Wayang dan Koreksi Kekuasaan

Sumber Foto: https://sinpo.id/detail/54609/polri-gelar-pentas-budaya-wayang-kulit-di-lapangan-bhayangkara

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Wayang seringkali dilihat sebagai hiburan belaka, untuk mengisi kebutuhan psikologis masyarakat dan alat komunikasi yang merekatkan sesama warga masyarakat. Dengan demikian, wayang berfungsi sebagai pemelihara kohesi masyarakat. Sudah tentu ia bukanlah satu-satunya alat perekat kohesi masyarakat itu, karena ia pun tidak berkembang menjadi lembaga/institusi yang kompleks sehingga tidak memiliki compelling institution (kekuatan pemaksa institusional). Hubungan dalang-penanggap dengan penonton tetap saja merupakan hubungan cair yang berlangsung secara insidental.

Wayang dapat pula dilihat secara kultural sebagai tradisi penularan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya. Apa yang diluhurkan oleh wayang berkembang menjadi cita ideal yang dijadikan tolok ukur etis dan estetis oleh masyarakat yang menggemarinya. Dalam konteks ini, wayang berfungsi ganda yang dapat pula menciptakan krisis bagi dirinya sendiri. Di satu sisi, wayang memelihara nilai-nilai lama yang dibakukan sebagai tolok ukur normatif yang harus terus-menerus dipegangi oleh masyarakat. Di sisi lain, wayang juga berfungsi memasukkan nilai-nilai baru, yang juga akan dikembangkan menjadi tolok ukur yang baru pula bagi kehidupan masyarakat. Sudah tentu dengan mengorbankan nilai-nilai dan tolok ukur lama yang berbeda dari nilai-nilai dan tolok ukur baru itu akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang muncul antara nilai-nilai dan tolok ukur lama dan baru itu dapat berkembang menjadi krisis identitas yang akan merusak kredibilitas wayang itu sendiri sebagai wahana penularan nilai antar-generational. Pesan KB Keluarga Berencana), apabila disampaikan secara vulgar dan serampangan, dapat menjadi hukuman mati bagi fungsi vital ini dari wayang sebagai kekayaan kultural. Wayang dapat pula difungsikan sebagai alat pembentuk budaya politik masyarakat dalam jangka panjang. Jenis pertama dari fungsi itu adalah pemanfaatan wayang untuk memberikan legitimitasi kepada pola masyarakat, memperoleh legitimasi dari wayang sebagai cara penyelenggaraan kekuasaan yang diinginkan masyarakat. Kejujuran, sikap mengabdi kepada kepentingan umum, kerendahan hati dan keberanian moral adalah hal-hal yang dianggap telah ditegakkan oleh sistem pemerintahan yang ada itu.

Bahkan lebih dari itu, tipologi kepemimpinan yang ada dalam wayang dijadikan percontohan dan sistem kepemimpinan yang ada. Bung Karno umpamanya, telah sejak lama “dimodelkan” atau memodelkan diri sebagai Dipati Karno yang ada dalam wayang. Kelaliman pejabat-pejabat Kolonial “diwayangkan” dalam bentuk tokoh Buto (raksasa) yang tamak, tidak beradab dan tidak memiliki kepribadian luhur. Karena itu menjadi tugas para pejuang kemerdekaan yang “diwayangkan” sebagai Ksatria, untuk berjuang menumbangkan kekuasaan penjajah yang “diwayangkan” sebagai raksasa itu. Peranan kulutral wayang, dalam penciptaan budaya politik yang melawan penjajahan itu, tidak dapat dianggap kecil artinya.

Hal yang sama dapat pula dilihat pada peranan wayang sebagai alat koreksi terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan. Walaupun sistem pemerintahan telah berhasil “diwayangkan”, yakni sebagai jalannya pemerintahan yang disamakan dengan keluhuran pemerintahan adil makmur, gemah ripah loh jinawi dan toto tentrem kerta raharja, jalannya penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintahan secara individual dapat disanggah oleh wayang. Tanpa menyebut nama, para dalang dapat saja memproyeksikan perilaku tertentu dari pejabat tertentu sebagai sesuatu yang menyimpang dari cita luhur penyelenggaraan kekuasaan. Dalam porsi ini, apa yang disampaikan dalang dapat berkembang menjadi pembentuk pendapat umum tentang keabsahan perilaku sang pemimpin yang tidak disebutkan namanya itu. Ia dapat saja berkembang menjadi Bimo yang agak kebodoh-bodohan tetapi jujur, atau menjadi Durno yang disumpah-serapah masyarakat karena kelicikannya.

Dalam melakukan fungsi koreksi terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan ini, ki dalang dapat pula menjadi pengumpul pendapat (pollsetter) melalui sebuah cara yang unik dan sangat kultural. Dalang dapat memproyeksikan melalui lakon yang dipilihnya dan aksentuasi pada sisi tertentu dari jalannya lakon, tentang keadaan yang tengah berlangsung pada suatu saat. Lakon “Kunthi Pilih” dan “Dewa Amral”, misalnya, menunjuk kepada sebuah proses peralihan pemerintahan yang membayangi suksesi kepemimpinan nasional kita dewasa ini. Akankah suksesi berlangsung segera, atau masih menunggu hingga tahun 2003? Akan berlangsung secara konstitusionalkah atau melalui cara-cara lain, dan haruskah ia berlangsung melalui proses pencapaian konsensus atau atas dasar pemaksaan kehendak? Itulah pertanyaan utama yang sudah barang tentu tidak dapat dijawab oleh ki dalang. Tetapi lakon Kunthi Pilih dan Dewa Amral dapat membawa kita ke dalam suasana peralihan kekuasaan itu. Perubahan seorang ksatria, dari Punthadewa menjadi Dewa Amral bukanlah menunjuk kepada status-quo, melainkan kepada perubahan dalam personalia pimpinan negara. Proses penentuan jodoh bagi Kunthi menunjuk pada dua hal: proses munculnya ksatria (baca: pimpinan negara) yang baru di satu sini, dan proses pergantian kepemimpinan negara yang tersendat-sendat. Benarkah demikian?