Antara Westernisasi dan Bid’ah Phoby

Sumber Foto: https://www.nu.or.id/fragmen/sejarah-munas-nu-dan-keputusan-keputusan-pentingnya-zzpMG

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketika K.H. Ahmad Siddiq melemparkan gagasan tajdid bagi NU (Nahdlatul Ulama) dalam Munas Alim NU di Cilacap November 1987, banyak orang lalu bertanya-tanya. Pembaruan macam apakah tajdid yang beliau maui itu? Apakah akibatnya bagi NU sendiri, haruskah ia mengubah hukum-hukum agama yang sudah dipakai selama berabad- abad oleh kalangan ahli mazhab? Akan munculkah usul fiqh baru, disamping yang sudah ada? Kalau tidak bukankah hasilnya sama saja, karena metodologi berfikirnya tetap sama?

Ketika beliau mengundang sebuah tim penyiapan konsep tajdid di lingkungan NU, barulah dijelaskan oleh beliau beberapa hal yang sekaligus menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Jangan pembaharuan yang bersifat westernisasi, alias menerima begitu saja cara berfikir dan pola hidup orang Barat. Dasar-dasar pemikirannya saja sudah berbeda dari kita. Pemikiran orang Barat dilandasi faham sekularis yang sudah mendarah daging. Kita harus menempatkan agama dalam peranan kreatif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Orang Barat berfikir sentris, atau katakan berpusat pada manusia sebagai subyek (atau istilah lain, anthroposentris), Islam tidak demikian. Dalam Islam, Allah adalah pusat segala-galanya.

Tajdid yang mau dibikin juga tidak boleh berupa penyimpangan dan ketentuan Allah dan utusan-Nya yang sudah ada. Penyimpangan seperti ini dinamai phoby (inovasi). Apalagi kawan-kawan kita sesama kaum muslimin cukup banyak yang phoby-phoby. Memang di lingkungan NU sendiri ada dua macam kategori phoby, yaitu yang hasanah (baik) dan dlalalah (menyesatkan), namun justru harus dihindarkan penyerupaan tajdid dengan phoby termasuk yang baik sekalipun. Nanti merisaukan hati mereka yang bid’ah phoby, takut bid’ah kata beliau.

Di satu ujung ada garis batas Westernisasi. Di ujung lain ada garis batas phoby. Cukup luaskah lapangan gerak bagi tajdid di kalangan NU itu, jika diikuti versi K.H. Ahmad Siddiq itu? Ternyata cukup luas, kata beliau. Tadjid NU harus berintikan upaya memurnikan hukum agama dari penyimpangan-penyimpangan yang fundamental dari garis ketentuan Al Qur’an dan Sunnah. Juga upaya menampilkan kembali sendi-sendi kehidupan dan wawasan masyarakat muslim di masa kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya, dus rekonstruksi kembali kehidupan kaum muslimin saat ini. Dan tilikan mendalam atas metodologi berfikir keagamaan yang dikembangkan para ulama setelah itu, hingga saat ini. Yang terakhir, tentunya adalah pemetaan kembali pemikiran keagamaan kita dengan memperhatikan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini dan di masa depan.

Cukup menarik untuk dikaji, gagasan Ra’is Aam NU itu. Idealisasi masa kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat memang diperlukan, untuk memungkinkan munculnya butir-butir universal dari ajaran Islam, yang berlaku di segala zaman dan tempat. Karenanya perlu rujukan ke sana. Pemurnian memang perlu, karena banyak tata cara beragama yang sudah menyimpang dari kehendak syariat yang sebenarnya. Buktinya, masih ada gerakan tasawuf yang berani menjamin pengikutnya masuk sorga, jika mengikuti lingkungan mereka. Soal syariat dan berkah, juga masih banyak menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya sendiri. Tilikan mendalam atas karya-karya ulama, terutama ulama salaf (yang terdahulu), jelas sekali sangat diperlukan. Apakah perbedaan pokok antara usul fiqh mazhab Syafi’i dan Hanafi? Jelas jarang diperhatikan orang. Bukankah sebagai metodologi berpikir, keduanya dapat direkonstruksikan kembali dalam sebuah model dan kerangka aplikatif?

Yang menarik, justru sisi keempat dari upaya tajdid model NU itu. Yaitu memperhatikan konteks kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Berarti memasukkan pertimbangan ke-kini-an dan ke-akan-an dalam menyusun hukum agama. Tokh, selama ini secara parsial sudah dilakukan, seperti dalam kasus KB (keluarga berencana). Juga pendidikan co-edukatif (sekelas antara putra dan putri, siswa dan siswi). Karena pertimbangan praktikalitas sisi ini, karena selama ini belum ada yang menjadikan wawasan kenegaraan dan kebangsaan sebagai bagian dari pemikiran keagamaan.

Mudah-mudahan cepat jadi konsep pembaharuan atau tajdid yang begitu unik.