Agama dan Kebangsaan

Tiga Serangkai (Bung Hatta, Bung Karno, dan Bung Sjahrir) di Yogyakarta, Desember 1946.

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tiga orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib di negeri orang. Intelektual pertama adalah penganut pandangan pluralistis dalam soal-soal keagamaan: mengakui pentingnya perbedaan pandangan antarkelompok yang begitu banyak ragamnya. Yang kedua penganut ortodoksi agama dalam artian yang tulen: tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda, tapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran-ajaran formal agamanya. Katakanlah “intelektual kelas orang baik-baik”. Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan kini berubah identitas karena kebutuhan politis. Lebih tepat dinamai pluralistis-kultural dan monolitik-politis.

Dapat dibayangkan, selama perjalanan puluhan jam ke negeri asing itu ada beberapa kemungkinan yang terjadi di antara mereka. Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan masing-masing. Atau bermanis-manis membicarakan hal-hal yang dapat disepakati. Atau sama sekali tidak berbicara apa pun di bidang masalah keagamaan. Yang jelas, turun dari pesawat terbang, masing-masing tetap berpegang pada pendirian sendiri.

Namun, pengalaman di negeri orang itu ternyata menyamakan sikap mereka. Ketiga orang itu menolak mengikuti konferensi dan seminar, ketika seorang tokoh separatis dari negerinya sendiri diterima sebagai peserta. Tokoh separatis itu jelas akan dihukum mati kalau tertangkap dan dibawa ke pengadilan negerinya – yang juga negeri mereka bertiga, Indonesia tercinta. Ia bisa selamat dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar negeri, antara lain dalam forum ilmiah di atas.

Mereka menolak kehadiran tokoh separatis itu, yang telah menyengsarakan warga masyarakat di daerahnya. Juga yang membuat Islam tetap dicurigai orang banyak sebagai masih memiliki “aspirasi teokratis”. Duduk satu forum, walau jelas lain kursi, tidak bisa dilakukan. Dapat menjadi pengakuan diam-diam atas kehadiran “negara” separatis yang didirikan tokoh itu, walau dalam kenyataan sudah tidak lagi ada. Mungkin tinggal dalam aktentas yang dibawa tokoh separatis itu.

Ketika diajukan protes, penyelenggara forum berkeras mengakui kehadiran tokoh itu. ”Kalau kalian keberatan, kalian pergi saja dari forum ini.” Dan itulah yang dikerjakan mereka bertiga. Dikeluarkan sebuah pernyataan protes, mereka menarik diri dari forum, dan peristiwanya berakhir di situ. Kecuali, tentunya, bagi alat negara yang masih harus mencari sebab: mengapa masih juga kebobolan dalam diplomasi internasional.

Yang menarik bukanlah sikap protes ketiga intelektual itu. Banyak orang protes di seluruh dunia setiap jam dan menit, apalagi setiap harinya. Yang menarik adalah kenyataan menangnya ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan. Bukan membentuk persekutuan baru untuk memperluas kesadaran dengan tokoh separatis yang menjadi orang keempat itu, mereka malah menutup pintu bagi kehadirannya. Ikatan keagamaan sebagai sesama “pejuang Islam” ternyata tidak mempersatukan mereka.

Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan “Kabinet Soekarno” yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama Kementerian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu dicantumkan dan sejak itu tidak pernah “hilang dari peredaran”. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan ’’Kabinet Sjahrir”. Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran Islam tidak mencantumkan Kementerian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan “tokoh sekuler” justru menciptakannya? Karena dorongan keimanan Sjahrir? Mustahil. Tokoh ini tidak pernah percaya keimanan dapat dikonkretkan ke dalam sebuah lembaga tanpa kehilangan kreativitas dan elannya.

Lalu mengapa? Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional. Tanpa Kementerian Agama, “golongan Islam” tidak dapat menerima kehadiran pemerintah sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa, ia harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedang Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu ketika membentuk kabinet pertama. Atau, setidak-tidaknya, tidak menganggap penting aspirasi “umat beragama” itu.

Ternyata, kepentingan nasional memiliki hukum-hukumnya sendiri, yang dalam banyak hal dapat “dimanfaatkan” untuk kepentingan agama. Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkonkretkan hidup beragama. Tidak sebaliknya. Inilah kenyataan penting yang harus selalu diingat, karena sekarang muncul kembali kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan kepada rasa keagamaan. Kedua-duanya adalah sektor kehidupan yang harus saling berkait, kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.