Menilai Kepemimpinan

Foto: Sumber Merdeka.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

BILLY, adik Jimmy Carter, memiliki usaha pompa bensin. Di waktu senggang, di tempat usahanya, ia bersantai-santai dengan beberapa orang teman sambil menikmati bir dan minuman-minuman lain yang menjadi kegemaran mereka. Pendek kata, prototipe “orang biasa” di tingkat terbawah kehidupan politik di AS.

Karenanya, ia memiliki penilaiannya sendiri atas perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kota tempat tinggalnya, ketika abangnya mulai mencoba meraih jabatan kepresidenan beberapa tahun yang lalu.

Di tahun 1976, di kala sedang santer-santernya kampanye kepresidenan Carter berlangsung, Billy ditanyai para wartawan tentang penilaiannya atas keadaan keluarganya. Jawabnya: “Ibuku sudah lebih tujuh puluh tahun umurnya ketika ia mendaftarkan diri masuk Korps Perdamaian sebagai juru rawat di India untuk dua tahun. Kakak wanitaku senang naik sepeda ke mana-mana, sampai keluar negara bagian yang luas ini. Kakak wanita satu lagi menjadi pengabar Injil, padahal tadinya ia ratu kecantikan. Abang ingin jadi presiden. Nah, Anda bisa lihat, akulah satu-satunya orang yang normal dalam keluarga ini.”

Betapa kontrasnya penilaian ini, kendati diucapkan secara bermain-main, dengan penilaian mendiang Presiden John F. Kennedy. Kalau Billy Carter melihat jabatan politis tertinggi itu sebagai wadah bagi orang yang tidak normal, Kennedy justru menganggapnya sebagai pekerjaan termulia, karena politik itu sendiri adalah kerja mulia dalam pandangannya.

Dari contoh kecil ini saja jelas tampak betapa aneka ragamnya penilaian atas profesi kepemimpinan negara di kalangan yang berbeda-beda. Walaupun sedikit banyak ada pengaruhnya atas popularitas seorang pemimpin nasional yang pada gilirannya mempengaruhi juga efektivitas kepemimpinannya, penilaian berbeda-beda itu merupakan hal yang perlu diberi tempat dalam kehidupan demokrasi yang telah matang.

Pengaruh negatif dari perbedaan penilaian itu tidak sampai mengganggu stabilitas nasional, karena ia dipisahkan dari proses pengambilan keputusan di tingkat tertinggi. Perimbangan wewenang antara pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan, yang diimbangi oleh wewenang menguji kebenarannya dengan UUD oleh pihak peradilan, merupakan alat kolektif untuk pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Pemisahan antara proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dari proses penilaian masyarakat atas kepemimpinan yang ada, justru semakin memantapkan stabilitas politik. Orang lalu tahu, walau betapa buruk sekalipun penilaian mereka atas jalannya kepemimpinan nasional, proses pengambilan keputusan tidak hanya bergantung kepada kehendak sang pemimpin secara perseorangan. Keputusan diambil secara kolektif sehingga mereka boleh merasa aman dari kemungkinan “penyesatan” oleh sang pemimpin.

Kadar kerelaan masyarakat dalam menerima keputusan yang diambil, lalu, menjadi besar dengan adanya kesadaran seperti itu. Kalaupun ada kesalahan mencolok dari sang pemimpin nasional, masyarakat tahu akan diambil tindakan korektif oleh unsur-unsur lain dalam pemerintahan nasional yang bersifat kolektif itu.

Kasus pengunduran diri Richard M. Nixon dari kepresidenan AS karena skandal Watergate adalah bukti dari adanya koreksi kolektif itu. Demikian pula pengunduran diri Anthony Eden dari jabatan perdana menteri Inggris, karena kegagalan politik luar negerinya semasa menyerbu Mesir dalam tahun 1956. Juga kekalahan Indira Gandhi dalam pemilu terakhir di India satu setengah tahun yang lalu, karena ia menginjak-injak demokrasi dengan menggunakan UU Darurat Perang.

Di negeri-negeri yang belum matang demokrasinya, masalah penilaian atas kepemimpinan nasional masih terlalu dikaitkan pada kemampuan sang pemimpin untuk mengambil keputusan yang diperlukan. Proses pengambilan keputusan masih belum memiliki bentuk menetap, unsur-unsur yang mempengaruhinya masih senantiasa berubah-ubah. Karenanya, setiap penilaian negatif yang dilontarkan secara terbuka atas kepemimpinannya ditakutkan akan mengganggu posisi sang pemimpin untuk menghadapi kesemua unsur itu.

Tetapi, itu sebenarnya justru bisa membuat keadaan semakin rawan, semakin menjauhkan kehidupan pemerintahan dari stabilitas politik yang didambakan. Proses pengambilan keputusan yang belum mantap memerlukan ditutupnya kemungkinan membuat penilaian atas kebijaksanaan yang diambil oleh kepemimpinan nasional. Sebaliknya, tertutupnya pintu bagi penilaian itu lalu menghambat tumbuhnya kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan nasional. Hambatan itu mengakibatkan sulitnya dicapai stabilitas nasional yang sehat, yang tercermin dalam partisipasi masyarakat yang tulus dan jujur dalam melaksanakan keputusan yang diambil.

Dengan demikian, terjadilah lingkaran setan yang tidak berkesudahan antara penilaian masyarakat dan kebutuhan akan pemantapan situasi dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Lingkaran setan itu tidak menguntungkan bagi proses pendewasaan kehidupan politik suatu bangsa. Ia, bahkan, dapat membuat keadaan yang sudah rawan menjadi semakin parah. Karenanya, bagaimanapun juga, lingkaran setan itu harus dipatahkan, kalau perlu dengan mengundang risiko terganggunya stabilitas politik untuk sementara waktu. Risiko seperti itu sudah sepatutnya diambil, karena ketakutan untuk menempuhnya justru akan membuat keadaan sangat parah di kemudian hari. Alternatif bagi pengambilan risiko seperti itu adalah bahaya bagi keselamatan dan keutuhan bangsa di kemudian hari.

Sebagai bangsa yang sedang berkembang, kita juga sedang menghadapi masalah seperti itu, Membuka pintu bagi penilaian secara terbuka akan semakin mendewasakan kehidupan politik dan pemerintahan kita, jika dilakukan dengan hati-hati secara bertahap. Sebaliknya, membiarkan pintu penilaian tetap tertutup hanyalah akan menunda belaka tibanya kemelut.