Pesantren Profil Sebuah Subkultur

Foto: Depok Pikiran rakyat https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-09590368/pondok-pesantren-gontor-2-konfirmasi-kasus-positif-covid-19-bupati-ponorogo-salahkan-santri

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Selama ini pesantren dianggap sebagai kubu pertahanan terakhir bagi kekuatan yang tidak menghendaki berlangsungnya kelancaran proses modernisasi kehidupan bangsa kita. Dengan demikian, dalam bentuk dan kondisinya deawasa ini, pesantren sering dicap sebagai salah satu manifestasi “penghambat pemabangunan”. Mengikuti jalan pikiran ini, maka pesantren mau tak mau diajak untuk mengubah diri menjadi agen pembangunan yang bergerak di garis terdepan – kehidupan pedesaan. Pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat pedesaan, solidaritasnya yang kuat di antara satu sama lain, toleransi tinggi yang dimilikinya didalam menunaikan tugas, rasa pengorbanan yang besar bagi kepentingan umum dan kebangsaan (esprit de  corps) mereka yang berkencimpung dalam dunia pesantren adalah unsur-unsur yang membuat pesantren memiliki potensi yang sangat baik, kalau dapat diubah menjadi agen pembangunan.

Kalau pemerintah dapat mendorongdan membimbing perubahan pesantrendari semacam institusi sosial yang relatif statis menjaji agen pembangunan yang bergerak aktif di pedesaan, maka “dengan sekalu pukul” pemerintah akan dapat mencapai dua ujuan sekaligus: menetralisir pengaruh kekuatan yang tidak selruhnya menerima rencana pemerintahdi dalam pelaksanaan pembangunan, dan mendapat partner yang sangat berhargadalam lingkungan hidup pedesaan. Karena itu, tidak heran jika pemerintah mulai memberikan perhatian penuh kepada pesantren, melebihi perhatian yang di berikan di masa lampau. Bantuaan selektif yang diberikan kepala negara, kunjungan persiden Soeharto ke beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta perhatian khusus yang semakin kentara di berikan oleh pemerintah daerah kepada pesantren-pesantren setempat, kesemuanya itu menunjukkan bahwa pemerintah sedang menyusunrangka dan menetapkan priorotas sebuah proyek cukup besar untuk membimbing pesantren ke arah “pembaharuan”. Ada kemungkinan juga, sebuah master-plan telah tersusun, yang terutama memperhitungkan tindakan pembaryan pesantren dari sudut sosiologi, antropologi, dan psikologi agama.

Dilihat dari kepentingan pemerintah untuk mensukseskan pembangunan dapat di mengerti urgensi usaha tersebut, kalau memang sudah dilakukan. Usaha teratur dan sungguh-sungguh untuk membuat formulasi politik pemerintah terhadappesantren hingga kini memang belum pernah di umumkan, sehingga media pers tidak mengetahui dengan tepa tapa yang menjadi kehendak pemerintah di bidang ini. Kaarenanya, semua artikel dan pembahasan yang di tulis mengenai pesantren hingga hari ini, selamanya hanya berupa penulisan umum yang tidak di sertai usul-sul pemecahan yang bersifat spesifik. Salah satu contoh adalah artikel pokok (cover subject) majalah MIMBAR baru-baru ini.

Artikel ini pun tidak dimaksud untuk membahas secara terperinci permasalahan yang di hadapi pesantren, cara-cara pemecahannya ataupu usul-usul lain yang bersifat spesifik, melainkan hanya berusaha untuk menggambarkan salah satu wajah yang berkarakteristik kehidupan pesantren sebagai subkultur di kalangan bangs kita. banyak segi-segi kehidupan pesantren yang menunjukkan perwatakan sebagai sebuah subkultur yang berdiri terpisah, betapa dekat pun, dari arus umum kehidupan bangsa kita. sudah tentu ini tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah menyendiri, sama sekali lepas dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas di sekitarnya. Bahkan, ia memiliki beberapa persamaan dengan kehidupan di luarnya, hingga karenannya pesantren selama ini mendapatkan hak hidup tanpa mengalami gangguan fatal. Sifat tolong-menolong yang kuat, dipupuknya rasa penghormatan terhadap yang lebih tua, serta ketundukan dan kepatuhan kepada penguasa pesantren sendiri, keseluruhannya mencerminkan persamaan watak antara kehidupan pesantren dan kehidupan bangs akita pada umumnya di Jawa, di mana pesantren banyak bertebaran.

