Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan Islam

Sumber Foto: https://tamanpustaka.com/blogs/read/198/al-quran-dan-hadis-adalah-pedoman-hidupku

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Untuk melihat problema yang dihadapi Islam dalam hubungan antara iman dan kebudayaan, haruslah dimengerti terlebih dahulu watak dasar dari Islam itu sendiri. Watak dasar tersebut dapat ditemukan dalam kenyataan, bahwa Islam adalah sebuah agama hukum (religion of law), seperti juga halnya Judaisme. Hukum agama diturunkan oleh Tuhan, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dipotong-potong sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistik. Islam haruslah diterima secara utuh, dalam arti seluruh hukum-hukumnya dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.

Justru pada watak dasar inilah terletak masalah dilematik yang dihadapi Islam dewasa ini. Bahkan sebenarnya sejak dahulu, karena masalahnya juga sudah timbul sejak awal kelahiran Islam sendiri: bagaimanakah kenyataan hidup yang berkembang di masyarakat harus dipertemukan atau dipertautkan dengan norma-norma agama yang demikian formalistik itu? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, berkembanglah dua pandangan yang saling berbeda sejak masa dini Islam. Pandangan yang pertama menyatakan bahwa dominasi haru dipegang oleh sumber-sumber tekstual, dalam hal ini kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Nabi (dikenal juga dengan nama hadist). Sunnah Nabi adalah segenap ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad di luar Al Qur’an. Kedua sumber tekstual tersebut adalah penentu, dan harus dipatuhi untuk segenap tempat dan zaman, sehingga dengan keduanya bersifat normatif. Pandangan kedua mencoba mencarikan jalan keluar, dengan menempatkan kedua sumber tekstual itu pada kedudukan yang seimbang dengan dua sumber hukum lain, yaitu konsensus ummat (ijma’) dan analogi (qiyas). Semula dianggap cukup memadai untuk mendudukkan masalah dengan penempatan kedua sumber tekstual tersebut pada kedudukan primus inter pares dengan kedua sumber non-tekstual yang lebih belakangan ini. Cara demikian inilah yang kemudian dikenal dengan nama kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, yang untuk mudahnya kemudian disebut kelompok atau pandangan sunni.

Namun, lambat laun pandangan sunni yang mencoba menyelaraskan antara sumber-sumber tekstual dengan kenyataan di luarnya, akhirnya juga mengalami proses formalisasi, dengan penetapan bahwa konsensus juga bersifat normatif, yaitu sekali ia diputuskan maka tidak dapat diubah lagi. Dengan cara tersebut, maka kedudukan konsensus justru memperkuat sumber-sumber tekstual, dan hanya dalam kasus terbataslah kemerdekaan untuk melakukan analogi dapat diperoleh. Hukum agama kemudian menjadi sangat normatif dan tidak mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan masa dan kenyataan hidup yang ada. Untuk memungkinkan pengembangan hukum agama, maka akhirnya dikembangkanlah oleh para pemikir Sunni Klasik dua buah disiplin ilmu yang berusaha mencari cara melakukan rekonsiliasi antara kenyataan yang ada dan sumber-sumber tekstual Islam. Kedua disiplin ilmu tersebut adalah Usul Fiqh (teori hukum agama) dan Qawa’idul Fiqh (kaidah-kaidah hukum agama). Teori hukum berkenaan dengan cara-cara dan sistematika mempergunakan sumber tekstual dan konsensus. Sedangkan kaidah fiqh adalah prinsip-prinsip yang digunakan dalam kenyataan praktis untuk memberikan keputusan hukum agama.

Bagaimanakah jika dua buah diktum tekstual saling bertentangan, manakah yang harus didahulukan? Bagaimanakah dilakukan kategorisasi status suatu perbuatan dalam pandangan hukum Islam (wajib, haram, diperkenankan dan sebagainya)? Kesemuanya termasuk wewenang teori hukum agama yang dirintis pertama kali oleh Imam Syafi’i dua belas abad yang lalu, yaitu melalui karya agungnya, Al-Risalah. Sebaliknya, kaidah hukum agama hanyalah berminat pada bagaimana sejumlah prinsip diterapkan dalam pengambilan keputusan hukum, seperti kaidah keadaan darurat memungkinkan pelaksanaan hal yang terlarang, yang disusul dengan kaidah kebutuhan yang disamakan dengan keadaan darurat. Lambat laun, terjadilah proses penyalahgunaan kedua perangkat ilmu tersebut, dan kaidah-kaidah hukum agama diterapkan secara oportunistik dan manipulatif, sehingga akhirnya muncul reaksi dalam bentuk penegasan kembali legal-formalisme yang berbentuk ajakan untuk kembali kepada kitab suci Al Qur’an dan Hadist sebagai dua sumber yang memiliki keabsahan. Dengan kata lain, kecenderungan skriptualistik untuk menggunakan sumber-sumber tekstual secara harfiyah menetapkan keputusan hukum agama. Titik perkembangan berikutnya adalah fundamentalisme Islam, dalam arti penolakan terhadap semua upaya mencarikan rekonsiliasi antara wahyu dan kebutuhan hidup.

Situasi dilematik inilah yang kini dihadapi oleh Islam dalam menghadapi kehidupan kontemporer di kawasan manapun di dunia ini. Di satu pihak ada kecendrungan cukup kuat untuk memberlakukan sumber-sumber tekstual secara harfiah, dan yang termasuk dalam kelompok ini, mereka yang moderat maupun yang fundamentalistik. Di sisi lain, juga berkembang keinginan untuk tidak langsung menerapkan sumber-sumber tekstual secara harfiah belaka, melainkan dengan mencari cara-cara menyesuaikan sumber-sumber tekstual itu pada kenyataan yang ada.

Dalam pandangan penyaji, salah satu cara untuk menerobos situasi dilematik tersebut dengan cara merumuskan kembali kedudukan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut perumusan ini, hukum Islam tidak dijadikan hukum nasional in toto. Hanya partikel- partikel yang dapat diterima semua pihak sajalah yang diundangkan oleh negara, sedangkan selebihnya menjadi etika masyarakat bagi kaum muslimin. Cara penerapan hukum Islam tersebut sebagai salah satu unsur pembentukan hukum dalam konsep negara-bangsa (nation state), merupakan kunci pemecahan masalah menurut pandangan ini.

Tentu saja masalahnya tidak pecah demikian saja, karena masih harus dihadapi pilihan-pilihan sulit bagai kaum muslimin. Umpamanya saja, manakah batas antara yang pada hakikatnya falsafati, seperti etika, dan agama sebagai wahyu? Manakah daerah sangga antara wahyu dan filsafat, dan bagaimanakah dirumuskan proses saling memberi dan saling menerima antara agama dan filsafat? Sebuah persoalan ini, adalah bagaimana etika masyarakat memperlakukan ajaran agama sebagai sesuatu yang falsafati, dalam arti tidak hanya memiliki sisi normatif belaka, melainkan juga ada dimensi-dimensi lain yang sama pentingnya dengan norma-norma yang menetap

Demikianlah, serba sedikit telah dikemukakan situasi dilematik yang dihadapi kaum muslimin dalam dialog antara iman dan kebudayaan saat ini.