Sumber Daya Kultural dan Pembangunan Kita

Sumber Foto: https://penelitianpariwisata.id/desa-wisata-tanjung-berbasis-keunikan-sumber-daya-budaya-lokal/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Perencanaan makro pembangunan nasional kita telah memasukkan dalam perhitungannya keperluan mengembangkan sumber-sumber daya kultural, di samping sumber-sumber daya sosial-ekonomis. Begitu banyak perangkat lunak (software) disediakan, dari bahan-bahan bacaan Paket Kejar A hingga Pusat Informasi Pesantren, tujuannya tidak lain adalah memungkinkan sumber-sumber daya kultural tersebut.

Beberapa aspek dari sumber daya kultural tersebut memang berhasi “ditarik” ke permukaan; seperti makin besarnya perhatian rakyat pedesaan sendiri akan kemajuan bidang pertanian, yang akan membawakan hasil-hasil menggembirakan jika dimanfaatkan oleh rakyat sendiri. Pengenalan nama-nama pestisida yang beraneka-ragam untuk menghadapi hama yang bermacam-macam memang menggembirakan, dilakukan oleh para petani yang dua dasawarsa yang lalu hanya berniat pasrah saja bila terkena bencana hama.

Tetapi perlu dipertanyakan dengan sungguh-sungguh, sudahkah terangkat sumber-sumber daya kultural yang paling strategis ke permukaan, yang akan menjamin kemandirian pembangunan nasional kita? Sudahkah dapat dipastikan bahwa benar sumber-sumber daya kultural itu memiliki momentum kebangkitan sendiri, yang akan berujung pada etos kerja yang benar-benar membangun? Bisakah manusia Indonesia secara prototipenya saja, dinilai dapat mencapai pada titik tinggal landas nanti, titik pandangan hidup yang dimiliki prototipe manusia Singapura dewasa ini, dengan momentum yang ada sekarang? Sebarapa canggihnya gambaran diberikan tentang modernitas manusia Indonesia kalangan atas, seperti tampak pada penampilan eksekutif kita masa kini dalam iklan minyak rambut Brisk dan Brylcreem, misalnya, ia tidak berbicara banyak tentang substansi kewiraswastaan yang sesungguhnya di masyarakat. Di tingkat bawah, kewiraswastaan itu masih lebih diwakili pemilik toko klontong Cina yang memakai celana kolor dan kaos oblong atau haji yang mengenakan kain sarung dan jas leher tutup, tetapi memiliki gedung paling bagus dan mobil di pedesaan. Sikap hidup serba hemat yang mereka kembangkan, ketekunan kerja mereka, keberanian mereka menempuh risiko dalam merambah jenis usaha baru, justru diwakili oleh gambaran bercelana kolor-kaos oblong dan kain sarung plus jas leher tutup.

Yang ironis, justru gambaran sukses di bawah itu dihindari, karena dirasa tidak memadai dengan citra eksekutif yang berpakaian safari serbu rapi, berkantor di gedung bertingkat tinggi, bertempat tinggal di kawasan real estate, dan memiliki credit cards Amex, Citibank atau Diner’s Club Bukankah ia justru menampilkan kemewahan hidup yang sangat bergantung kepada konsep perusahaan multi-nasional dan jauh dari kemandirian individual yang tersebar di bawah?

Kita tidak dapat melakukan romantisasi atas kemandirian tingkat bawah. Apapun segi-segi positifnya, ada kekurangannya yang besar. Kewiraswastaan yang berkembang di pedesaan kita, umpamanya, terlalu bersifat kerja individual. Ia belum diletakkan pada jaringan hubungan organisatoris yang melebarkan jangkauan usaha yang dilakukan, sebagaimana terlihat dari kewiraswastaan multi-nasional yang berwatak urban, seperti diperlihatkan jaringan fast food dan pasar swalayan di negeri kita sekarang.

Namun, kita juga tidak dapat mengabaikan kenyataan, inti kemandirian kita sangat bergantung pada kemampuan berwiraswasta di tingkat bawah. Dengan ungkapan lain, pranata mikro ekonomi memiliki arti sangat strategis bagi pembangunan kita. Bagaimana etos berusaha secara mikro inilah yang akan menentukan tercapainya momentum yang cukup bagi gerak ekonomi ke masa depan. Namun, justru di titik imlah perhatian kita sangat kecil, tak sepadan dengan perhatian kita kepada masalah-masalah makro pembangunan.

