Iran dan Model Pembangunannya

Sumber Foto: https://www.britannica.com/biography/Ruhollah-Khomeini

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KITA masih dalam perang. Perang ekonomi melawan Amerika dan Israel. Karena itu, rakyat harus mendukung Presiden Rafsanjani dalam kebijaksanaan ekonominya,” kata Hujjatul Islam Ahmad Khomeini dalam pidato di hadapan sekitar seribu orang itu. Hal itu saya saksikan bulan lalu, sewaktu organisasi bekas tawanan perang (Azadegan) merayakan ulang tahun kedua pembebasan diri mereka dari penjara-penjara Irak. Peringatan dilakukan di makam almarhum Ayatullah Khomeini — dan itulah sebabnya putra beliau yang memberi sambutan.

Dalam ungkapan sloganistis yang sederhana itu, ternyata, terdapat kandungan yang sangat berharga: Iran tengah memasuki babak baru dalam perjuangannya untuk menegakkan kebenaran Islam. Sebuah proses panjang tengah diakhiri dan sebuah proses lain tengah dimasuki Dengan kata lain, sebuah proses peralihan tengah dijalani. Dan itulah yang saya saksikan pada waktu magrib di kompleks baru yang belum selesai dibangun di kawasan pekuburan Behesht-e-Zahra, sekitar 30 km di luar Teheran.

Nama lokasinya pun sangat mengena sebagai titik pengenalan. Behesht-e-Zahra, Taman Zahra. Artinya Taman Fatimah, nama putri Rasulullah, yang menjadi “peralihan” dari era Nabi Muhammad ke era cucu beliau, Imam Husein, putra Fatimah. Era keimaman Husein adalah kulminasi dari tradisi tersebut, katakanlah klimaks dari keseluruhan proses keimaman itu sendiri. Masa sebelumnya adalah masa pendahuluannya, sedangkan masa setelah ia mengorbankan dirinya di Padang Karbala adalah masa antiklimaks, penerusan tradisi belaka. Tradisi itu “ditutup” dengan absensi (Mi’raj-nya) imam kedua belas, Muhammad al-Mahdi, sekitar seratus tahun setelah itu.

“Sepuluhan tahun kami mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat Segala kemampuan dikerahkan untuk itu. Karena itu, inisiatif ekonomi hampir seluruhnya diambil oleh pemerintah. Kini, sudah mapan pola pemenuhan itu. Kami harus beralih kepada pengembangan ekonomi melalui peningkatan produksi secara masif. Katakanlah memulai masa industrialisasi. Karena itu, diberikan peluang kepada sektor swasta untuk berperan sebanyak mungkin.”

Anda tentu menduga seorang teknokrat perancang pembangunan yang berbicara demikian. Atau pakar ekonomi, mungkin juga pakar politik dari sebuah tangki pemikir. Ternyata tidak benar, karena yang berbicara adalah Ayatullah Zanjani, seorang kiai tulen yang memimpin sebuah pusat kajian Islam di Teheran. Mengapa ia berkata seperti itu? Karena hal-hal makro seperti itu memang menjadi bidang pengamatan para ulama Iran.

la meneruskan, “Dulu, kami dituduh sosialis, karena mengutamakan lapisan bawah dan mengabaikan kalangan menengah. Sekarang disebut kapitalis, justru karena memberi tempat kepada kepentingan lapisan menengah. Padahal, masalahnya bukan demikian. Kami melaksanakan ajaran Islam. Populisme kami adalah sikap keagamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau selalu menolong orang kecil sewaktu menjadi khalifah. Ajakan membangun industri kepada lapisan menengah adalah penghormatan Islam terhadap kesucian harta milik pribadi, namun yang harus dipergunakan untuk kepentingan bersama seluruh umat manusia.”

Ucapan kedua orang “kiai” dari tingkat yang berbeda itu, hujjatul Islam dan ayatullah, menunjukkan betapa kuat kesadaran para ulama Iran akan pentingnya modal pembangunan yang harus dipilih oleh Iran saat ini, dan karena kaum kiai adalah elite politik Iran setelah kemenangan Revolusi Islam dua belas tahun yang lalu, dengan sendirinya kesadaran itu lalu menjadi agenda politik utama negeri itu.

Model ultrapopulistis yang digunakan selama ini ternyata sekarang menghadapi tantangan berat. Industrialisasi yang hampir dimulai pada akhir pemerintahan Syah Reza Pahlevi, ternyata terhenti lagi geraknya dan Iran praktis hanya menggantungkan diri pada penghasilan dari ekspor minyak bumi. Tanpa pendapatan dari sektor lain secara berarti, kemampuan menyediakan kebutuhan pokok Juga mulai menurun, karena penghasilan dari sektor minyak bumi habis ditelan oleh pertumbuhan penduduk yang luar biasa cepatnya,

Karena itu, untuk “berjalan di tempar” saja harus digalakkan sumber pendapatan lain dalam skala masif, apalagi untuk lebih maju. Dan itu berarti keharusan mendorong peranan pihak swasta untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya. Tampak sebagai sebuah kewajaran sederhana. Padahal, di dalamnya tersembunyi sesuatu yang sangat pelik. Apalagi bagi para mullah, para kiai di Iran, baik yang masih hujjatul Islam maupun yang sudah ayatullah. Juga yang berada di puncak menara gading berupa pesantren (huzeh) dengan gelar ayatullah ‘uzma (grand ayatullah) yang sekarang jumlahnya hanya ada empat orang di negeri dengan penduduk hampir enam puluh juta jiwa itu.

Pemberian peluang kepada golongan menengah melalui penswastaan ekonomi akan membawa perubahan dalam orientasi kehidupan dan pola perilaku bangsa Iran. Sampai sejauh mana perubahan itu dapat dibiarkan tanpa merusak tata nilai serba-Islam yang diterapkan para mullah sebagai elite politik Iran? Itulah tantangan utama yang harus mereka hadapi. Dan, jawabannya tidak mudah. Justru, bahkan, akan membawa dilema-dilema rumit di masa depan.