Palestina: Dari Tragedi ke Eksistensi

Sumber Foto; https://www.history.com/topics/middle-east/plo

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

ORANG Palestina punya banyak persamaan dengan orang Minang. Umumnya perantau, pandai, dan pemimpin di kawasan luar tanah kelahiran semula — dan cukup banyak yang menjengkelkan penduduk setempat.

Bedanya, orang Minang merantau di negara sendiri, dan turut memerintah. Sedang orang Palestina harus puas hanya menjadi kelas menengah di antara orang: guru, dokter, insinyur, wartawan.

Walhasil, ia jadi bangsa yang jadi “kelas profesional” di mana-mana.

Mereka memperkaya sastra Arab dengan karya yang umumnya bermutu tinggi, umumnya berbentuk puisi, esai, dan kritik sastra. Juga cerita pendek. Kehidupan budaya umumnya mereka ikuti secara benar-benar aktif.

Tetapi, anehnya, gerakan perlawanan Palestina sejak semula justru mengambil corak sangat politis, mungkin karena muncul sebagai reaksi “penjajahan politis-militer” Israel atas tanah air mereka. Perlawanan kultural sedikit sekali dapat tempat dalam perjuangan pembebasan bangsa Palestina di luar sejumlah produk sastra yang penuh dengan jargon-jargon revolusioner dan sangat berwatak retoris.

Sebagai pertumbuhan logis dari perjuangan “terlalu politis” itu tekanan kemudian beralih kepada perjuangan militer. Mula-mula dalam serangan sporadis bersifat teroristis, kemudian jadi operasi militer teratur, berpuncak pada penembakan jarak jauh dan penyerangan mendadak atas permukiman-permukiman Yahudi di sebelah utara Israel. Semua dilakukan dari Lebanon.

Untuk memungkinkan itu mereka memantapkan kehadiran militer yang sangat menonjol di Lebanon, yang akhimya membawa kepada perang saudara antara kelompok-kelompok politis Lebanon sendiri. Lalu datanglah “pemelihara perdamaian”, pasukan-pasukan Suriah di bumi Lebanon: damai, dengan harga kian mantapnya kehadiran militer PLO di Beirut, Tyre, dan Sidon. Dan juga dengan harga lumpuhnya pemerintahan Lebanon sendiri — karena pasukan Lebanon hanya dalam nama saja berfungsi memelihara ketertiban.

Kemantapan militer PLO itu menyebabkan munculnya sikap arogan di kalangan mereka. Tidak menghargai kedaulatan Lebanon, juga tidak mampu mengembangkan upaya mencari pemecahan politis yang lebih beragam bagi “masalah Palestina”. Ada sikap tegar dan kaku, juga sikap kekanak-kanakan untuk main tuduh sana-sini. Bahwa negara-negara Arab lain “tidak cukup” membantu mereka Bahwa penderitaan merekalah yang harus menjadi perhatian utama umat manusia.

Sikap absolut ini sama sekali tidak menimbulkan simpati kepada bangsa Palestina, karena hanya bersisi satu saja — walaupun isi tuduhan mereka banyak benarnya. Walhasil, PLO terjebak ke dalam sebuah keadaan tragis: menyandarkan diri pada kekuatan militer semata dengan mengabaikan kekuatan politis dan kultural yang sebenarnya.

Akhirnya, kisah tragis itu berujung pada gempuran Israel atas Lebanon dan kepungan atas Beirut. Kekuatan militer Palestina mau tidak mau harus melihat kenyataan sangat pahit Israel sama sekali bukan macan kertas dan perjuangan mereka sendiri ternyata tidak seefektif harapan mereka.

Kesadaran ini mungkin datang sudah terlalu lambat, ketika segala-galanya berakhir pada kebuntuan. Dapat diperkirakan sebentar lagi kekuatan militer PLO akan hilang kalau tidak oleh penyerahan senjata kepada pasukan-pasukan Lebanon dan penarikan mundur sisa-sisa kekuatan ke Suriah, tentu oleh gempuran masif Israel langsung atas induk pasukan mereka yang hanya berjumlah satu brigade saja.

Pilihannya ialah meninggalkan Lebanon atau hancur sama sekali dalam pertempuran akhir yang heroik, tapi berakhir tragis — sebuah kisah tragedi klasik tentang kelompok benar, tapi kecil dan lemah di hadapan kekuatan lalim yang dahsyat, seperti juga nasib petani dan buruh kecil negara-negara berkembang lain di hadapan represi dan penindasan pemerintah masing-masing.

Tetapi, justru dari situasi militer serba tragis itulah akan muncul “hikmah” yang tidak diperhatikan bangsa Palestina sendiri selama ini, minimal dalam retorika militer mereka. Bentuknya adalah sebuah gerakan politik yang akan mampu memanfaatkan situasi bagi berdirinya sebuah negara Palestina di kemudian hari. Sebuah entitas politik, entah itu tetap PLO atau bukan dan kemungkinan besar berlokasi di Kairo atau Tunisia yang akan berpolitik fleksibel dan dewasa.

Bagaimanapun juga kemahiran diplomatik negara-negara Arab kaya minyak semakin hari semakin bertambah. Juga lokasi geopolitis negara-negara Arab di persimpangan tiga benua. Lebih penting lagi, potensi ekonomisnya sebagai daerah industri di kemudian hari serta sebagai pasaran raksasa ekspor Jepang, Eropa Timur dan Barat, serta Amerika Serikat

Semua itu faktor “plus” sebagai penunjang (dan sering sebagai penentu) politis untuk menumbuhkan sebuah negara baru bagi bangsa Palestina. Negara yang harus menerima kenyataan adanya Israel sebagai tetangga, tetapi yang juga berdaulat atas diri sendiri.

Ini bukan perjuangan ringan dan mungkin berlangsung belasan tahun, tetapi bagaimanapun juga memiliki tujuan yang realistis dan dapat diwujudkan. Tidak seperti “ideologi menghancurkan Israel dan melempar orang-orang Yahudi ke laut” yang didengungkan PLO sekarang.

Dalam jangka panjang, Israel harus melepaskan tepian sebelah barat Sungai Jordan, karena hanya sikap itu yang dapat menjamin eksistensinya sendiri sebagai sebuah negara berdaulat. Kekuatan militernya yang “ngetop” saat ini tidak akan banyak berarti di hadapan faktor-faktor strategis lain dalam jangka panjang.

Juga kalau ia mempunyai bom nuklir, itu hanya akan berfungsi penggertak saja. Toh, lama-kelamaan senjata itu akan “tumpul” sendiri dalam kegunaan, karena secara moral tidak mungkin bangsa yang begitu menderita di bawah Nazisme dahulu akan menggunakannya terhadap tetangga. Secara moral tidak mungkin, kecuali untuk mempertahankan eksistensinya dari ancaman yang luar biasa.

Para pemimpin Israel yang buta realitas, seperti Menachem Begin, dan picik pandangan, seperti Ariel Sharon, memang tidak mau menerima keharusan menyerahkan tepian barat Sungai Jordan. Tetapi, di Israel masih cukup banyak calon pengganti yang berpikiran waras, yang akan menggantikan mereka setelah “kebijaksanaan Palestina” yang sekarang menemui kegagalan beberapa waktu lagi.

Di saat itulah entitas politis Palestina akan merebut eksistensi sebagai negara berdaulat dari watak tragis yang menghantui sejarah saat ini.