Jika kita ikuti jalan pemikiran ini, menjadi nyata bahwa kita masih memiliki sumber-sumber daya kultural yang cukup untuk mendorong pembangunan kita ke depan. Mudahnya dicapai kesepakatan dalam hal-hal  yang menyangkut kepentingan umum, misalnya, memungkinkan kita untuk memperoleh kesamaan wawasan dasar pembangunan kita. Dari titik itu lalu dapat dikembangkan etos sosial yang benar-benar berwatak membangun.

Salah satu masalah pokok dalam pengembangan sebuah etos sosial adalah sistem sosial yang dikembangkannya. Pengendalian perilaku warga masyarakat agar sesuai dengan tuntutan dasar dan masyarakat sendiri. Tuntutan akan kerja keras, sifat memperhitungkan segala sesuatu secara cermat, rasa tanggung jawab atas penyelesaian kerja. Demikianlah beberapa di antara deretan tuntutan dari sebuah masyarakat yang membangun. Yang menyimpang dari tuntutan itu haruslah menerima sanksi dari masyarakat.

Tetapi mungkin babak pertama dari kesediaan mengenakan sanksi itu harus dilakukan melalui rintisan oleh tindakan pemerintah. Seperti yang dialami oleh rakyat Singapura, yang dahulu dihukum denda sangat berat jika membuang sampah dan kotoran (littering) secara sembarangan. Kini sudah menjadi kebiasaan masyarakat sendiri tanpa perlu tindakan pemerintah lagi. Jika sumber-sumber daya kultural kita dapat dikembangkan secara strategis, akan terjadi dua proses berkebalikan. Di satu pihak, terjadi perpindahan skala prioritas secara mendasar dalam pembangunan. Pemusatan sumber daya (resources pooling) akan terjadi, diarahkan kepada hal-hal yang produktif dan berdaya guna tinggi dalam jangka panjang. Dana seperempat milyar dollar Amerika yang dihabiskan  pertahun untuk menunaikan  ibadah haji misalnya, dapat “dipinjamkan” sementara ke sektor-sektor permodalan dalam negeri. Selamatan dan segala macam upacara sosial dapat ditekan menjadi kegiatan yang tidak terlalu berpola konsumtif. Dan begitu seterunya.

Sementara itu, di pihak lain akan terjadi perubahan dalam pola kehidupan. Ukuran-ukuran keberhasilan akan lebih banyak lagi dikaitkan dengan capaian-capaian material. Tuntutan akan upah minimum tentu akan lebih kuat lagi terdengar. Begitu juga tuntutan akan kesungguhan lebih besar dalam mengelola pelayanan umum, dan penyediaan air hingga pengaturan lalu lintas. Pikiran dasar dari sikap itu sederhana saja: kalau kita diharuskan (oleh etos sosial kita) untuk bekerja keras dan berpola hidup hemat, kita harus memperoleh tingkat minimal kehidupan yang cukup untuk memelihara martabat sebagai manusia.

Dua proses berkebalikan itu – kesediaan bekerja keras dan hidap menghemat, yang harus diimbangi jaminan kehidupan layak – akan membawakan dimensi kelugasan yang matang dalam hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) kita. Pola panutan, rasa kesetiakawanan dan perilaku etiket kita akan mengalami perubahan mendasar, karena semuanya akan ditundukkan pada tolok ukur yang lebih objektif. Tidak lagi kesetiakawanan lingkungan sosial yang dominan, melainkan kesetiakawanan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan praktis di lingkungan masing-masing.

Demikianlah, berbagai aspek dari pengembangan sumber-sumber daya kultural kita telah dipaparkan, dan beberapa kemungkinan perubahan yang dibawakanya bagi kehidupan kita di masa depan. Tanpa pengerahan sumber-sumber daya kultural dalam substansinya yang paling strategis, kita tidak akan mampu melakukan partisipasi yang berarti dalam pembangunan. Ajakan untuk berpartisipasi yang dilemparkan selama ini seolah-olah tidak bergema, tepatnya justru karena kita melalaikan faktor di atas.

Jika kesimpulan di atas dapat diterima, terpulang pada kita semua jualah untuk melakukan konkretisasi upaya pengembangan sumber-sumber daya kultural itu. Kejujuran sikap dituntut dari kita semua, untuk menempatkan masalah ini pada tempat utama pemikiran kita, jika dinginkan pembangunan nasional kita mampu membanting setir guna keberhasilan kita di masa depan.