Islam dan Seni: Persepsi Sebuah Agama Akan Kehidupan Idamannya

Sumber Foto; https://jakarta.nu.or.id/akhlak%20tasawuf/mengenal-hubungan-islam-dan-seni-TTEQf

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebenarnya, telah banyak dibicarakan tentang kaitan langsung antara Islam dan dunia seni, seperti dapat ditelaah dari buku-buku sejarah kesenian, beberapa ensiklopedia utama dan pengantar berbagai pameran dan pertunjukan kesenian Islam. Dalam telaahan seperti itu, dapat dijumpai inventarisasi jenis-jenis kesenian yang berkembang dalam masyarakat-masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, kesenian mana yang sulit berkembang, dan apa yang menghalangi perkembangannya. Namun, dirasa tetap ada keperluan akan sebuah pembahasan kembali hubungan antara Islam dan seni, guna memungkinkan penyorotan secara tajam atas dua aspek penting yang selama ini kurang diperhatikan. Diharapkan, dengan pembahasan yang diarahkan seperti ini, guna memperoleh ketegasan secara tuntas atas kedua aspek tersebut, akan diperoleh pengertian lebih mendalam akan kaitan sebenarnya antara Islam dan seni, di balik gambaran sepintas dan masih bergerak di permukaan, yang kita miliki selama ini. Kedua aspek yang dimaksudkan di atas adalah:

  1. Belum jelasnya pembagian wilayah antara seni dan agama dalam Islam, termasuk “pembidangan” antara wilayah kesenian Islam dan kesenian bukan Islam,
  2. kaitan antara ajaran Islam di satu pihak dan pandangannya tentang seni di pihak lain.

Landasan dari munculnya pengamatan di atas, bahwa kedua aspek tersebut kurang disoroti selama ini, adalah kenyataan seringnya orang berbicara tentang kaitan antara Islam dan seni dengan cara yang dangkal, yang sama sekali tidak memberikan kepuasan dalam melihat permasalahannya sebagai sesuatu yang patut diperhatikan. Sebagai akibat, dalam “kebijaksanaan kesenian” masyarakat-masyarakat muslim hampir tidak pernah dirumuskan cara-cara untuk ‘menangani’ masalah-masalah yang timbul dari kedua aspek di atas.

Pembicaraan kali ini akan ditekankan pada tinjauan atas kedua aspek di atas sebagai sasaran utama, sudah tentu dengan tidak melupakan latar belakang berupa totalitas hubungan antara Islam dan seni. Pola pembahasan seperti ini mengharuskan kita untuk sedikit-banyak meninjau terlebih dahulu perkembangan kesenian dalam Islam, minimal dalam garis besarnya saja. Dari pengamatan umum itu sebagai titik tolak, kita lalu berpindah ke bidang masalah-masalah yang dihadapi kesenian Islam, baru kemudian kita dapat membahas kedua aspek yang sudah terdahulu disebutkan di atas. Terakhir, kita akan membicarakan beberapa kemungkinan untuk mencarikan pemecahan bagi masalah yang dihadapi kesenian Islam itu.

Kesenian dalam Islam telah mendapatkan tempat sangat penting terbukti dari dua kenyataan:

Pertama, kekayaan warisan yang ditinggalkannya dari masa lampau, dan kemampuannya untuk tetap mengembangkan diri di saat ini. Mungkin contoh terbaik dari kenyataan ini adalah ketiga “forum” berikut:

  • Festival Kesenian Islam yang diselenggarakan di London beberapa tahun lampau dan di beberapa kota Amerika Serikat saat ini,
  • Banyaknya benda-benda seni Islam yang disimpan di museum-museum utama di dunia, dan
  • Berbagai proyek untuk memberikan kesaksian kebesaran dan kemegahan kesenian Islam (proyek pemugaran masjid-masjid kuno, buku do’a orang sufi adalah bukti tak terbantah dari kemajuan seni rupa dalam Islam, seperti juga tampak dalam seni tenun yang berkembang di lingkungan masyarakat-masyarakat muslim di seluruh dunia. Keterbatasan ekspresi dalam seni patung, karena sebab-sebab yang akan dibahas secara mendalam di bawah, memperoleh ganti pengembangan pola-pola keindahan bentuk yang luar biasa dalam arsitektur Islam. Seni tari, dengan variasi, tari Seudati di Aceh hingga tari para marabout di Afrika Utara, dengan satu-dua bentuk pelestarian kesenian ornamental yang sudah turun-temurun dianggap sebagai “kesenian tradisional” Islam dan pemusatan perhatian kepada kerja mencipta di bidang kesenian (dengan sedikit sekali melakukan pengembangan konsepsional atasnya);

