyatakan hal itu di muka mikrofon milik radio niaga tersebut, terbayang di mata penulis almarhum Munir yang duduk di balik meja tulis kecil milik Kontras, di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta Pusat. Dengan kesederhanaannya almarhum Munir merupakan idola penulis sebagai pejuang gigih yang akhirnya mengorbankan jiwa untuk perjuangan yang diyakininya.

Seperti kita ketahui semua, apa yang dilakukan Munir semasa hidupnya adalah memperjuangkan berlakunya HAM di negeri ini. Hal itu seiring dengan upaya penulis untuk menegakkan demokrasi. Kalau penulis memilih bidang perlindungan atas hak-hak hukum golongan minoritas agama dan rasial, maka Munir memilih masalah HAM sebagai ajang perjuangan. Kalau Luhut Pangaribuan berjuang melalui kedaulatan hukum, maka apa yang dilakukannya itu tentu sejalan dengan tugas penulis dan kiprah almarhum Munir. Ini juga tentu saja sejalan dengan apa yang dilakukan sejumlah kawan untuk melindungi kebebasan pers. Di tengah-tengah apa yang dilakukan untuk menegakkan demokrasi itu, kita lihat justru para pemimpin negara kita (termasuk beberapa presiden) diliputi ketakutan dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan negara untuk hal itu. Seolah-olah mereka hanya senang kepada kekuasaan yang dibawakan oleh jabatan mereka tanpa memiliki rasa bertanggung jawab atas keselamatan demokrasi.

Karena itulah dapat dimengerti adanya pertanyaan tentang apa pendapat penulis tentang kemungkinan dibentuknya tim penyelidikan oleh presiden atas kasus terbunuhnya Munir, dengan menggunakan arsenik atau racun tikus, dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah warangan. Dalam budaya Jawa, ‘senjata pusaka’ berupa keris setiap tahun ‘dicuci dengan warangan, biasanya pada bulan Sura (diambil dari kata bahasa Arab Asyura). Menurut pendapat penulis, penelitian harus dilakukan secara tuntas dan seksama dijiwai oleh sikap jujur dalam melakukan pemeriksaan. Ini berarti, harus diminta keterangan terperinci tentang hal itu dari lembaga forensik di Belanda, yang melakukan otopsi atas jenazah almarhum Munir di Negeri Kincir Angin itu. Begitu juga, harus diminta keterangan dari maskapai penerbangan Garuda yang mengangkut almarhum Munir dari Jakarta/Cengkareng hingga Amsterdam (Schipol).

Pada saatnya, Garuda juga harus melakukan penyelidikan mendalam atas makanan yang dinikmati almarhum Munir dari Singapura/Changi Adakah makanan itu berasal dari katering di Jakarta, ataukah dari Singapura? Hal ini harus dilakukan, untuk mengetahui dengan tepat siapa saja yang yang menyentuh makanan itu. Benarkah ada orang luar’ yang menyentuhnya, ataukah hal itu dilakukan oleh awak pesawat Garuda sendiri. Kalau hal ini dilakukan, maka pelaksana tindakan meracun itu dapat diketahui, dan tidak ada keraguan lagi tentang penyebab terjadinya tindakan tersebut. Maklumlah, kredibilitas pemerintah memang sedang ada pada titik nol pada saat ini, sehingga kita harus mengambil langkah-langkah seperti itu. Kepastian hukum (legal certainty) hanya akan tercapai dengan cara itu.

Setelah melihat apa yang terjadi atas diri Baharuddin Lopa di Saudi Arabia dan Agus Wirahadikusuma (AWK) di Jakarta, maka masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada apa yang disebutkan sebagai ‘penyelidikan aparat pemerintah. Hal itu menambah keraguan kita, setelah mengikuti peristiwa pembunuhan atas diri seorang wartawan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa tahun lalu yang hingga sekarang tidak pernah jelas hasilnya. Padahal kita belum berbicara tentang ribuan jiwa yang melayang akibat Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, pembunuhan ‘dukun santet’ di Banyuwangi (yang ternyata mengambil korban lebih dari 100 jiwa kiai/ulama), penembakan di Papua, Ambon/Maluku dan Poso (Sulawesi Tengah). Kita harus ‘berhenti di sini, kalau tidak ingin terjadi lagi ‘ribut’ tentang kasus Lampung (Talang Sari), Tanjung Priok dan pembunuhan terhadap para warga NU (dilaporkan ada sekitar dua ribu lima ratus perkara) dalam ‘kampanye pemilu’ tahun 1977 dan 1982.

