DKJ: Peralihan Atau Pemantapan

Sumber Foto; https://tangerang.tribunnews.com/2022/06/17/dewan-kesenian-jakarta-2022-hadirkan-pameran-arsip-dan-koleksi-seni-di-taman-ismailmarzuki

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu yang lalu dimuat sebuah tulisan dalam Harian Sinar Harapan tentang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode tahun 1981- 1983, berjudul DKJ akan Kemana? Sebuah sorotan kritis terhadap susunan DKJ saat ini, yang dikhawatirkan akan mengalami penurunan kualitas, kalau dilihat dari bobot orang-orang yang menjadi anggota di dalamnya. Pimpinan hariannya juga dikritik, walaupun berbobot dan seniman-seniman tulen, tetapi hanya berfungsi part timer saja bekerja di DKJ. Semuanya adalah orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing di luar DKJ, sehingga dicemaskan tidak dapat memberikan perhatian penuh kepada kehidupan kesenian di Jakarta beserta masalah-masalahnya. Dengan demikian, akan berkuranglah wibawa DKJ nanti dalam kehidupan seni kita pada khususnya, dan kehidupan budaya pada umumnya.

Lesu Darah

Kalau dilihat dari perspektif pandangan di atas, memang ada alasan untuk melihat kemungkinan terjadinya suasana “lesu darah” dalam kehidupan DKJ saat ini. Hanya saja, antara kemungkinan dan kenyataan masih harus dibuat pembedaan yang tajam, karenanya sebuah kemungkinan tidak dapat diperlakukan sebagai sebuah keharusan. Kalau dan kemungkinan itu lalu dituntut sejumlah tindakan drastis, termasuk merombak susunan dan masa kerja Akademi Jakarta sebagai penyebab utama situasi DKJ saat itu, dalam kapasitas selaku pengusul susunan DKJ itu sendiri kepada Gubernur DKI sudah tentu terasa terlalu jauh garis ditarik dan benang direntang. Apalagi kalau dihubungkan, seperti dalam tulisan tersebut di atas, dengan umur rata-rata para anggota Akademi Jakarta dan dengan demikian mempertanyakan guna kehadiran mereka saat ini. Umur tua memang sudah menjadi semacam “patokan umum” bagi keanggotaan lembaga-lembaga semacam itu, seperti Akademi Perancis. Diharapkan pengalaman seumur hidup masing-masing anggota akan dapat memberikan aura kebijaksanaan kepada keputusan-keputusan yang mereka ambil.

Masalah pokok kehidupan seni di lingkungan sebuah “pusat kesenian” seperti lingkungan Taman Ismail Marzuki adalah bagaimana memacu kreativitas para seniman dalam suasana yang serba tidak memugkinkan dari segi dana, karena kemampuan TIM untuk kerja-kerja rintisan di bidang kesenian sangat terbatas, seperti dapat dilihat dan ketidakmampuan TIM sendiri mendukung sayembara pembuatan film pendek 16 mm saat ini, tidak seperti di tahun-tahun yang lalu. Ada juga kesulitan mempertahankan prestasi, karena hanya sedikit seniman yang dapat mempertahankan kualitas karya mereka setelah dari pola mencipta yang bersifat rintisan ke pola yang bersifat rutin dan “memantapkan apa yang telah dirintis”. Hanya ada satu dua orang saja yang mampu menjadi Affandi, yang berhasil menjaga kualitas ciptaan seumur hidup (itu pun juga masih ada yang menyangkal ketinggian mutunya). Belum lagi harus diperhitungkan keadaan yang berada di luar kekuasaan para “seniman TIM” untuk menghindarinya: kesulitan menyatakan pendapat dengan “kebebasan semau gue” di negeri ini. Padahal spontanitas adalah salah satu unsur inti dalam proses mencipta, katakanlah yang akan menjamin orisinalitas karya yang dihasilkan.

Serba Sulit

Dalam keadaan serba sulit seperti itu, sempat pula DKJ di masa lampau diganggu oleh persoalan-persoalan administratif dan manajemen, termasuk kaburnya fungi dan wewenang pimpinan harian. Sebagai akibat, reaksi yang muncul dari para “seniman TIM”, baik yang berada dalam DKJ sendiri maupun yang berkiprah di luarnya, lalu mengambil bentuk konfrontatif dan mempersoalkan apa yang dihadapi secara campur aduk. Serangan atas kebijaksanaan kesenian dinyatakan sebagai keluhan atas buruknya pengelolaan administratif, perbedaan pendapat tentang masalah kesenian merupakan “aspirasi” dalam penolakan terhadap kepemimpinan yang ada, dan demikianlah seterusnya. Walhasil, berkecamuklah suasana kemelut yang semakin berlarut-larut ketika diangkat ke media massa. Kenyataan tersebut dipaparkan di sini dengan tidak ada maksud untuk menilai, apalagi menghakimi, siapapun, melainkan hanya sekadar gambaran latar belakang yang mendorong munculnya DKJ dalam susunan yang sekarang ini.