Kedua, seni merupakan wahana sangat penting dalam pengembangan cara-cara masyarakat muslim menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, seperti terlihat dari pengembangan “seni tari” khusus untuk menunjukkan kedambaan para sufi akan pendekatan total kepada Allah (taqarrub ilallah), yang dilakukan oleh kaum derwiah di Turki (menurut tarekat Mavleviye dan tarekat-tarekat lain). Contoh dari penggunaan kesenian sebagai wahana peribadatan ini adalah seni baca Al Qur’an yang begitu luas tersebar di seluruh dunia. Sastra menjadi wahana peribadatan, melalui berbagai jenis upacara keagamaan yang bersifat “pagelaran lirik” yang sangat indah baik dalam bentuk “seni universal” (mawalid, shalawat, dan madih) maupun “ekspresi lokal” seperti suluk dan tembang yang menggunakan bahasa lokal. Belum lagi kalau diperhatikan cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan Islam, yang pada umumnya berisi tokoh-tokoh mitologi Islam. Dalam musik kesenian Islam juga berkembang sejajar dengan penggunaan sastra sebagai wahana kedambaan akan penerimaan Allah atas amal bakti kaum muslimin. Bahkan sejumlah instrumen musik diciptakan khusus untuk menunjang pola “pemanfaatan musik” untuk peribadatan itu, seperti, gambus. Seni rupa juga mengalami perkembangan pesat dalam fungsi yang sama: kaligrafi Arab yang menyangga ritus keagamaan dan ornamen dinding masjid-masjid kuno serta seni lukis yang bersifat illustratif dalam “pagelaran universal” seperti rebana.

Walaupun demikian luas lingkup dan jauh jangkauan penghayatan dan pengamalan agama dalam kesenian masyarakat-masyarakat muslim, dengan heterogenitas yang luar biasa besarnya dan kekayaan varian ekspresi yang seolah-olah tidak terbilang, kehidupan seni dalam Islam menghadapi persoalannya sendiri. Drama, misalnya, sangat sulit berkembang sebagai bentuk kesenian, karena sempitnya ruang bergerak bagi para seniman dan para pekerja drama untuk membahas masalah- masalah pokok kehidupan manusia. Nilai-nilai yang harus ditarik langsung dari keabsahan ajaran dan kepatuhan moral agama, di samping pembatasan serupa atas bentuk-bentuk ekspresifnya (wanita tidak boleh melakukan pagelaran di panggung umpamanya), merupakan hambatan sangat besar bagi perkembangan drama dalam Islam. Keadaan itu pada intinya berarti kateketik dalam penyajian dramanya, tidak akan memungkinkan timbulnya kreativitas yang benar-benar ekspresif dalam diri pengarang, pengarah, maupun drama. Seni lukis juga mengalami hambatan serupa, karena pola-pola bentuk dan penampilan benda yang boleh diangkat ke permukaan kulit, kain dan kertas telah ditentukan secara formal (terlepas dari kenyataan bahwa istana-istana perburuan para khalifah dinasti Omayyad di Syiria dihiasi juga dengan lukisan wanita telanjang, yang lebih merupakan penerusan seni lukis Byzantium daripada “ekspresi Islam” dalam seni lukis).

Sensualitas dan naluri erotik adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni mau tidak mau harus “merekam”-nya sebagai ekspres visual, padahal visualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam. Satu satunya bidang kesenian yang masih dapat melepaskan diri dari pembatasan-pembatasan di atas adalah sastra kaum sufi, yang penuh dengan ekspresi cinta profan untuk menggambarkan kedamaian akan peleburan manusia ke dalam keluhuran dan keagungan Allah. Rumi dan Hafiz, dua penyair sufi non-Arab yang paling terkemuka, merupakan saksi paling jelas dalam hal ini. Kedekatan dan kerinduan makhluk kepada penciptanya digambarkan oleh Ar-Rumi dalam puisi Allegoris tentang kecintaan dengan ekspresi yang pekat dengan deskripsi ‘keindahan’ hubungan erotis. Hafiz menemukan pencipta yang dicari-carinya dalam anggur seperti juga halnya para penyair Arab pada permulaan Islam (abad pertama dan kedua Hijri, ketujuh dan kedelapan Masehi) memperoleh kepuasan peribadatan mereka dalam deskripsi erotis tentang ‘gadis-gadis berkerudung yang melakukan thawaf mengelilingi ka’bah, yang kerudung mereka tak mampu membendung pengenalan mata akan garis-garis tubuh mereka’, seperti dikemukakan Umar ibn Abi Rabi’ah.

