Judul |
---|
Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Tim Desantara |
Penerbit |
DESANTARA Depok, Juni 2001 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2001 |
Judul Tulisan
BAGIAN PERTAMA – DESENTRALISASI KEBUDAYAAN
- Negara dan Kebudayaan
- Mendesentralisasikan Kebudayaan Bangsa
- DKJ: Peralihan atau Pemantapan
- Sumber Daya Kultural dan Pembangunan Kita
- Nilai-Nilai Budaya Indonesia: Apakah Keberadaannya Kini?
- Wayang dan Koreksi Kekuasaan
- Teater dan Politik di Indonesia
- Akademi Betawi
- Krisis Pemikiran, Krisis Keterkaitan
- Pancasila dan Liberalisme
- Tradisi, Kebudayaan Modern dan Birokratisasi
- Pedang Gideon dan Abu Jihad
BAGIAN KEDUA – KEBUDAYAAN DAN SIASAT KAUM BERIMAN
- Agama dan Tantangan Kebudayaan
- Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan
- Umat Islam Seyogyanya Hindari Ekslusivisme
- Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan Islam
- Seorang Santri Menilik “Pendawa Baru”
- Dialektika Islam, Adat dan Kebangsaan dalam Tradisi Minang
- Pribumisasi Islam
- Pelacur dan Anjing, Kyai dan Burung
- Pesantren Profil Sebuah Subkultur
- Pesantren dalam Kesusteraan Indonesia
BAGIAN KETIGA – PERGULATAN ISLAM, SENI DAN BUDAYA LOKAL
- Islam, Seni dan Kehidupan Beragama
- Sumbangan Islam bagi Pengembangan Kebudayaan Indonesia
- Islam dan Seni: Persepsi Sebuah Agama akan Kehidupan Idamannya
- Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?
- Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam
- Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk
- Antara Westernisasi dan Bid’ah Phobia
- Yang Muda Yang Bercinta
- Pengembangan Kebudayaan Islam
- Bercocok Tanam di Surga
Sinopsis
Buku ini adalah kumpulan tulisan Gus Dur pada akhir tahun 80-an hingga awal 90-an, tentang pembacaan kritisnya atas negara dan agama dalam pergulatan kebudayaan. Tulisan-tulisan Gus Dur itu tersebar di beberapa media cetak (koran), majalah, makalah seminar, dan ada juga tulisan yang tak terlacak di mana pertama kali dipublikasikan.
Ada keanehan bagi Gus Dur, ketika negara mengintervensi kebudayaan, menafsirkan kebudayaan secara sepihak dalam kasus penyelenggaraan Kongres Kebudayaan yang di sponsori Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Negara menginginkan lahirnya suatu kebudayaan negara. Padahal, kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Akan tetapi ia lahir dari individu-individu maupun kelompok, hasil interaksi antar masyarakat sebagai seni hidup atau kehidupan sosial manusiawi (human social life).
Bagi Gus Dur, ketika negara membirokratisasi kebudayaan, dengan menyeragamkan derap kehidupan masyarakat, justru yang terjadi adalah pembekuan daya cipta atau kreativitas masyarakat itu sendiri. Hal ini akan berlawanan dari prinsip kebudayaan, yakni tentang pembebasan dan kemerdekaan. Biarlah kebudayaan itu diurus masyarakat sendiri, mereka diberi tanggungjawab dan wewenang.
Negara seakan ingin mengatur semua urusan, dari ekonomi, pendidikan, dan politik (demokrasi). Di dalamnya menyangkut tentang sejarah, kelestarian alam dan lingkungan, dan kebebasan bersuara. Dalam pandangan Gus Dur, masyarakat mengambil kultur sebagai daya perekat, sementara negara mengambil kekuasaan sebagai daya perekatnya. Ketika semuanya itu diambil alih atau dibebankan kepada negara, maka, yang dkhawatirkan oleh Gus Dur terjadi stultifikasi, manusia Indonesia yang didik untuk menjadi robot-robot yang a-kultural, terkikis dari menjadi pribadi yang berkultur.
Selain negara yang tak boleh mengatur-atur kebudayaan, demikian pula dengan agama dengan otoritas sucinya. Pemikiran Gus Dur tidak menginginkan berkembangnya kebudayaan yang memiliki watak politik-ideologis yang mengabaikan kemanusiaan.
Buku ini dibagi ke dalam tiga kelompok tema. Bagian pertama tentang Desentralisasi Kebudayaan. Yang memuat tentang hubungan negara (kekuasaan politik) dan kebudayaan untuk penegakan demokrasi. Bagian kedua tentang Kebudayaan dan Siasat Kaum Beriman. Berisi tentang bagaimana agama berdialog dengan kebudayaan dan perkembangan sosial. Bagian ketiga tentang Pergulatan Islam, Seni, dan Budaya Lokal. Berisi kreativitas kaum muslim dalam mensiasati aturan-aturan keagamaan yang kaku, sehingga aturan itu mampu berdialektika dengan tradisi, adat istiadat, dan kearifan setempat.
Tulisan-tulisan di dalamnya cenderung timeless, walaupun sudah puluhan tahun. Ketika yang diperbincangkan adalah kebudayaan—menjadi nafas masyarakat—selalu saja ada perdebatan dan pergulatan, apalagi berhadapan dengan negara dan agama. Artinya, selalu relevan dibicarakan. Gus Dur mengatakan bahwa kebudayaan bukan suatu harta yang diwariskan, karena warisan mengacu kepada benda mati, sementara kebudayaan adalah kehidupan itu sendiri.
Walaupun kasus atau contoh (konteks di mana Gus Dur menulis dikhususnya kepada lembaga atau peristiwa tertentu), namun semangat yang ada di dalam tulisan-tulisannya ini masih kontekstual dibicarakan hari ini. Terlebih istilah-istilah unik yang disertakan ke dalam tulisannya, seperti stultifikasi, laik diangkat kembali. Banyak hal penting di dalam buku ini yang perlu dibahasakan ulang untuk dibaca anak zamannya, sehingga mudah dipahami.