Judul |
---|
Tuhan Tidak Perlu Dibela |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Muh. Shaleh Isre |
Penerbit |
IRCiSoD, Yogyakarta, Mei 2018 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2018 |
Judul Tulisan
A. Refleksi Kritis Pemikiran Islam
- Tiga Pendekar dari Chicago
- Lebaran Tanpa Takbiran
- Fatwa Natal: Ujung dan Pangkal
- Mereka Lalu Membuat Surau
- Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?
- Kasus Terjemahan H.B. Jassin
- Dakwah Harus Diteliti?
- Sekali Lagi Ahmad Wahib
- Qashidah
- Naipaul dan Islam yang Tidak Marah
- “Islam Kaset” Dengan Kebisingannya
- Perihal Gerakan Sempalan Islam
- Cak Nur: Tetap, Tetapi Berubah
- Dari Masa Lalu ke Masa Depan
- Istilah Sama Arti Berbeda
- Tuhan Tidak Perlu Dibela
- Agama dan Kebangsaan
- Si Pembelot dan Kebingungan Ilahi-nya
- Ramai-Ramai Menolak Adopsi
- Yang Sama dan Yang Benar
- Moralita: Keutuhan & Keterlibatan
- Islam Setuju Kemiskinan?
- Kerudung dan Kesadaran Beragama
- Tuhan Akrab dengan Mereka
- Salahkah Jika dipribumikan?
- Sekuler Tidak Sekuler
- Mengapa Mereka Marah?
B. Intensitas Kebangsaan dan Kebudayaan
- Sama-sama Bermimpi Besar
- Mikrokosmos Seorang Masjumi
- Sumbangan untuk Kontestan Keempat?
- Ornop: Benarkah Untul-Untul?
- Serba Tunggal
- Golongan Fungsional dan Perlunya Dialog
- Damai dalam Pertentangan
- Sederhana, Syahdu
- Saya Juga Keturunan Lembu Peteng
- Orang Karo dan Kebanggaannya
- Kwitang! Kwitang!
- Tebasan di Pinggiran Kota
- Sebuah Perspektif Nasi Tumpeng
- Koperasi: Sudah Beranjak dari Utopia?
- Agri-bisniss yang Bagaimana?
- Agamawan dan Pembangunan Desa
- Sang Romo, Rumah, dan Bambu
- Perubahan Struktur Tanpa Karl Marx
- Piala Dunia ’82 dan Landreform
- Piala Eropa: Adu Pola
- Akademi Betawi
- Lagu Jawa di Restauran Padang
- Melawan Melalui Lelucon
- Kaum Intelektual Berganti Kelamin
- Pada Usia Sepuluh Tahun
C. Demokrasi, Ideologi, dan Politik
- Demokrasi Haruslah Diperjuangkan
- Gatotkaca Anti-Israel
- Israel: Cukupkah Momentumnya?
- Palestina: Dari Tragedi ke Eksistensi
- Maka Dibagilah Fungsi Tandingan
- Menilai Kepemimpinan
- “Peacock” dan KB Non-Blok
- Muncul Nasionalisme Arab Ketiga
- Yang Membuat dan Yang Dicatat
- Sadat Sebagai Politikus
- Sadat dan Islam
- Mesir: Birokrasi Itu Jadi Gurita
- Mesir dan Kita: Persamaan dan Perbedaan
- Ghotbzadeh: Kemalangan Iran
- Haruskah Bani Sadr Dicemooh?
- Khomeini dan Beberapa Pertanyaan
- Iran Yang Tidak Saya Lihat
- Imamah: Kemelut Kepemimpinan Umat
- Irak: Patahnya Beberapa Mitos
- Iran dan Model Pembangunan
- Eksperimen dengan Sebuah Revolusi
Sinopsis
Buku yang pertama kali dicetak pada tahun 1999 ini adalah buku best seller Gus Dur. Dicetak berkali-kali, hingga ada empat penerbit yang mencetak ulang, dari LKiS (1999), Saufa (2016), Noktah (2017), hingga IRCiSoD (2018)—untuk cetakan kedua, penerbit mengganti wajah sampulnya.
Buku ini berisi kumpulan kolom Gus Dur di Majalah Tempo dasawarsa 1970-an dan 1980-an. Total ada 73 tulisan. Tidak hanya berhenti di tahun itu Gus Dur menulis di Tempo, tulisan paling lengkap ada di buku Melawan Melalui Lelucon, yang mengkurasi tulisan Gus Dur dari tahun 1974 hingga 1994.
Dalam buku ini, dipetakan menjadi tiga bagian. Pertama, Refleksi Kritis Pemikiran Islam. Kedua, Intensitas Kebangsaan dan Kebudayaan. Ketiga, Demokrasi, Ideologi, dan Politik. Ketiga bagian ini mengajak pembaca untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan keislaman dan keindonesiaan kita. Dua tema itu tidak pernah ada habisnya dari tahun ke tahun, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan politik dan agama.
Kekuatan tulisan Gus Dur ada di sini. Apa yang ia tulis saat itu, empat puluh tahun atau seratus tahun kemudian masih saja terjadi kasus serupa. Fanatisme agama, intoleransi, pembatasan kebebasan berekspresi, ketidakadilan, dan nir kemanusiaan. Yang dipegangnya adalah nilai-nilai dan hikmah jangka panjang, jadi tahan lama.
Seperti tulisan yang menjadi judul buku ini; Tuhan Tidak Perlu Dibela, dimuat di Majalah Tempo, 26 Juni 1982. Berisi tentang pencarian jawaban tentang hakikat ketuhanan oleh seorang sarjana sepulang ia studi dari luar negeri.
Ia terkejut ketika mendapati wajah Islam Indonesia yang penuh dengan kemarahan. Melalui mimbar keagamaan, media islam, forum intelektual, hingga kemarahan itu diwujudkan dalam bentuk penentangan terhadap modernisme dan sikap berlebihan terhadap ancaman dari luar.
Di tengah keterkejutan dan kebingungannya itu, ia mencari jawaban ke beberapa tokoh yang ia anggap tahu. Ia mendatangi pamannya yang kiai, paham ilmu fikih, jawabannya normatif, itu wujud dari amar ma’ruf nahi mungkar, dan harusnya kamu juga melakukannya.
Merasa tidak puas, ia lalu datang ke cendekiawan muslim paling top. Ternyata tak jauh beda, harapan mendapatkan jawaban yang melegakan pun tak didapatkan. Ia diminta untuk tetap bersyukur atas tatanan yang ada. Akhirnya ia mendatangi guru tarekat, seorang sufi, yang mempunyai kedalaman spiritualitas. Di sana ia baru tercerahkan. Kata guru tarekat, bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Allah tidak membutuhkan pembelaan, karena kebesaran-Nya tidak akan berkurang sedikit pun oleh serangan atau keraguan seseorang.
Dalam tulisannya itu, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa umat Islam harus dewasa dalam menerima segala kritik, tidak perlu reaktif, marah-marah, atau bersikap defensif berlebihan. Justru sikap yang demikian itu malah menunjukkan kerapuhan iman seseorang akan kebesaran Allah.
Selain judulnya yang seksi (marketable), isinya relevan dengan kondisi Indonesia setiap tahunnya. Pasti ada model kelompok agama atau tokoh yang suka marah-marah, mudah tersinggung, dan baperan. Buku ini adalah bacaan wajib jika ingin melihat sisi intelektualitas Gus Dur.