Penyimpangan terhadap kaidah moral adalah kenyataan hidup yang berjalan masif dalam sejarah umat manusia, terlepas dari harapan utopis agama bahwa ia akan dapat “ditata” sepenuhnya. Demikian pula kecenderungan bertanya “di luar batas” adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan, hingga sering tampil citra akan kebesaran dan keagungan Allah. Karenanya, tak usah diherankan, jika justru kebenaran hakekat Allah dan keesaan-Nya (sebuah doktrin sentral dalam tata keimanan Islam) yang sering dipertanyakan oleh karya-karya seni. Islam, dengan legal formalismenya yang eksesif, dengan tidak bermaksud menguji keabsahan ajaran-ajarannya di hadapan ajaran-ajaran lain, sudah tentu tak dapat berdamai dengan kecenderungan erotis dan kegemaran mempertanyakan kebenaran segala hal, termasuk wujud Allah. Inilah esensi kesulitan yang dihadapi kesenian Islam.

Dari apa yang diuraikan di muka menjadi jelas, bahwa Islam memperlakukan seni sebagai bagian dari penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Seni adalah wahana peribadatan, yang dalam Islam tidak dapat dibatasi hanya pada aspek ritual dan liturgisnya belaka. Beribadat adalah menjalani kehidupan secara keseluruhan dalam acuan kerangka keimanan dan moral yang telah ditentukan oleh Allah. Baik dan buruk dalam Islam senantiasa mengandung konotasi benar dan salah, sah dan batal. Tidak ada tempat bagi “pola hidup” yang lain. Karya seni yang tunduk pada pola demikian adalah “kesenian Islam” sedangkan yang tidak harus dieliminir dalam jangka panjang dan diganti dengan “ideal type” yang sudah disahkan oleh masyarakat Islam. Seni dengan demikian berada dalam keadaan tak berdaya untuk merumuskan masalahnya sendiri, atau juga wilayah kehidupannya sendiri. Seni sejak semula telah diletakkan dalam kedudukan tersudut, dijadikan bagian dari kehidupan itu sendiri. Seni, dalam pandangan Islam adalah kehidupan itu sendiri, yang nantinya akan diekspresikan “bentuk miniatur yang indah”. Seni adalah keindahannya sendiri menurut Islam, dan dalam pengertian inilah Al Qur’an menyatakan: “Allah menyenangi keindahan”. Keindahan yang sudah dijinakkan oleh moralitas masyarakat muslim, bukannya yang melanggarnya. Seni yang ditundukkan oleh doktrin keimanan agama, bukannya yang menyimpang dari doktrin itu. Dengan demikian pandangan Islam tentang seni ditundukkan sepenuhnya ke bawah supremasi ajaran formal agama.

Keesaan Allah dalam batasan mutlak yang tidak boleh dilanggar, dipertanyakan, maupun sekadar diuji oleh seni, juga oleh ilmu dan pengetahuan. Dari pengakuan keesaan Allah (tauhid) itu dikembangkan patokan kedua, yaitu keharusan seni untuk menerima kebenaran hukum agama (syara’), dilanjutkan pada patokan ketiga, yaitu patokan menurut moralitas agama. Dalam keadaan seperti itu, tidak dapat dihindarkan adanya pembatasan sangat serius akan kemungkinan-kemungkinan terjauh dari seni, di samping atas ekspresi visual yang umum dalam karya seni. Di hadapan kenyataan seperti itu, beberapa hal perlu disimpulkan, guna memulai sebuah upaya perujukan antara naluri seni yang tidak akan pernah untuk dapat ditundukkan kepada bentuk dan ruang dan ajaran Islam yang mengajukan klaim begitu absolut:

  1. Harus dikembangkan dalam pemikiran Islam tentang seni sebuah orientasi baru untuk membedakan seni dari kehidupan nyata itu sendiri, walaupun seni adalah pencerminan kehidupan nyata, dengan dasar seni sebagai simbol tidak akan pernah mampu mengekspresikan totalitas kehidupan yang dilambangkannya;
  2. Harus pula dirintis pandangan tidak serba formal-legalistik dalam tata kehidupan kaum muslimin pada umumnya, dan arti institusional (lembaga sensor dan sejenisnya).
  3. menempatkan “keanehan” ekspresi seni dalam kedudukan “untuk diperlakukan sama” dengan ketaatan kepada sendi-sendi keimanan dan tercapainya ketuntasan pengalaman spiritual yang pada akhirnya tokh akan memantulkan keagungan Allah dan kebesaran-Nya.

Dengan kata lain, pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam analisa terakhir tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan kebenaran Allah, karena la-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi ekspresi seni.