Haruskah Bani Sadr Dicemooh?

Sumber Foto; https://www.gettyimages.com.au/detail/news-photo/former-president-of-iran-abolhassan-banisadr-leader-of-news-photo/1230423409

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

MASSOUD Rajavi dan Aboulhasan Bani Sadr adalah “dua serangkai” yang kini dicemoohkan orang banyak. Hanya banyak bicara saja dari tempat pengasingan di Paris. Gertak sambal mereka ternyata tidak ada yang terbukti ledakan revolusi kedua di Iran, yang akan menumbangkan rezim Khomeini.

Malah kebalikannya yang terjadi: banyak sekali orang-orang Mujahedin yang dihukum mati. Walaupun pembalasannya juga cukup menakutkan: presiden, jaksa agung, anggota parlemen, semuanya dibantai dengan berbagai cara oleh Mujahedin. Yang semula revolusi, lalu berubah menjadi terorisme. Yang semula perjuangan demokratis, lalu jadi gerilya serampangan. Yang tadinya jelas panggilan ideologisnya, lalu berubah menjadi balas dendam, atau paling tinggi upaya membuat kekacauan.

Memang, kekacauan itu sendiri tidak asing dalam epos yang dinamai “perjuangan” sepanjang sejarah, tetapi senantiasa harus didampingi oleh sebuah proses lain, yaitu proses memenangkan “perjuangan” itu sendiri. Kekacauan yang diikuti oleh penegakan kekuasaan baru, sudah tentu tidak dapat disamakan dengan kekacauan yang diciptakan oleh gerakan Mujahedin di Iran sekarang. Pantaslah Rajavi dan Bani Sadr dicemoohkan orang.

***

Satu-satunya pihak yang dulu secara resmi menggunakan pengacauan sporadis (tetapi dalam frekuensi tinggi) secara bersenjata di Iran, sebelum Shah Iran tumbang, adalah Gerakan Fedayeen-e-Khalq — suatu gerakan marxis-leninis tulen. Mereka tidak memiliki pretensi akan berdamai dengan aspirasi Islam sama sekali. Bahkan, kaum mullah yang kini memerintah dinilai sebagai salah satu saja dari sekian tahap perkembangan kapitalisme.

Setelah menolak penyusunan barisan menurut saluran politik konvensional (non- kekerasan, menutupi identitas diri yang sebenarnya, dan seterusnya), Gerakan Fedayeen itu merumuskan apa yang mereka lukiskan sebagai “tahap pematangan revolusi”. Beberapa pemberontakan sporadis dilancarkan di berbagai penjuru Iran.

Semuanya memang, akhirnya, dihancurkan oleh alat keamanan mendiang Shah Iran. Yang menang, ternyata, justru pemberontakan massal tanpa senjata dari kaum mullah, sedikit banyak dalam kolaborasi dengan Mujahedin.

Sejak itu, Gerakan memberontak dengan bersenjata secara sporadis didiskreditkan di Iran. Suksesnya di Eropa Barat, dulu salah satu model adalah Gerakan Bader-Meinhoff, kini diwakili oleh Brigade Merah, tidak lagi diterapkan. Sebagian karena “kalah isu” dengan pendekatan perlawanan massal yang dianut oleh kaum mullah maupun Mujahedin.

Kancah beralih, menjadi perang demonstrasi yang tidak kalah ramainya, tapi lebih sedikit korbannya. Bahkan, ketika Rajavi pergi melarikan diri ke Prancis dan sederetan penembakan dan pengeboman dilakukan atas pejabat negaranya Khomeini, orang masih melihatnya sebagai bagian kecil saja dari sebuah tindakan massal (mungkin tanpa kekerasan bersenjata) untuk menggulingkan kekuasaan kaum mullah.

Keadaannya sekarang berlainan sama sekali. Tidak terdengar lagi ancaman dengan “demonstrasi massal”, mungkin, karena kalah galak dan militan dari demonstrasi mendukung kaum mullah, yang sewaktu-waktu dapat digerakkan. Peristiwa spektakuler berupa pengeboman dan pembunuhan tampak surut secara drastis, kalau belum dapat dikatakan hilang sama sekali.

Mungkin ini karena adanya “bimbingan profesional” bantuan “petugas keamanan Rusia”. Betapa pun, yang ternyata terjadi (dan menurut berita belakangan ini agak meluas) adalah pertempuran sporadis di daerah-daerah. Dus kembali kepada “strategi pematangan suasana” buatan kaum Fedayeen.

***

Ini menunjukkan perpindahan sangat penting dalam strategi Gerakan Mujahedin. Mustahil gerakan yang begitu rapi menggerakkan massa selama tiga tahun belakangan ini akan tinggal diam saja, alias putus asa sama sekali. Tidak masuk akal ideologi campuran Islam-marxis (itu pun mereka bantah sebagai propaganda Shah Iran dan kaum mullah) sekarang begitu saja kehilangan pamornya.

Kalau benar terjadi perubahan mendasar dalam strategi perjuangan Gerakan Mujahedin ini, sudah tentu harus direvisi pandangan yang mencemooh atas diri Rajavi dan Banisadr di Paris. Sebab, mungkin mereka belajar dari kesalahan semula dan melakukan koreksi total atas perjuangan yang telah berlangsung.

Mengapa? Karena, dengan demikian mereka melakukan pilihan yang paling tepat: adu tahan secara fisik dengan rezim kaum mullah.

Bagaimanapun juga, pemerintah kaum mullah akan kehilangan sebagian daya tahannya kalau Khomeini nanti meninggal dunia. Bagaimanapun juga, kaum mullah dituntut untuk memberikan kesejahteraan, suatu hal yang tidak dapat mereka lakukan dalam suasana kejiwaan mau benar sendiri dan main tolak saja akomodasi sehat kepada kenyataan.

Mereka mungkin akan dihakimi karena pelacuran politiknya dengan Uni Soviet, hanya karena terjepit oleh Irak dan lain-lain kekuatan regional maupun internasional. Mereka terutama akan dihakimi (secara diam-diam dalam hati, tentunya!) karena memberikan ruang gerak bagi kaum komunis Tudeh.

Dengan tekanan militer secara “tembak dan lari” di seantero penjuru negeri, pengolahan kenyataan-kenyataan tidak menyenangkan di atas sebagai isu politik akan memungkinkan Mujahedin mengajukan tantangan politik lebih berat lagi di kemudian hari.

Karena langkanya pihak oposisi yang lain, bukanlah diam-diam masa depan Iran akan tetap menjadi milik gerakan ini, terlepas dari buruknya keadaan mereka kini?