Pesantren cukup memiliki persyaratain untuk dinamai sebuah subkultur: cara hidup tersendiri yang dengan fanatic di jalani oleh para anggota masyarakat pesantren; adanya hirarki tersendiri,yang berdiri sejajar tetapi berada di luar hirarki pengusa setempat kriteria etik yang lain dari pada kriteria yang digunakan di sekitarnya; dan beberapa ciri karakteristik lainnya dengan nyata menunjukkan dengan nyata bahwa pesantren selama ini telah menciptakan sebuah alternated way of life (cara hidup terpilih) besekala besar terhadap sara kehidupan yang umum dianut oleh bangs akita. Dengan demikian ia berhak menerima sedikit sukultur.

Cara hidup di lingkungan pesantren memang beda dengan cara hidup diluarnya. Kalau kehidupan desa mengutamakan asas pengenalan dan hubungan kekeluargaan yang era tantara para anggotanya, hal demikian tidak dapat dikatakan tercipta sepenuhnya di dalam kehidupan pesantren. Sebagai Lembaga pendidikan yang menerima siswa dari beberapa daerah, pesantren sudah tentu tidak dapat mengembangkn dalam dirinya sendiri asas-asas kekeluargaan semaksimal mungkin, seperti yang terdapat masyarakat sekelilingnya. Begitu pula, karena para siswa tersebut berasal dari keluarga-keluarga yang berprofesi aneka ragam, maka sudah tentu cara hidup mereka memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan cara hidup masyarakat sekitar pesantren.

Kedua faktor tersebut dapat ditambahkan pula faktor lain yang tidak kurang pentingnya: dewasa ini, para siswa pesantren (dikenal dengan nama santri) pada umumnya berasal dari keluarga yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi dari pada pendapatan masyarakat sekitar pesantren. Mungkin di masa lampau, kira-kira setengah abad yang lalu, pesantren masih dapat dianggap sebagai bagian integral kehidupan masyarakat desa setempat, sehingga pandangan dan cara hidup para siswanya dapat diintegrasi kedalam pandangan dan cara hidup setempat.

Keadaan sekarang ini sudah jaug berbeda dengan masa lampau. Dengan demikian, banyaknya siswa berdatangan dari berbagai kota, dengan persentase kehadiran mereka semakin lama semakin naik, sudah tentu ada saling pengaruh-mempengaruhi antara elemen pedesaan setempat dan cara hidup “pendatang-pendatang baru” dari kota lain, sehingga terciptalah semacam cross breed semi-urban dalam kehidupan pesantren dewasa ini.

Di samping perbedaan ketiga ciri diatas, perbedaan lain antara kehidupan di dalam dan di luar pesantren dapat dilihat hirarki yang timbul sebagai akibat cara hidup pesantren itu sendiri. Sebagai sebuah institusi sosial yang memelihara kehidupan spiritual/keagamaan penduduk setempat, pesantren memiliki kedudukan unik di dalam pembagian kekuasaan di desa.

Kedudukan unit tersebut berupa ketundukan penduduk setempat kepada hirarki pimpinan pesantren hingga jauh melampaui soal-soal yang bertalian dengan agama belaka. Di samping Pak Lurah, yang mewakili hirarki penguasa pemerintahan setempat,dikenal Pak Kiai yang merasa mendapat kewajiban mengoreksi “sistem” dan “establishment” yang di bina oleh Pak Lurah. Koreksi itu ada kalanya berupa pertentangan yang tidak berkeputusan mengenai segenap aspek kehidupan di desa, adakalanya pula berupa penyediaan alternatif idiil (yang mungkin tidak dapat direalisir selama-lamanya).