Tidak heran lalu muncul pikiran untuk membuat upaya menyelesaikan keadaan secara integral. Terpadu, dalam arti penyelesaian semua hal secara simultan dan bersisi banyak. Tidak cukup hanya penyelesaian tata administratif saja, atau ditekankan pada penyelesaian masalah-masalah finansial belaka, juga bukan sekedar menyediakan peluang lebih banyak kepada para seniman TIM untuk melakukan kegiatan. Masalahnya harus ditangani secara lebih mendasar: pengenalan (dan kalau perlu perumusan) kembali makna, tujuan dan arti kehadiran DKJ sendiri. Berarti “penyidikan konseptual” untuk mendapatkan landasan ideal bagi pemantapan TIM sebagai pusat kegiatan seni di bukota di masa depan. Upaya seperti itu berarti menelusuri kembali orientasi kehidupan seni yang diinginkan para seniman, di samping mengenal “permintaan” masyarakat kepada para seniman akan produk seni yang disajikan para seniman tersebut. Belum lagi hal-hal mendasar seperti penetapan parameter yang akan menentukan jenis dukungan terhadap kebebasan mencipta, di samping banyak hal lain yang bersifat konsepsional.

Salah satu cara yang dipilih Akademi Jakarta untuk memulai upaya tersebut, sebagai “pengelola dasar” kehidupan seni di TIM, adalah mengusulkan sebuah DKJ dengan keanggotaan sangat heterogen kepada Gubernur. Ada seniman-seniman yang tidak kenal kompromi dalam pengembangan gagasan yang berani menanggung akibat sikap itu, termasuk ketidakpedulian mereka terhadap “selera publik”. Ada juga yang melihat kesenian justru lebih banyak sebagai alat komunikasi dari wahana penciptaan. Sejumlah dalang yang menjadi anggota DKJ sekarang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Ada juga sejumlah “pejabat kesenian” yang justru menganggap penting sinkronisasi kehidupan seni di TIM dan pengembangan kebudayaan di sektor-sektor lain.

Ada pula sejumlah pemikir dan pengamat yang belum pernah menggarap masalah kesenian dalam kapasitas apapun, melainkan hanya bermodal keterbukaan sikap dan kesediaan berdialog secara jujur dan wajar dengan semua pihak.

Heterogenitas seperti itu dapat membahayakan, karena pada akhirnya akan sulit dicapai konsensus yang bersifat mendalam dan tuntas dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Ini memang sudah pembawaan semua kelompok heterogenitas, dan secara jujur harus diakui menjadi watak utama kehidupan kita sebagai bangsa hingga saat ini. Namun, ada juga kelebihannya: la lebih mampu memecahkan masalah yang bersisi banyak dan memiliki kompleksitas tinggi. Lebih jauh lagi, ia akan lebih mampu mencari pemecahan yang memiliki keseimbangan, jika “tuntutan dari dalam” mempunyai kesenjangan sangat besar dengan “tuntutan pihak luar”.

Bukan Pahlawan

Dalam kerangka situasional seperti itulah, seharusnya DKJ periode sekarang ini diterima dan dipahami. Sia-sialah kalau darinya diharapkan pemikiran individual yang cemerlang, dimana tampak para anggotanya saling bersilat gagasan dalam panorama persidangan yang hangat dan menggairahkan. Bukan dalam DKJ sendiri harus dicari perdebatan berapi-api untuk mencari konsep-konsep baru. Tugas DKJ adalah merangsang timbulnya perdebatan itu di luar dirinya sendiri, dan kemudian melakukan inventarisasi dan sistematisasi kesemua pemikiran itu bagi kepentingan perumusan sebuah konsepsi paripurna nantinya. DKJ periode sekarang bukanlah pahlawan yang harus melakukan “tembak-menembak” secara langsung, melainkan keranjang sampah bagi semua pendapat yang berkembang di luar dirinya.

Kalau ini dimengerti, sebenarnya sedikit sekali alasan untuk terlalu khawatir dengan “mediokritas” susunan DKJ periode 1981 – 1983. Selama DKJ itu sendiri masih tetap terbuka bagi semua pemikiran yang berkembang di luarnya, selama itu pula masih ada kemungkinan baginya untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan seri di ibukota. Secara kolektif, dengan hanya seorang dua seniman dan pemikir seni dan budaya dari “kelas ngetop” saja, masih dapat pula DKJ melahirkan sesuatu yang bermakna, yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka pemecahan kemelut masa lampau dan meletakkan dasar-dasar lebih sehat bagi kehidupan seni kita di masa datang. Kolektivitas dalam kerangka yang jelas justru akan memungkinkan munculnya keragaman pemikiran dan wawasan dalam arti yang dibutuhkan kehidupan seri kita. Yaitu keragaman yang tidak hanya berupa perbedaan pendapat mereka yang berkecimpung di bidang seni saja, melainkan keragaman yang muncul dari luasnya spektrum privasi para anggota DKJ sendiri.

Dalam hal ini mungkin dapat dipinjam adagium terkenal “perang terlalu penting hanya untuk dipercayakan kepada para jenderal saja”, diaplikasikan secara allegoris adagium baru “seni terlalu penting bagi kita semua, untuk hanya menjadi pemikiran para seniman saja” Sejarahlah yang akan menjawab apakah status DKJ periode sekarang ini: sebuah susunan peralihan belaka, dalam arti tidak memilik keberanian merumuskan masalah atau prakarsa sendiri dan mendorong setiap orang yang merasa berkepentingan untuk mengajukan gagasan pemecahannya, ataukan sebuah proses pemantapan kehidupan seni melalui dialog menetap dalam keragaman sangat besar?