Sumbangan untuk Kontestan Keempat?

Sumber Foto; https://sejarahindonesiadahulu.blogspot.com/2016/10/partai-politik-pada-masa-orde-baru.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

BANGSA kita memang pandai mengalihkan arti suatu istilah yang sudah baku. Lihat saja kata “kontestan pemilu” yang diartikan ketiga peserta dalam Pemilihan Umum 1982 ini: Golkar, PDI, dan PPP (disusun peserta berdasarkan prioritas abjad, bukan nomor undian). Padahal, menurut pengertian aslinya, kontestan adalah mereka yang berlawanan, merebut kemenangan terakhir dalam pertandingan.

Di negeri ini, menurut tata krama demokrasi Pancasila, pola seperti itu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Mau menang sendiri dengan mengalahkan orang lain. Kalau itu musuh politik, dapat dibenarkan. Golkar, PDI, dan PPP kan tidak demikian. Mereka kan “partner dalam kehidupan politik”, bukan musuh. Karenanya, tujuan yang dianggap sesuai dengan tata krama demokrasi Pancasila adalah “menarik suara sebanyak-banyaknya untuk menyukseskan pembangunan nasional”.

Kalau sampai Golkar menang mutlak, mendapat di atas 60% kursi DPR, itu bukan menang, melainkan hanya “memperoleh kepercayaan rakyat”. Tidak penting dengan cara apa “kepercayaan” itu diperoleh. Itu urusannya sejarawan tiga atau empat puluhan tahun lagi-itu pun kalau mereka mendapat catatan lapangan yang diperlukan untuk membuat kesimpulan.

Nah, dengan cara perubahan arti elemen-elemen yang membentuk proses yang bernama pemilu itu, berubah pulalah arti kata kontestan. Bukan arti semula yang menunjukkan sikap kompetitif dan kalau perlu sedikit “keras”, melainkan arti kesertaan.

Dus, kontestan sama dengan peserta. Setidak-tidaknya yang dimaui Panitia Pemilu Indonesia dan Kopkamtib: aman, tertib, tenang, dan damai (ATTD). Ketiga kontestan itulah yang harus menjadi tolok ukur sudah demokratis atau belumnya pemilu berlangsung. Bukan proses jalannya pemilu itu sendiri.

Putih Mangkak

Di sinilah rombongan gelandangan politik yang bernama Fosko Enam-enam (dihurufkan, kalau pakai angka takut dibaca Anem-anem) muncul dengan gagasannya yang cemerlang: bersedia membantu semua kontestan pemilu. Dinyatakan kesediaan itu melalui media massa seperti dimuat dalam koran (putih-mangkak berlogo merah, bukan kuning seperti didakwakan Prof. Sumitro Djojohadikusumo dahulu), Merdeka, 3 Maret yang lalu.

Unik juga. Di samping pemerintah (yang nyumbang kendaraan dan uang biaya kampanye), ternyata Fosko Enam-enam satu-satunya lembaga kemasyarakatan yang menyuarakan bantuan dan perlakuan sama terhadap ketiga “kontestan Padahal, titik berangkatnya berlainan. Kalau pemerintah, melalui doktrin “keikutsertaan sebagai tolok ukur demokrasi, bukan prosesnya”, memberi perlakuan dan bantuan serupa kepada ketiga “kontestan” agar tidak bersaing tajam, Fosko Enam-enam justru sebaliknya.

Fosko menghendaki tema-tema baru — yang kalau diikuti semua “kontestan” justru akan menyemarakkan suasana menghangatkan suhu dan membisingkan telinga kita: semuanya harus merasa benar-benar setaraf dan sama berhak atas kemenangan. Padahal, langkanya kedua hal itulah yang justru membuat pemilu kita di masa Orde Baru ini (sejauh ini dari 1971 hingga 1981) benar-benar sesuai dengan asas ATTD di atas.

Nah, kalau diikuti logika dan keinginan fosko ini, seharusnya diberikan juga bantuan kepada “kontestan” keempat. Yaitu kelompok gelandangan bernama Golput (dulu berarti putih, kini berubah menjadi putus harapan).

Kelompok terakhir ini dalam dunia spion Melayu dijuluki OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), karena tidak punya potongan, lokasi, dan cara kerja yang jelas Kecuali kejengkelan terhadap keadaan, tidak ada yang membuat mereka sama di luar hal-hal biologis, tentunya. Yang perlu dipersoalkan adalah status mereka: mengapa dinamai kontestan? Ternyata, sebabnya mudah saja: mereka juga berjuang untuk memenangkan sesuatu dalam pemilu.

Kalau ketiga kontestan lain ingin menyuarakan aspirasi konkret melalui proses kampanye pemilu, orang-orang Golput (dalam artian hampir-hampir putus nyawa) juga ingin menyuarakan aspirasi mereka melalui forum yang sama. Sayang, mereka tidak diperkenankan turut kampanye

Nah, kalau Fosko Enam-enam ingin menyukseskan Pemilu 1982 secara sunguh-sungguh, sebenamya ia haruslah juga memberikan sumbangan tema dan tenaga kepada Golput.

Entah lagi kalau Golput (yang kini berstatus putus hubungan) juga dilarang menerima sumbangan dalam bentuk apa pun.