Yang Membuat dan Yang Dicatat

Sumber Foto; https://www.thetimes.co.uk/article/hosni-mubarak-is-denied-state-honours-after-death-at-91-fnksbvdcm

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DUNIA politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering diulang-ulang. Seorang muda berbakat dan memiliki kepemimpinan potensial berhasil meraih kedudukan sebagai anggota Kongres. Atau menjadi senator negara bagian. Kemudian, menanjak menjadi senator nasional Setelah cukup lama, menjadi eksekutif dalam jabatan gubemur negara bagiannya. Pola lokal, nasional, kemudian kembali ke daerah mematangkan kepribadiannya. Hingga, akhirnya, ia dipandang potensial menjadi presiden.

Tetapi, nasib menghendaki lain. Setelah begitu terkenal melalui berbagai jabatan, ia hilang. Tidak ada yang tahu di mana ia. Tidak tahunya ia menjadi wakil presiden – setelah kalah bersaing dengan orang-orang lain yang juga sama- sama potensial.

Cerita di atas menunjukkan kecilnya arti kedudukan wakil presiden — setidak-tidaknya di masa lampau. Garner, di bawah Presiden Roosevelt, adalah contoh sempurna untuk “orang hilang” itu. Sudah menumbuhkan ambisi pribadi yang luar biasa, akhirnya harus menerima nasib menjadi pimpinan sidang di Senat belaka, ditambah kerja membuka upacara dan meresmikan proyek-proyek seluruh negeri. Tidak diajak mengambil keputusan dalam masalah menentukan.

Presiden lebih percaya kepada para pembantunya sendiri. Sering para presiden mengambil seorang lawan sebagai calon wakil presiden untuk kepentingan politiknya sendiri: keseimbangan geografis (Kennedy dari sudut timur laut negeri, Johnson dari barat daya), agama, ataupun etnis (Carter Anglo-Saxon mulus, Mondale dari etnis Skandinavia).

Hosni Mubarak

Sudah untung kalau kematian presiden menampilkan para wakil menjadi presiden. Seperti Truman yang menggantikan Roosevelt yang mati jantung dan Johnson yang menggantikan Kennedy yang tertembak. Atau juga menjadi presiden atas tenaga sendiri setelah berakhirnya masa jabatan “kelas dua”, sepert Richard Nixon (wakil presiden untuk Eisenhower 1953-1961, kemudian presiden terpilih 1969-1975).

Kekesalan mereka umumnya berkisar pada tidak efektifnya jabatan setinggi itu di hadapan kekuasaan tunggal sang presiden di bidang eksekutif Itu hanya mungkin terobati kalau memang jelas ia dipersiapkan untuk mengganti presiden nantinya, seperti Hosni Mubarak sewaktu Sadat masih hidup. Tujuh tahun “magang” dalam jabatan kedua, tetapi jelas dalam pola permagangan yang tidak membuat putus asa pelakunya.

Politikus yang merasa berhak memimpin negara memang sering jengkel harus berbagi kekuasaan dengan orang lain. Ia merasa tidak membuat sejarah. Dalam pandangan politisi seperti ini, sejarah hanya dibuat oleh mereka yang menduduki tempat pertama. Selain itu, semuanya hanya termasuk catatan sejarah. Apalagi kalau presiden sebagai pemegang kedudukan pertama tidak memberi kesempatan sama sekali untuk berperan kepada wakilnya, seperti Wakil Presiden Nance Garner di atas.

Tidak seperti para presiden belakangan ini, yang seakan sengaja memberi hak kepada wakil presiden mereka untuk turut memutuskan kebijaksanaan pemerintah di tingkat nasional. Johnson yang di-“santuni” begitu baik oleh Kennedy (walaupun masih juga tidak puas), Mondale yang dihargai Carter (tidak pernah terdengar keluhannya), dan Bush yang “dimanjakan” Reagan (asal tahu diri, tidak melawan para pembantu terdekatnya, Baker dan Meese).

Bung Tomo

Begitu halusnya perbedaan antara pembuat sejarah dan yang menjadi catatan sejarah saja. Hosni Mubarak tidak tahu apa-apa tentang perundingan perdamaian dengan Israel. Ia tidak pernah ke Israel sekalipun. Seolah kenyataan ini membedakan Mubarak yang menjadi catatan sejarah dari Sadat sang pembuat sejarah. Wakil presiden yang tadinya kalah dalam persaingan kepresidenan dari lawan politiknya, dicatat oleh sejarah sebagai “orang yang juga menjadi calon” (the also ran) — tokoh pelengkap belaka di balik keperkasaan pihak yang menang.

Akan lebih besar kejengkelannya, jika sebelum menjadi wakil presiden ia sendiri telah membuat sejarah. Umpamakan sajalah Bung Tomo almarhum menjadi wakil presiden. Ia, yang begitu berapi-api membakar semangat arek Suroboyo dan, dengan demikian, membuat sejarah dengan cara dan dalam lingkupnya sendiri, sudah tentu akan merasa konyol dalam peranan orang kedua tanpa wewenang yang jelas. Tidak heranlah jika kemudian si bung yang satu ini merasa sudah puas dengan peran kesejarahannya yang begitu pendek di tahun 1945 itu — lalu tidak mengejar peranan lain. Salah-salah bisa frustrasi.

Dari sudut pandangan ini memang menarik mengikuti perkembangan di Mesir sepeninggal Anwar Sadat. Mampukah Mubarak menjadi pembuat sejarah yang

setara dengan Sadat dan Nasser setelah tujuh tahun hanya berfungsi sebagai catatan belaka? Sadat lebih lama lagi: enam belas tahun. Itu pun sering jadi ejekan orang. Baru setelah sang “juara” Nasser, ia memperoleh kesempatan. Peranan itu dilakukannya dengan tidak tanggung-tanggung — akhirnya harus ditebusnya dengan jiwanya sendiri.

Mampu tidaknya Mubarak bergerak dari catatan sejarah menjadi pembuat sejarah, hanya sejarah yang akan menjawabnya. Padahal, di kawasan begitu bergolak, di negara tua Mesir itu, hanya pembuat sejarah yang dapat lama memerintah.