Kwitang! Kwitang!

Sumber Foto; https://www.dkliknews.com/humaniora/pr-3484269784/kisah-habib-ali-kwitang-menegur-saat-lambang-nu-diletakkan-sembarangan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KONDEKTUR bis kota memang paling tahu selera orang. Berebut calon penumpang, mereka gunakan siasat yang kreatif. PPD lin 14A, misalnya. punya “variabel” tetap dan tidak tetapnya sendiri. Variabel tetap adalah “Banteng, Banteng, Senen, Senen.” Variabel tidak tetapnya yang justru menarik, kalau ia berangkat dari terminal Blok M di Kebayoran Baru.

Di hari-hari Minggu, variabel ini adalah teriakan “Kwitang! Kwitang!” Dan, dengan itu, berubahlah corak penumpang bis kota lin 14A itu.

Mereka memakai baju serba putih dengan “mahkota” peci haji. Penumpang wanitanya pakai tutup kepala bulat mirip bath caps yang tersedia di hotel-hotel besar dan kain kebaya “warna pengajian”.

Maklum, mereka memang menuju ke pengajian umum di Kwitang, tempat para habib klan Alhabsyi tinggal. Ribuan orang itu berhormat, meneruskan tradisi masa lampau, kepada almarhum Habib Ali Kwitang, dengan berhormat kepada putra beliau, Habib Muhammad.

Tajamnya penyiasatan para kondektur dan kenek atas perubahan pemakai bis kota di hari Minggu ini menunjukkan dengan jelas betapa kompleksnya penghayatan agama bila diletakkan dalam kerangka kemasyarakatan.

Sesuatu yang begitu kudus dan syahdu kalau dilihat dari pengalaman pribadi sang “pemeluk teguh” (kalau meminjam istilah Chairil Anwar), ternyata dengan proses kualifikasi berubah menjadi sesuatu yang berdimensi sangat duniawi: keinginan para pemeluk teguh itu untuk mencari kedamaian tuntas dimanfaatkan demi keuntungan mereka yang bisa menawarkan jasa dan barang untuk kebutuh an para pemeluk teguh itu.

Demikianlah yang ingin memperoleh berkah haji, pulang jadi haji mabrur, diincar dengan logistik perjalanan ke tanah suci Mekah pulang pergi, jasa-jasa akomodasi selama di sana, dan peluang memperoleh konsumsi cukup di tanah orang. Bahkan, yang tidak esensial ditawarkan juga: tasbih (rosario, tikar sembahyang dari karpet, peci haji lengkap dengan sorbannya, minyak wangi khas Arab, gambar bangunan suci Masjidil Haram dan Masjid Nabi di Madinah, dan lain-lain.

Belum cukup dengan penawaran untuk orang awam itu, ditawarkan pula kitab-kitab agama dari yang paling dasar hingga yang paling membingungkan orang pembahasannya. Itu semua ditambah dengan beberapa tawaran yang semata-mata bersifat duniawi dan tak ada hubungannya dengan perjalanan haji: obat kuat, tangkur, kadal Mesir, dan “minyak kuda”. Zaman sekarang ditambah alat-alat elektronika.

Dalam keadaan seperti itu, sebagian wilayah agama lalu berada di bawah pengayoman wilayah ekonomi, seperti terlihat dalam kasus bis kota PPD yang di hari Minggu pagi menjadi bagian dari “industri angkutan keagamaan”.

Penyiapan tempat pertemuan dan pengajian, walaupun dalam frekuensi sangat kecil tetapi meliputi volume pembiayaan sangat besar, jatuh di bawah dukungan industri bangunan “keagamaan”. Demikianlah seterusnya. Agama lalu bertali-temali dengan sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat.

Dalam keadaan demikian, agama yang semula berfungsi sebagai ajaran, lalu berfungsi sebagai institusi atau kelembagaan. Kepentingan lembaga keagamaan dengan mudah lalu disamakan dengan kepentingan ajaran agama.

Dan bermulalah sebuah proses penduniawian kehidupan beragama dalam bentuknya yang paling konkret: agama sama dengan acara-acara tertentu. Akibatnya, bukan ajaran agamanya yang disucikan, diagungkan, dan disyahdukan, tetapi upacara-upacara yang mendukungnya itulah.

Syukurlah, ternyata kecenderungan seperti itu tidak mutlak ada di mana-mana. Ternyata, penghayatan masyarakat juga berbeda dari satu ke lain tempat, dari satu ke lain lapisan masyarakat, dan dari satu ke lain waktu.

Di pedusunan Jawa, misalnya, apalagi di pesantrennya, Maulid Nabi diperingati dengan pergelaran sederhana, membaca Barzanji, Dziba, Saman, Syamsul Anam, dan sebagainya. Partisipasi langsung warga, yang bergantian membacakan sajak-sajak pujaan kepada Nabi Muhammad itu dalam gaya dan lagu masing-masing, sering dengan improvisasi sekenanya saja, melahirkan spontanitas suasana “bermaulid” yang menyegarkan.

Keagungan suatu ajaran atau kejadian bersejarah dalam kehidupan agama, dengan demikian, dapat “ditradisikan” dalam bentuk lugas dan spontan, seperti dalam pembacaan Maulid di desa-desa dan juga dengan upacara anggun dan formal di tingkat tertinggi pemerintahan. Masalah utamanya, eksploitasi dan manipulasi kejadian bersejarah atau ajaran agama itu oleh sektor-sektor lain dalam kehidupan masyarakat akan sangat berkurang jika penghayatan agama itu lebih ditekankan pada spontanitas.

Ternyata, cukup jauh juga implikasi teriakan kendektur bis PPD yang di hari Minggu beralih menjadi “Kwitang! Kwitang!”.