Mesir: Birokrasi Itu Jadi Gurita

Sumber Foto: rumahmigran.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PRESIDEN Sadat telah menjatuhkan pilihan. Soal-soal lain ditunda dulu, yang paling pokok membenahi ekonomi.

Untuk konteks negeri lembah Nil ini, sikap tersebut berarti membenahi pembangunan secara keseluruhan. Soal perdamaian dengan Israel, menjadi keharusan untuk memungkinkan pengaturan kembali jalannya pembangunan itu. Ia harus puas dengan hanya pengembalian Gurun Sinai dan janji samar-samar tentang “status yang akan dirundingkan nanti” atas Tanah-kantong Gaza dan tepian barat Sungai Jordan. Kota Jerusalem cukup “distatuskan Arab” secara simbolis belaka, dengan yurisdiksi mereka hanya atas Masjid Aqsa dan Kubah Sakhr (Rock Dome) belaka.

Apa boleh buat, semua itu yang maksimal dapat dicapai; kalau tak kunjung datang jua perdamaian dengan Israel, bisa bangkrut Mesir dibuatnya nanti. Tidak kuat lagi berperang. Akh, bukan begitu: tidak kuat lagi mempersiapkan perang. Lho, keliru lagi: tidak kuat tidak berperang, tanpa membenahi pembangunan.

Kok “Grogi”?

Mengapa jadi begitu benar negara tua ini? Ke mana sumber-sumber ekonominya yang dulu direncanakan akan menjadi cukup besar guna membiayai pembangunan plus persiapan perang? Mana itu “seribu pabrik”-nya Nasser, dengan lambang berupa pusat pertekstilan di Mahallah Kubra dan pusat industri baja di Helwan? Mana itu hasil “revolusi hijau” yang rencananya akan dibawakan oleh perluasan tanah pertanian baru berkat irigasi yang menjadi lanjutan rampungnya Bendungan Tinggi Aswan? Mana hasil elektrifikasi masif dari proyek-proyek hidrolistrik yang nebeng bendungan tinggi itu?

Kok Sadat lalu “grogi”, terpukul kewibawaannya oleh persoalan-persoalan ekonomi yang paling pokok, dihadapkan pada demonstrasi besar-besaran yang menuntut, dikembalikannya subsidi untuk bahan pangan utama? Akh, bagaimana tertahan nostalgia akan “roti cakram” yang cukup mengenyangkan dengan harga hanya setengah piaster (tujuh setengah rupiah) belaka?

Jawabannya terletak pada berlangsungnya sebuah proses yang tak tertahan lagi, yang berjalan sangat lambat, tetapi dengan langkah pasti. Proses yang tampak tenang, tetapi, ternyata, menghanyutkan, menyeret negeri Nefertiti dan Cleopatra itu ke jurang kebangkrutan.

Proses itu adalah membengkaknya sebuah sistem kepegawaian menjadi gurita birokratis yang menelan segala-galanya. Termasuk hasil-hasil spektakuler yang dicapai oleh pembangunan yang telah dirintis oleh mendiang Presiden Nasser lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Pembangunan itu dimulai dengan pelaksanaan landreform bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan asing, termasuk semua bank dan usaha asuransi. Dilanjutkan dengan politik autarki untuk merangsang tumbuhnya industri ringan dan sedang secepat mungkin.

Terkenallah proyek “seribu pabrik” (alfu ma’amil) yang disebutkan di atas. Disusul dengan peletakan dasar-dasar industri berat melalui dua kerja utama: proyek industri baja di Helwan dan proyek hidrolistrik raksasa di Bendungan Tinggi Aswan. Pembangunan dam raksasa itu sendiri akan menambah areal pertanian dengan tiga juta hektare sawah-sawah baru.

Untuk menyongsong “era baru” itu, rakyat diperkenalkan pada strategi pembangunan yang mencakup kebutuhan dasar mereka: pendidikan bebas biaya dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, perawatan kesehatan yang ditanggung pemerintah sepenuhnya, subsidi yang tidak kepalang tanggung untuk pengadaan pangan dengan harga sangat murah, pengadaan sarana pengangkutan umum, pengadaan rumah atau apartemen dengan sewa sangat rendah, elektrifikasi hingga ke desa-desa, pengadaan bahan bacaan secara masif (dengan semboyan “satu buku terbit tiap enam jam”), hiburan massal dan olahraga secara umum dengan subsidi pemerintah, dan banyak lagi.

