Istilah Sama, Arti Berbeda

Sumber Foto; https://www.universitas123.com/news/prospek-kerja-bagi-fakultas-ilmu-tarbiyah-dan-keguruan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KATA tarbiah berarti pendidikan. Di semua negara Arab, kementerian pendidikan disebut wuzarah al-tarbiah. Dus, pendidikan dalam arti umum. Kalau ingin khusus, tambahkan kata lain Pendidikan politik? Al-tarbiah al-siasiyyah Pendidikan agama? Al-tarbiah al-diniyyah Kitab fiqh (hukum Islam) kuno sering mencantumkan kerja tarbiah al-kalb: pendidikan anjing, agar dapat menjaga ternak dan tanah pertanian Persis seperti kata pendidikan dalam bahasa kita. Itu di “sono”-nya

Di sini lain. Entah karena jarak georafis begitu jauh, entah karena tuntutan pelajaran bahasa Arab di layar televisi belum dipenuhi Menteri Harmoko, kata tarbiah “berubah kelamin”. Seperti kata mengamankan yang sekarang berarti menangkap dan mengurung orang. Juga kata gali — yang semula berarti membuat lubang pada permukaan bumi Kata tarbiah di negeri ini tetap dalam arti pendidikan, tapi dikhususkan untuk pendidikan agama Islam. Lingkup dipersempit, jangkauan diperpendek. Ini terbukti dari istilah “Fakultas Tarbiah” di IAIN. Tapi, penyempitan arti itu tidak berdiri sendiri, karena kata institut juga “disusutkan” artinya Tadinya untuk semua lembaga, akhirnya untuk perguruan tinggi belaka — IAIN, IKIP, IIP. IKJ, dan seterusnya.

Penyempitan arti tarbiah itu sebenarnya bagian dari sebuah proses yang tidak hanya menyangkut dunia pendidikan, melainkan seluruh wilayah kehidupan keagamaan kaum muslimin di negeri ini. Seperti kata periangan dari istilah “perjuangan Islam” yang semula berarti keseluruhan kiprah hidup, kini berarti beberapa aspek tertentu belaka dari keseluruhan itu. Atau kata “umat Islam” yang sebenarnya keseluruhan kaum muslimin, tetapi kini hanya berarti anggota, pengikut, dan simpatisan organisasi Islam saja.

Penyempitan arti terjadi sebagai kompensasi atas apa yang dirasa sebagai kekalahan, kemunduran, atau keterbelakangan yang diderita “umat Islam” di suatu bidang. Atau rasa terdesak dan tersudut, apa dan siapa pun yang menyebabkannya: penguasa negeri, kelas ekonomi yang dominan, kekuatan internasional yang menjarahi negeri-negeri lain secara sosial-budaya, atau penyebab yang tidak dapat dipersonifikasikan, seperti sekularisasi atau modernisasi.

Tarbiah yang dipersempit artinya itu mencerminkan juga proses kompensatoris tersebut. “Umat Islam” merasakan proses modernisasi pendidikan telah membawakan ancaman sangat besar. Relativisasi nilai, memudarnya keyakinan, lunturnya keluhuran budi-susila, dan seterusnya. Padahal, nilai, keyakinan, susila, budi pekerti, dan segudang lagi “peralatan spiritual” serupa, adalah penopang berlangsungnya ketaatan kepada hukum agama, ketundukan kepada kebenaran akidah, dan kesediaan memelihara akhlak mulia.

Proses “penduniawian” pendidikan yang ditakuti tapi tak dapat dihindari, diakui ataupun tidak, lalu dianggap “wilayah gawat”. Bidang yang begitu luas medannya itu sudah tentu tak dapat digarap seluruhnya. Salah satu bagian harus memperoleh prioritas untuk “diluruskan” dan masuk akal kalau yang dipilih adalah pendidikan agama. Bukankah di situ terletak kunci pembinaan generasi mendatang sambil masih tetap ada kemungkinan membenahi jalan kehidupan “generasi sekarang”?

Pendidikan agama lalu menjadi “titik balik” yang harus dijadikan pangkalan untuk merebut kembali wilayah-wilayah lain yang kini sudah lepas. Ia menjadi tumpuan langkah strategis untuk membalikkan arus yang menggedor pintu pertahanan “umat Islam”. Pendidikan agama lalu terbagi menjadi dua wilayah: wilayah “biasa-biasa saja”, yang tidak memiliki arti strategis, dan wilayah vital yang menjadi tumpuan harapan itu.

Pendidikan agama untuk tingkat dasar dan menengah memang penting. Namun, bagaimanapun, ia hanya wilayah yang menjadi objek garapan. Berbeda dengan pada tingkat perguruan tinggi, karena ia berarti penyiapan tenaga pendidik untuk menggarap kedua wilayah itu. Karenanya, pembenahan pendidikan agama harus bermula pada konsentrasi seluruh daya dan kemampuan untuk membenahi wilayah strategis itu. Pemusatan perhatian itu menuntut simbolisme, dan hal itu dicapai dengan menggunakan istilah khusus. Lahirlah kata tarbiah.