Siapakah pembunuh’ Munir itu? Pertanyaan ini sukar dijawab, karena memang orang-orang yang secara potensial dapat dirugikan karier mereka oleh temuan-temuan Munir, memang berjumlah banyak. Orang-orang yang melanggar hukum, mereka yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan dengan melanggar HAM, para koruptor dan seterusnya, adalah orang-orang yang dapat saja mersa terancam karier, hukum atau politik mereka oleh Munir. Yang terang penulis menolak anggapan bahwa pembunuhan atas dirinya itu, dilakukan oleh angkatan manapun atau oleh pihak kepolisian. Penulis menolak anggapan bahwa ada institusi yang melakukan hal itu dan itu adalah sebuah kecenderungan untuk mempermudah masalah. Sulit sekali dibayangkan, sebuah institusi/lembaga dapat mengadakan rapat dan menerima usulan untuk melakukan pembunuhan atas diri Munir. Kalau ada individu/ perorangan yang merasa terancam oleh tokoh kita itu, tentu saja dapat dibayangkan adanya rasa dendam atau keinginan untuk menutupi perbuatan’ yang ‘dituduhkan’ Munir. Dari merekalah dapat dibayangkan adanya niatan untuk melakukan hal itu.

Karena itu dalam wawancara melalui radio niaga itu, penulis minta agar penyelidikan dilakukan dengan tuntas. Ketuntasan tidak hanya untuk melihat atau mengetahui kejadian pembunuhan itu secara gamblang, melainkan juga untuk mengetahui tindakan itu dilakukan secara institusional/kelembagaan atau tidak. Sikap untuk berhati-hati seperti ini, diakibatkan oleh ‘kecerobohan’ pihak luar dari negeri lain (yang juga didukung oleh beberapa elemen/unsur di dalam negeri) yang menuduh TNI atau Polri dianggap melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum maupun melanggar HAM secara institusional. Penulis menolak terhadap ‘kesalahan institusional’ seperti yang dituduhkan di atas, karena sejak kecil melihat bahwa angkatan dan Polri ‘dihuni’ oleh beberapa orang-orang yang berhati mulia dan bertindak baik secara individual.

Memang dalam suasana yang mencekam, seperti halnya di saat-saat pembunuhan atas diri Munir itu, mudah sekali bagi kita untuk terbawa oleh emosi dan mengajukan tuduhan seperti itu. Tetapi ini tidak akan menyelesaikan masalah dan cenderung untuk menggagalkan penyelidikan yang benar-benar obyektif atas kasus tersebut. Tentu saja kecenderungan seperti itu akan menjadi sangat berbahaya bagi para pejuang demokrasi itu’ sendiri, karena ia ‘mematahkan apa yang selama ini telah dicapai dengan susah payah dan diperjuangkan mati-matian oleh mereka yang menginginkan tegaknya demokrasi di negeri kita. Asas praduga tak bersalah (pressumption of innocence) adalah sesuatu yang kita tegakkan sendiri, dan harus kita jaga sendiri pula pelaksanaannya dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai bangsa.

Apa yang penulis terangkan di atas, dapat saja dikatakan tidak benar oleh banyak orang. Bahkan dapat dibayangkan pula, ada yang menganggap penulis nail/kekanak-kanakan. Tetapi penulis tetap pada pendirian itu. Penulis sendiri bersedia dimaki-maki orang-orang banyak karena dianggap ‘membela’ TNI atau Polri. Kedua lembaga itu memang kita perlukan untuk mempertahankan eksistensi kolektif bangsa kita, di samping banyaknya orang-orang baik yang bertugas di sana. Karena itu, mengajukan tuntutan dan tuduhan tidak mendasar kepada dua lembaga itu, adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi masa depan kita sendiri. Di sini kita harus ‘berani’ mengambil sikap obyektif dan tidak berbawa mengikuti emosi kita sendiri. Penulis tidak mengikuti emosi, melainkan melihat dari kejadian itu kita harus belajar menata kehidupan bersama dalam rangka menjamin terlaksananya proses mengambil, melestarikan dan membuang yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?