Tidak Boleh Jadi Kaya

Cukup menimbulkan harapan dan kegairahan, mendorong munculnya impian tentang “era baru” yang indah bagi bangsa Mesir. Banyak pengorbanan diberikan untuk merealisasi impian itu. Pendapatan perorangan dibekukan pada batas maksimal dua ribu poundsterling setahunnya, alias tidak boleh orang jadi kaya. Di atas batas maksimal, dilaporkan dan dipergunakan oleh negara. Kualitas pelayanan kesehatan dan pengangkutan umum direlakan menjadi turun ke taraf yang mampu dibayar oleh anggaran belanja negara tanpa ada hak untuk menciptakan sendiri jaringan pelayanan dengan biaya tinggi oleh pihak swasta (kecuali satu-dua saja untuk keperluan orang asing yang tinggal di kota-kota besar).

Pendidikan juga harus berada di taraf rakyat. Hanya satu-dua lembaga pendidikan eksklusif saja diperkenankan beroperasi. Pola konsumsi dibuat ketat, hanya memikirkan penyediaan kebutuhan pangan-sandang-papan yang pokok saja, yang sedapat mungkin harus diproduksi di dalam negeri. Wol Mesir kasar, tetapi Anda tidak dapat mengimpor wol berkualitas tinggi. Nasser sendiri juga adil pakai wol kasar itu. Ingin pakai kemeja nilon? Tunggu dulu sepuluh tahun lagi, setelah Mesir mampu memproduksinya. Pulpen Parker? Terima sajalah merek Hero buatan RRC. Semua itu dijalani dengan sabar dan tanpa mengurangi kegembiraan hidup, demi realisasi impian menikmati hasil pembangunan di akhir hidup generasi ini.

Temyata, impian menikmati pembangunan dalam masa satu generasi itu meleset. Semua harus ditunda dahulu. Mengapa? Karena birokrasi telah membesar menjadi sebuah gurita raksasa yang membelitkan belalainya ke semua sektor kehidupan, dan mencekik kesemua sektor itu hingga sukar bernapas. Jangankan untuk berkembang, untuk tetap hidup saja sudah susah bukan main.

Semua hasil yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu habis ditelan oleh gurita raksasa itu. Dengan hanya berdiam diri tidak mengerjakan apa-apa, ia mampu mematikan kreativitas yang diperlukan untuk membangun. Dengan hanya berdiam diri tidak mengerjakan apa-apa, ia mampu mematikan kreativitas yang diperlukan untuk membangun. Dengan hanya bermalas-malasan, ia mampu menyumbat semua urat nadi pembangunan. Birokrasi itu telah menjadi monster raksasa yang menelan, menyingkirkan, menggusur, dan melanda semua bentuk kehidupan yang tampak di hadapannya. Begitu besar monster itu, hingga ia terhenti oleh kebesarannya itu, menghalangi semua lalulintas kehidupan yang dinamis.

Untuk Kursi, 57 Tanda Tangan

Birokrasi di sana, lalu, memiliki hukum-hukumnya sendiri, yang jauh sekali dari irama kehidupan membangun yang dibutuhkan bangsa Mesir. Seorang pimpinan sebuah perusahaan Amerika yang mengadakan joint venture dengan sebuah PN Mesir harus memperoleh 57 buah tanda tangan para pejabat berbagai instansi sebelum diperkenankan membawa kursi kerja kesayangannya dari Amerika Serikat ke tempat kerjanya yang baru.

Semua urusan, sudah biasa, harus tertunda-tunda dengan ucapan yang sudah “melembaga”: bukrah, besok sajalah Anda kembali ke mari. “Da’i’ah”, yang arti literalnya adalah “satu menit lagi”, dalam konteks seperti itu menjadi “satu bulan lagi”.

Nah, kesemuanya itulah yang membuat Sadat harus membenahi pembangunan negerinya. Entah berhasil atau tidak, kita belum tahu. Tetapi, tentu tergantung pada kemampuannya membenahi birokrasi yang sudah mencekik kehidupan bangsa kuno itu.

Sejarawan ekonomi terkenal, Charles Issawi, dengan tepat menunjuk kepada tiga faktor utama yang menumbuhkan birokrasi “tak terbantah” di Mesir itu dalam perkembangan sejarahnya. Kedudukan mutlak Pharaoh/Firaun sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi pada masa pra-Islam, kuatnya kedudukan khalifah sebagai penafsir perintah Allah, dan sifat kedudukan pemerintahan dalam pemerintahan sosialis yang didirikan oleh Nasser.

Ketiga faktor itu membuat birokrasi tidak lagi harus bertanggung jawab kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri. Kita akan memperoleh pelajaran sangat berharga, kalau Sadat mampu menangani soal ini dengan tuntas. Bukankah soal ini telah menjalar ke mari?