Serba Tunggal

Sumber Foto; https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/01/07/aturan-sosialisasi-setelah-15-bulan-peserta-pemilu-ditetapkan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SEORANG Indonesia berkunjung ke Tunisia sekitar dua tahun yang lalu. Di kota kecil Sidi Youssef, ia berbincang dengan tuan rumahnya. Si orang Tunisia bertanya: “Apakah beda demokrasi negeri Anda dan demokrasi di sini?” Jawabnya: di Tunisia yang memerintah adalah hanya sebuah partai, tetapi dengan tiga buah harian yang saling berlawanan. Sedang di Indonesia, ada tiga organisasi politik, tetapi suara koran hanya satu. Komentar si orang Tunisia: “Wah, sama-sama tidak benar, sama-sama seperti yang berkaki empat. Cuma yang satu kakinya ke atas yang satu lagi berkaki ke bawah!”

Anekdot tersebut kembali terbetik di benak penulis ketika pers kita mulai meributkan sebuah gagasan untuk menciptakan partai tunggal di Indonesia. Padahal, gagasan itu sendiri belum tentu dilemparkan secara serius-mungkin hanya sebagai sindiran untuk menunjuk kepada kenyataan yang berbeda dari apa yang terlihat di luar. Ironinya, ia ditanggapi secara serius! Yang jelas, orang salah menembaknya. Seolah-olah itulah gagasan PNI dulu. Padahal, dahulu ia berasal dari orang-orang Murba yang memelopori Barisan Pendukung Soekarnoisme. Sedangkan PNI, waktu itu, menolaknya keras-keras.

Sebagai hasil ramai-ramai pendapat orang tentang gagasan tersebut, ada yang mengatakan tak ada partai tunggal. Yang ada hanyalah mayoritas tunggal: yakni mayoritas Golkar di DPR, MPR, dan DPRD-DPRD.

Apa artinya? Bisakah, jika demikian, PDI dan PPP menjadi mayoritas dalam kehidupan bernegara kita? Jika tidak, bukankah sama peranan sang pemegang “mayoritas tunggal” dengan peranan sebuah partai tunggal?

Kalau memang demikian pengertiannya bukankah, lalu, sama “sistem tiga orpol” kita dengan sistem partai tunggal Neodustur-nya Habib Bourguiba di Tunisia? Bukankah inti dari sebuah sistem partai tunggal adalah pencegahan kekuasaan berpindah kepada pihak lain, dengan cara apa pun, pantas atau tidak dan konstitutional atau tidak? Oleh siapa?

Baru-baru ini, Menteri Ali Murtopo mengatakan bahwa semua pihak memiliki koran masing-masing. PPP punya harian Pelita, Golkar juga punya medianya sendiri. PDI juga akan “dibuatkan”.

Diizinkan terbit begitu sajakah koran baru itu? Diaturkah ia agar berada di tangan PDI? Kalau benar demikian, lalu oleh siapa? Mungkinkah PDI mengembangkan “kultur politik”-nya sendiri dengan koran baru itu. Ataukah ia hanya akan menambah saja deretan koran dengan suara (dan sering kali pemberitaan) berwajah tunggal yang menjadi inti dari sistem kepartaian tunggal? Dan pemilu pun jadi sebuah “pesta demokrasi tunggal”?