Negara dan Kebudayaan

Sumber Foto: https://halamankepri.blogspot.com/2018/01/inilah-berbagai-macam-budaya-tradisi-di.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Suatu kongres pada dasarnya adalah institusi untuk mengambil keputusan. Suatu kongres kebudayaan adalah institusi untuk menentukan arah yang harus ditempuh dan keputusan-keputusan operasional yang harus diambil untuk memungkinkan tercapainya tujuan itu.

Namun, ada suatu perbedaan yang mudah dibaca dengan mata telanjang. Jarang atau hampir tidak pernah terjadi suatu kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan negara, karena negara tidak pernah ada dan seharusnya tidak berurusan dengan kebudayaan. Kebudayaan bukan semata-mata warisan (heritage) yang sah milik suatu masyarakat, karena kebudayaan adalah seni hidup itu sendiri (the art of living) yang mengatur kelangsungan hidup, yang menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial. Hanya dalam arti itu tradisi dan adat istiadat menjadi nilai yang pantas dipertahankan.

Kebudayaan adalah penemuan suatu masyarakat dalam arti buah yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dan manusia, antara kelompok dan kelompok. Meskipun demikian, kebudayaan bukan suatu harta untuk diwariskan (heirloom) kepada generasi yang akan datang, karena warisan mengacu kepada suatu benda mati, sedangkan kebudayaan hanya menjadi kebudayaan kalau ia hidup atau mengacu kehidupan.

Karena itu, mendengar adanya Kongres Kebudayaan yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terdapat sikap  mendua terhadap kongres semacam itu. Kebudayaan seharusnya tidak menjadi political gimmick seorang menteri. Kebudayaan tidak bisa ditafsirkan sepihak untuk semata-mata memberikan tekanan kepada kesenian, kesusastraan, bahasa dan apa saja yang memihak estetika sebagai estika belaka. Kesenian dan karya sastra sebagai karya estetika demi pembersihan nurani suatu masyarakat (katarsis sosial dan politik) dan dengan demikian menjadi wahana perubahan kultural adalah bagian dan kultur. Demikian juga bahasa, sebagai alat berpikir adalah bagian dari kultur. Tetapi, bahasa yang dilihat semata-mata sebagai technically yang memberikan peluang bagi para penentu “policy bahasa” adalah proses birokratisasi alat berpikir dan pada akhirnya biroratisan berpikir itu sendiri. Proses bahasa yang demikian adalah akultural.

Kebudayaan adalah sesuatu yang luas yang mencakup inti-inti kehidupan suatu masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan adalah kehidupan, yaitu kehidupan sosial manusiawi (human social life) itu sendiri. Kalau makan adalah kebutuhan alam, maka seluruh jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusiawi itu dan sistem sosial yang lahir daripadanya adalah kebudayaan. Dengan demikian, seluruh perangkat ekonomi adalah kebudayaan. Bila kelestarian alam yang memungkinkan pencapaian tujuan di atas mengalami distorsi, maka keutuhan suatu kebudayaan berada dalam suatu krisis yang sungguh-sungguh, karena itu, pendidikan lingkungan hidup adalah sesuatu yang secara sah berurusan dengan kebudayaan.

Kalau pengetahuan adalah sesuatu yang alami, maka seluruh teknik produksi dan jaringan distribusi untuk memenuhi kebutuhan dasar akan pengetahuan-seperti lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi – adalah kebudayaan. Karena itu, seluruh pranata dan institusi yang memungkinkan pengembangan dan peningkatan pengetahuan adalah bagian yang sah dan kebudayaan. Suatu kajian yang mendasar terhadap apa yang sedang terjadi di dalam dunia pendidikan menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.

Karena itu, yang menjadi soal di dalam diskusi-diskusi tentang kebudayaan adalah suatu aksi rasional yang sambung-menyambung dalam suatu keterpaduan untuk memahami, mengubah, mempertahankan kebudayaan itu sambil memberikan kemungkinan untuk diubah lagi demi kehidupan yang berkelanjutan menuju kehidupan sosial yang manusiawi.

Suatu aksi sosial akan salah kaprah seandainya ia tidak berusaha mengenal apa yang sedang terjadi di berbagai bidang yang berhubungan dengan inti-inti kebudayaan, yakni human social life.

Untuk mempertajam penglihatan kita, maka yang disebut dengan human social life ini akan kita kelompokkan ke dalam tiga jenis besar seperti dikemukakan di atas, yakni ekonomi, politik dan negara. Kalau sandang, pangan dan papan sebagai kebutuhan dasar tidak dimasukkan ke dalam kultur, maka seluruh kegiatan dan pranata kelembagaan yang berhubungan dengan menghasilkan dan mendistribusikan ketiga kebutuhan dasar di atas adalah sungguh-sungguh termasuk di dalam yang disebut sebagai kebudayaan.