Timbulnya alternatif idiil ini sering menibulkan semacam “oposisi” terhadap kekuasan Pak Lurah, sehingga tepatlah anggapan bahwa peantren merupakan  “panguasa informal” yang diwakili oleh Pak Lurah. Adanya hirarki yang bersifat koreksi terhadap sistem kekuasaan setempat ini kembali menunjukkan watak subkultur dari kehidupan pesantren, seperti juga halnya dengan fungsi korektif yang sedang dilakukan oleh dunia hippies dewasa ini.

Di luar ciri-ciri karakteristik yang dibentangkan serba sedikit di atas, nyata pula bahwa norma-norma etika yang dianut oleh masyarakat pesantren dan masyarakat lainnya berbeda satu sama lain. Apa yang di anggap baik “pantas” dan tidak “seyogyanya” oleh liingkungan pesantren, ternyata tidak sama dengan yang dikerjakan di luarnya, perbedaan ini terlihat baik dalam norma-norma etika yang bersifat sempit (seperti etiket pergaulan) maupun dalam norma-norma luas (seperti pandangan atas kedudukan ulama, ketundukan terhadap alat-alat kekuasaan negara dan sebagainya).

Sebuah lingkungan kehiddupan setempat dengan fasilitas hiburan umum yang dianggap normal aoleh masyarakat luar pesantren, seperti gerung biskop, akan dianggap oleh kalangan pesantren sebagai terlalu hedonistis dan tidak mendidik budi pekerti yang baik. Demikian pula, latihan-latihan rohaniah yang dianggap “menyiksa badan” oleh kehidupan di luar pesantren, akan dianggap suatu kemuliaan oleh para penghuni pesantren.

Dalam situasi transisional yang dialami oleh bangsa kita dewasa ini, norma-norma etika sering condong kepada keunggulan nilai-nilai yang dianut dikalangan penguasa atau norma-norma lain dalam masyarakat. Sikap hidup “siapa penguasa, dialah yang menang” ini tercermin pula dalam susunan norma-norma lain etika masyarakat secara umum, sedangkan nor-norma etika lainnya (seperti etika “priyayi kuno” dari masa lalu) menjadi terdesak ke pojok. Dalam keadaan seperti itu, seringkali kriteria-kriteria moral yang berkembang di dalam lingkungan pesaantren merupakan alternatif yang menarik bagi sebagian masyrakat luar. Dengan demikian, kriteria-kriteria tersebut menduduki tempat sebagai counter philosophy dari sebuah subkultur, diddukung oleh cara hidup dan hirarkinya sendiri.

Di samping ketiga ukuran yang dibentangkan di atas, yang menunjukkan betapa kuatnya argumentasi untuk menganggap kehidupan pesantren sebagai sebuah subkultur, masih dapat ddicari sejumlah ciri-ciri perwatakan lainnya untuk menunjukkan argumentasi itu. Tetapi kiranya cukuplah dikemukakan ketiga “ukuran” di atas.

Tinggalah bagi kita untuk menarik sebuah kesimpulan: integrasi kehidupan pesantren kedalam gari umum kehidupan bangs akita adalah suatu usaha yang sangat komplek, tidak semudah kesan yang kita peroleh selama ini. Integrasi ini, atara sebuah kultur dan subkultur, membutuhkan perencanaan yang terperinci dan berjangka panjang. Di samping itu, ia membutuhkan pula keterampilan dan kemauan kerasdalam pelaksanaanya, selama membutuhkan pula pengertian yang benar-benar mendalam mengenai segenap aspek kehidupan pesantren itu sendiri. Untuk menganggap rendah arti dan peranan pesantren dalam kehidupan bangs akita adalah sama saja dengan menganggap sepi adanya sebuah subkultur yang memiliki ddinamika tersendiri dan mendapatkan dukungan luas di kalangan rakyat pedesaan. Sekali kita mengerti sepenuhnya raison d’etre kehidupan pesantren sebagai sebuah subkultur. Kita sudah melangkah maju ke arah pemecahan maslah integrasi pesantren ke dalam garis umum kehidupan bangsa kita. langkah itu pun baru merupakan langkah pertama belaka yang membutuhkan langkah susulan.