Irak: Patahnya Beberapa Mitos

Sumber Foto: travel.kompas.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SEBUAH mitos yang berkembang di mana-mana menyatakan bahwa diperlukan waktu sangat panjang untuk memperkenalkan kesadaran mengatur diri sendiri di kalangan warga masyarakat terbawah di negeri yang sedang berkembang.

Memang, mitos itu pernah tercermin sepenuhnya dalam cara warga kota Bagdad menggunakan alat-alat pengangkutan umum: berjubel, sebagian tidak membayar, dan naik-turun seenaknya saja. Tapi, bagaimana sekarang, setelah dalam waktu cuma tujuh tahun? Bus kota sudah tidak memerlukan kondektur lagi, para penumpang dengan teratur naik melalui pintu untuk masuk, mencatatkan karcis di mesin pencatat waktu, dan nanti turun dari pintu untuk keluar di halte yang dikehendaki. Tanpa ada yang mengatur, semua berjalan serbalancar dan tidak berdesak-desakan.

Bagaimana disiplin sosial seperti itu dapat dikembangkan dalam jarak waktu hanya beberapa tahun saja? Dengan social engineering yang imajinatif, yaitu menggunakan kontrol sosial yang inheren ada dalam tiap kelompok manusia. Kalau ada yang nyelonong masuk dari pintu yang salah atau ada yang duduk langsung tanpa mencatatkan karcis, sang sopir diharuskan oleh peraturan perusahaan menghentikan kendaraannya. Dengan “mogoknya” sang sopir, penumpang lain akan memaksa orang yang melanggar peraturan itu untuk mematuhinya, karena semua, toh, butuh sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Dengan demikian, pecahlah mitos tentang “orang kampungan tidak mampu mengatur diri sendiri dan tentang perlunya “orang kuat” untuk mengatur mereka melalui stabilisasi keadaan.

Yang digambarkan di atas adalah sebuah contoh kecil belaka dari berlangsungnya sebuah proses berskala besar di Irak dewasa ini. Sementara itu, banyak mitos lain yang lebih besar telah dapat dipatahkan di sana.

Yang terbesar, mungkin, adalah mitos tidak berdayanya kelompok “teknokrat” untuk “memegang setir” dalam suatu koalisi pemerintahan dengan pihak militer di negeri-negeri berkembang Lihat saja di Mesir. Hingga hari ini pihak militerlah yang menjadi penentu, seperti terbukti dengan tidak efektifnya penolakan “pihak teknis” dari golongan sipil atas prakarsa perdamaian Sadat setelah Pertemuan Camp David. Suriah juga demikian, Hafez Asad adalah tokoh militer yang “menyipilkan diri” dengan tunjangan garnisun ibu kota yang dipimpin oleh adiknya sebagai komandan, Jenderal Rifaat Asad. Di Pakistan, pihak teknokrasi sekarang harus hidup dari belas kasihan penguasa militer, begitu pula di Muangthai Perkembangan di Amerika Latin dan Afrika, umumnya, juga memperkuat kecenderungan semakin melemahnya kekuatan pihak teknokrat dalam koalisi pemerintahan yang mereka buat dengan pihak militer.

Di Irak, mitos di atas, ternyata, tidak sepenuhnya terbukti. Pada waktu akan melakukan gerakan gabungan untuk menggulingkan pemerintahan Abdel Rahman Aref dua belas tahun yang lalu, pihak “kelompok sipil” yang diwakili pimpinan Partai Ba’ath (Kebangunan) berhasil memaksakan pembagian kekuasaan yang sama dengan pihak militer. Pembagian kekuasaan itu dicerminkan oleh terbentuknya Dewan Pimpinan Revolusi sebagai badan tertinggi pemerintahan. Kendali dewan tersebut ternyata dipegang oleh wakil ketuanya, Saddam Hussein, yang sekarang menjadi orang kuat Partai Ba’ath dan, sekaligus, orang kuatnya Irak.

Dengan pembagian kekuasaan itu, pihak “kelompok sipil teknis” itu lalu menjadi cukup independen dari “gangguan” untuk berorientasi elitis dalam mengarahkan strategi pembangunan Irak, orientasi mana telah menjadi ciri khas kaum militer di mana-mana jika turut memegang kendali pemerintahan.

Independensi di Irak itu, akhirnya, menghasilkan orientasi populis dalam perencanaan pembangunannya. Pendidikan, jaminan sosial, dan pelayanan kesehatan yang bebas dari biaya, penyediaan kebutuhan pokok di bidang pangan dengan harga tersubsidi yang sangat rendah, pematahan kekuatan monopoli ekonomi dalam negeri yang dibarengi pemindahan fungsi perdagangan ke sektor koperasi, dan penyediaan infrastruktur yang ditekankan pada kebutuhan rakyat kecil (terutama di bidang pengangkutan, perumahan, dan elektrifikasi), kesemuanya merupakan bukti orientasi populis itu.

Tidak heranlah jika dalam waktu hanya beberapa tahun saja telah terjadi transformasi total yang cukup mengagumkan dalam kehidupan bangsa Irak. Apa yang tadinya menjadi rangkaian padang pasir kosong antara kota-kota di Irak, kini telah berhasil “disulap” menjadi deretan kebun jeruk dan tebu milik koperasi sepanjang ratusan kilometer, diselingi kompleks-kompleks perumahan murah dengan fasilitas air dan listrik hingga ke pelosok-pelosok yang terpencil sekalipun. Pantai Danau Habbaniyah, yang terletak 60 km dari Bagdad, dan tepian sungai di Nineveh (dahulu bernama Mosul) kini telah menjadi tempat rekreasi yang murah dengan aneka ragam fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan pemerintah. Padahal, lima tahun yang lalu kedua tempat itu masih menjadi tempat rekreasi kaum kaya saja, karena mahalnya.

Derasnya petrodolar masuk ke Irak, dengan ekspor minyak buminya yang cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, turut membantu terwujudnya orientasi kehidupan populis di sana dengan lancar tanpa terlalu banyak tersendat-sendat. Subsidi sangat besar bagi sektor pengadaan pangan hanya dapat dilakukan, kalau ada persediaan dana demikian besar, demikian pula biaya pemerataan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemberian jaminan sosial yang cukup. Tetapi, penggunaan dana-dana yang ada untuk penyediaan kebutuhan dasar seperti itu tidak akan berlangsung kalau tidak ada orientasi populis yang cukup kuat di kalangan pemerintahan. Orientasi itu tidak akan tumbuh, kalau keseimbangan tepat dalam pembagian kekuasaan antara komponen-komponen pemerintahan tidak tercapai. Berapa banyak negara berkembang yang menghambur hamburkan dana masif yang mereka peroleh hanya untuk hal-hal yang tidak diperlukan bagi peningkatan taraf hidup rakyat kecil?