Yang kita saksikan sekarang adalah konsentrasi pemilikan alat-alat produksi di luar kontrol masyarakat secara keseluruhan. Konsentrasi yang berada di luar kontrol hampir dengan sendirinya menyebabkan adanya eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhitungkan kelestarian lingkungan penghasil ketiga kebutuhan dasar tersebut di atas. Ekonomisme adalah ekses akultural yang merusak inti kehidupan itu sendiri.

Bahwa seluruh eksploitasi hutan hanya berada di tangan 12 perusahaan besar, dan hanya 17 persen dari penghasilan eksploitasi hutan tercatat di dalam anggaran negara dan selebihnya, delapan puluh tiga persen berada di kantong-kantong pribadi pengelola hutan bukanlah suatu kebetulan tetapi akibat atau konsekuensi dari terciptanya suatu sistem politik-ekonomi selama belasan tahun terakhir ini. Setiap tahun sejuta hektare tanah tandus akibat deforestasi bukanlah kebetulan, tetapi konsekuensi suatu tatanan politik-ekonomi yang diciptakan belasan atau puluhan tahun terakhir. Ini bukanlah hasil suatu kultur. Tetapi ketiadaan kesadaran, ketiadaan aksi yang sungguh-sungguh secara keseluruhan dan terpadu oleh suatu bangsa untuk mengatasinya adalah suatu cacat perubahan dalam tempo yang tidak boleh terlalu lama kalau kelestarian hidup masih menjadi tanggungan.

Otoriterisme yang berlangsung sekarang bukanlah warisan suatu kultur atau buah suatu kepribadian suatu bangsa, tapi akibat dari suatu pranata yang bekerja di luar kontrol yang berlangsung selama belasan, malah puluhan tahun sebagai fakta politik yang bisa disaksikan dengan mata telanjang. Terkikisnya kesadaran bahwa itulah penyimpangan dari suatu kultur yang manusiawi, dan kultur manusiawi itu adalah kemerdekaan menunjukkan adanya suatu cacat yang sungguh-sungguh perlu dipersoalkan di dalam kultur suatu bangsa. Suatu aksi kultural dan pendidikan politik sebagai aksi kultural tidak akan memenuhi sasarannya bila kemerdekaan tidak dianut sebagai asas paling mendasar bagi pengembangan kultur. Karena itu, masalah kemerdekaan adalah bagian yang sah di dalam suatu masalah kultur kalau itu akan dibahas secara memadai.

Birokratisasi yang cenderung menyeragamkan derap kehidupan masyarakat bukanlah suatu yang lain dari suatu kecenderungan untuk mengubah kebudayaan ke arah kebalikan dari emansipasi suatu bangsa, yakni ke arah pembekuan daya cipta suatu bangsa yang sedang berada di dalam masa perubahan besar-besaran secara sosial dan ekonomis.

Kecenderungan monolitik di dalam pendidikan dimana semua untiversitas sudah diturunkan derajatnya menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan “partikulir” adalah peristiwa akultural yang mengikis habis daya cipta suatu pendidikan tinggi yang semata-mata berfungsi sebagai mesin untuk melaksanakan kebijakan negara.

Pakaian seragam yang dikenakan oleh para pendidik di universitas adalah usaha menciptakan jarak (distancing). Pada awalnya diciptakan jarak secara fisik (phisical distancing) untuk kemudian menjadi suatu jarak pengetahuan (knowledge distancing) yang semuanya akan berakhir pada jarak politik (political distancing) dimana dibangun hirarki pada kalangan warga akademi yang tidak didasarkan pada distribusi pengetahuan, tapi semata-mata berdasarkan pada distribusi kekuasaan. Pada akhirnya hal itu akan melumpuhkan daya cipta di dalam suatu dunia yang menjadi tumpuan harapan suatu bangsa.

