Israel: Cukupkah Momentumnya?

Sumber Foto; https://en.wikipedia.org/wiki/Menachem_Begin

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KOMISI Kahan yang dibentuk pemerintah Israel untuk menyelidiki pembantaian para pengungsi Palestina di Beirut Barat telah menyelesaikan kerjanya.

Sebuah tonggak baru dalam kehidupan bangsa Israel telah ditegakkan kekuasaan hukum harus diletakkan di atas kekuasaan politik. Sebuah sikap menjunjung tinggi keadilan dengan segala konsekuensinya telah dikemukakan dengan cara yang tidak membawa pada anarki politik atau, dengan kata lain, tanpa menghancurkan sendi-sendi pemerintahan. Bahkan, memperkuat sendi-sendi itu dari kemungkinan dimanipulasikan terlalu jauh oleh berbagai kecenderungan politik yang ada.

Komisi pimpinan ketua Mahkamah Agung Yitzhaki Kahan itu memang membawa hasil yang mengejutkan. Perdana Menteri Begin dianggap “bersalah sampai titik tertentu”, walaupun tak ada usul agar ia ditindak. Ariel Sharon, Menteri Pertahanan yang ultrakeras itu, direkomendasikan agar “mengambil kesimpulannya sendiri” atas kesalahannya yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi dalam kasus pembantaian di Perkampungan Sabra dan Chatila. Dengan kata lain, diminta mengundurkan diri dari jabatannya. Ia dinyatakan bersalah “telah lalai melaksanakan tugasnya, yaitu memperhitungkan kemungkinan kaum Phalangis akan melakukan pembantaian”.

Tiga orang “aktor langsung” penyerbuan Israel ke Lebanon diputuskan telah bersalah juga. Kepala Staf tentara Israel, Letjen Rafael Eitan, sepenuhnya bersalah, karena lalai memperhitungkan kemungkinan pembantaian, walaupun telah diberi nasihat untuk tidak membiarkan tentara Phalangis memasuki Perkampungan Sabra dan Chatila la bahkan membiarkan saja tentara Phalangis berada di kedua tempat itu, walaupun ia tahu pembantaian telah terjadi.

Direktur Intelijen Militer Yehoshua Saguy dipersalahkan gagal memberikan nasihat kepada pimpinan tertinggi tentara Israel untuk mencegah masuknya kaum Phalangis ke Sabra dan Chatila, walaupun ia menyatakan pendapat pribadinya bahwa pembantaian akan terjadi kalau hal itu dibiarkan.

Brigjen Amos Yaron, Komandan Divisi yang menduduki daerah Beirut, juga dipersalahkan membiarkan pembantaian terjadi, walaupun ia tahu bahwa hal itu terjadi.

Yang menarik dari argumentasi Komisi Kahan, sebagaimana diulas majalah Time adalah kategori kesalahan Israel itu sendiri. para pemimpin yang dinyatakan bersalah itu telah bersalah “secara tidak langsung”.

Menurut argumentasi ini, walaupun kaum Phalangis (orang Arab yang membunuh kaum pengungsi Palestina [orang Arab]), Israel bertanggung jawab karena hal itu terjadi di wilayah yang menjadi tanggung jawab Israel dalam hal keamanan dan ketertibannya. “Kita selalu mengajukan tuntutan serupa jika ada orang Yahudi yang diperlakukan keji di tempat lain, yaitu bahwa bukan hanya pelakunya saja yang bertanggung jawab, melainkan pemegang kekuasaan juga harus bertanggung jawab. Kita tidak boleh menghindarkan tanggung jawab ini, karena berarti melemahkan tuntutan peri kemanusiaan kita sendiri terhadap negara-negara lain,” demikian Komisi Kahan.

Sudah bukan rahasia lagi, pemerintahan Begin dan lingkungan pimpinan militer Israel telah lama mencoba memanipulasikan kehidupan politik negeri itu sedemikian rupa, sehingga impian mereka akan “Israel Jaya” (Eretz Yisrael), yang meliputi seluruh wilayah yang didudukinya (kecuali Lebanon), dapat diwujudkan secara de facto, walaupun melanggar perjanjian dan komitmen internasional mereka sendiri.

Begin mengumandangkan nostalgia akan “bentangan kawasan yang ditentukan Perjanjian Lama untuk bangsa kita”, termasuk tepian barat Sungai Jordan yang didudukinya sejak 1967. Sharon dan jenderal-jenderalnya mengajukan pertimbangan “keamanan integral Israel” dari kemungkinan serangan luar untuk membenarkan tindakan yang sama.

Tampaknya kecenderungan merekalah yang akan memenangkan keputusan politik dalam pergulatan internal Israel antara kaum keras dan kaum lunak. Di samping tradisi politik untuk menjunjung tinggi pertimbangan pihak pimpinan militer dan dambaan akan “realisasi janji Perjanjian Lama”, ada sebuah faktor lain yang mendorong bangsa Israel pada sikap memenangkan garis keras: sulitnya proses perundingan dengan pihak Arab mencapai suatu hasil konkret dan semakin meningkatnya jumlah penduduk Israel yang tidak berasal dari Eropa Barat dan Amerika.

Penduduk Israel yang berdatangan dari Eropa Timur dan negara-negara Asia, disebut kaum Sephardim, kini merupakan mayoritas bangsa Israel dan, dengan sendirinya, kebencian mereka terhadap apa yang dianggap “budaya asing” dari Barat juga membuat mereka menolak usul perdamaian negara-negara Barat.

Namun, kesemua kemungkinan akan menangnya garis keras dalam kehidupan politik Israel menjadi tidak lagi pasti dengan adanya laporan Komisi Kahan di atas. Pimpinan militer Israel kehilangan superioritas moralnya. Mereka terbukti bangkrut secara total dalam menjaga hal-hal paling dasar bagi kehidupan manusia dengan terjadinya pembantaian itu. Impian Begin juga lalu tampak konyol di hadapan kenyataan akan semangat bangsa Palestina untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri.

Seperti dikatakan pendidik terkemuka Israel, Zvi Kesse, dalam wawancaranya dengan newsweek masa depan Israel ditentukan oleh kemampuannya mencari penyelesaian yang adil terhadap tuntutan bangsa Palestina. Kita pun, katanya, dahulu menuntut keadilan seperti itu. Israel sudah terlalu lama harus hidup dengan nilai-nilai militeristis, yang akan menghancurkan Israel sendiri, sebagai konsekuensi menolak tuntutan bangsa Palestina itu.

Pandangan waras seperti dikemukakan Kesse ini tentu akan memungkinkan tercapainya hasil konkret dalam perundingan perdamaian untuk menyelesaikan sengketa Arab-Israel, kalau diikuti oleh cukup banyak orang di Israel. Namun, cukupkah momentum yang diciptakan laporan Komisi Kahan itu untuk mendorong bangsa Israel secara keseluruhan pada sikap yang terbuka dan menjamin keamanannya secara kekal, yaitu mengakui eksistensi sebuah bangsa dan negara Palestina?