Selama bertahun-tahun buku teks Sekolah Dasar dan sekolah menengah dikuasai oleh suatu ideologi yang pada akhirnya mengubah pendidikan menjadi suatu proses stultifikasi massa bukan jalan menuju pencerahan (enlightenment). Masih banyak persoalan dan penggelapan sejarah di dalam mata pelajaran sejarah yang kalau tidak dijernihkan akan semakin memperdalam proses stultifikasi tersebut. Hal ini semakin memprihatinkan, karena proses itu terjadi justru di tingkat yang sangat peka (formative years) dari suatu jenjang pendidikan menuju kedewasaan. Harus ada perbedaan metode di dalam pendidikan menuju kedewasaan. Dan, kalau ada perbedaan metode di dalam pendidikan sejarah adalah sesuatu yang lumrah. Tetapi, perbedaan metode tidaklah berarti menyimpang dari suatu historografi yang mengacu pada kebenaran historis. Inilah masalah kultur yang harus mendapat perhatian. Stultifikasi ini bukan masalah metodik, tapi suatu pencemaran proses pendidikan menuju kemerdekaan. Pendidikan bukan tempat mencetak robot, tapi aksi kultural menuju kemerdekaan.

Sejauh yang menyangkut kehidupan bernegara (statecraft) seluruh kehidupan sebenarnya sudah dikuasai oleh negara sepenuhnya. Negara adalah produk suatu masyarakat meskipun secara historis yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Suatu demokrasi tidaklah berarti lain daripada adanya keseimbangan antara kekuatan negara dan masyarakat. Tanpa adanya keseimbangan itu, suatu demokrasi-terlepas dari apapun atribut tambahan yang diberikan kepadanya-tidak akan tercipta. Karena itu, demokrasi menjadi masalah kultural yang pantas diangkat menjadi public discourse.

Di dalam cara melihat yang membedakan atau mempertentangkan antara negara dan masyarakat, maka kultur adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab suatu masyarakat dan seharusnya tidak menjadi wewenang negara sebagaimana sekarang diletakkan di atas pundak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cara melihat semacam ini tidak bisa tidak harus dianut, karena adanya perbedaan mendasar dalam daya perekat masyarakat dan negara. Pandangan bahwa lembaga masyarakat adalah mitra lembaga negara mengelabuhi dasar-dasar yang secara hakiki membedakan keduanya. Masyarakat mengambil kultur sebagai daya perekatnya sedangkan negara mengambil kekuasaan sebagai daya perekatnya, dan dengan kekuasaan pula ia mengikat semua yang lain.

Dalam hubungan itu kebudayaan terlalu besar, terlalu penting, dan terlalu hakiki milik masyarakat untuk diberikan penyelesaiannya dan diberikan beban tanggung jawab untuk hanya dipikul oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kultur seharusnya menjadi tugas utama masyarakat untuk memperkuat masyarakat secara keseluruhan dan tidak untuk memperkuat negara. Kalau yang terjadi adalah yang disebut terakhir, maka tidak akan terjadi proses pencerahan (enlightenment), tetapi proses stultifikasi dimana manusia Indonesia tidak dididik di dalam kepenuhan kepribadiannya, namun dididik menjadi robot-robot yang akultural, terkikis dari dasar-dasar untuk menjadi pribadi yang berkultur.

Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti yang disebutkan di atas, suatu kongres kebudayaan yang disponsori negara adalah contradictio in terminis untuk sekurang-kurangnya dua alasan berikut ini: Pertama, suatu kebudayaan “bisa-bisa saja” berasal dari suatu “keputusan atau legislasi mengikat” yang dipaksakan oleh suatu kekuasaan. Justru fakta adanya suatu pemaksaan dengan alat legislasi demi rekayasa suatu kebudayaan menunjukkan bahwa tindakan itu adalah tindakan akultural yang tidak sepantasnya dilakukan terhadap suatu masyarakat beradab. Legislasi demi rekayasa bertentangan dengan cita-cita luhur suatu bangsa. Karena itu, kongres kebudayaan yang diselenggarakan negara mengandung unsur yang hampir dengan sendirinya meniadakan dirinya sendiri. Kedua, kongres kebudayaan yang diadakan oleh negara bertentangan dengan dirinya sendiri, karena kebudayaan adalah milik yang sah suatu masyarakat dan bukan sebaliknya. Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan; kebudayaan lahir di dalam interaksi antar pribadi-pribadi, kalompok-kelompok sambil menjamin kemerdekaan setiap peserta kebudayaan. Suatu kebudayaan tidak pernah lahir dari suatu “kongres”, karena kebudayaan lahir dan tumbuh di dalam human culture interaction yang tidak terhitung jumlahnya di dalam masyarakat beradab dan hanya sekali-kali diharapkan didukung dan malah sangat jarang – kalaupun ada – bisa dipacu oleh cultural events.

Suatu kongres kebudayaan yang disponsori negara selain meniadakan dirinya sendiri – sesuatu yang pada dasarnya a-kultural akan menghasilkan suatu “kebudayaan” semu yang tidak bakal langgeng.