Agamawan dan Pembangunan Desa

Foto: lpmArena https://lpmarena.com/2016/03/28/marxisme-bukan-lagi-hantu-menolak-sikap-anti-humanisme-para-agamawan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

WALAUPUN hampir semua orang mengutarakan pengakuan lahiriyah akan adanya peranan bagi agama dalam pembangunan kita, ternyata masih cukup besar juga keraguan yang terkandung dalam hati: apakah memang benar demikian halnya?

Skeptisisme itu muncul karena beberapa sebab. Ada yang karena sulitnya pembuktian secara ilmiah akan peranan itu, walaupun diakui juga bahwa bagaimana pun juga agama tentu mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk dalam masa di mana mereka sedang membangun. Kesulitannya adalah bagaimana mengenal agama sebagai pembentuk sikap hidup yang membangun itu sendiri. Kesulitan ini akhirnya menumbuhkan keragu-raguan akan adanya hubungan langsung antara agama dan pembangunan.

Adakalanya keraguan timbul dari sikap yang diperlihatkan oleh pemuka-pemuka agama dan para pengikut mereka, yang sedikit sekali menampakkan pemahaman yang nyata dan pengertian yang mendalam dan hakekat proses membangun. Apa yang mereka ributkan, apa yang mereka canangkan dan apa yang menjadi perhatian utama mereka hampir selamanya tidak memiliki kaitan dengan persoalan-persoalan pokok pembangunan. Kalaupun ada kaitannya dengan pembangunan, umumnya hanya dengan soal-soal sampingan, dan terutama dengan ekses-ekses moral yang dibawakan oleh proses membangun itu sendiri.

Perlakuan Ganjil

Tidak heranlah jika dari skeptisisme yang tidak pernah terucapkan itu lalu timbul perlakuan yang ganjil terhadap agama: diakui kehadirannya, tetapi tidak dibutuhkan dalam kenyataannya. Dari sikap ini tersusunlah strategi ganda untuk meminta legitimasi dari agama di mana dapat diperoleh, dan tidak menghiraukan pendapat agama jika legitimasi itu tidak mungkin diperoleh.

Contoh paling jelas dalam hal ini adalah pelaksanaan KB. Rumusan KB sebagai usaha penyejahteraan bangsa diminta legitimasi dari agama, tetapi pelaksanaan bagian-bagian yang menyimpang dari ajaran agama dalam program KB tetap berlangsung juga. Di samping firman-firman suci yang dipampangkan di perempatan-perempatan jalan untuk menunjukkan perkenan agama kepada KB, segala macam cara untuk memasang spiral dengan paksaan atau tidak, secara halus atau kasar, tetap dipakai juga.

Kepada para agamawan ditunjukkan wajah ketundukan, kepada para kolega yang meninjau dari luar negeri diperagakan angka 90% akseptor di kabupaten Ponorogo yang telah berhasil di”spiral”kan. Si peninjau menjadi kagum akan keberhasilan strategi berganda itu, dan terungkaplah kekaguman itu dalam komentar: “Anda ternyata telah berhasil by passing para agamawan kolot, sedang Indira Gandhi harus membayar mahal untuk itu di India.”

Sebenarnya para agamawan sendiri dapat memperjelas arti agama bagi pembangunan kepada rakyat, jika mereka mau memperhatikan sungguh-sungguh persoalan-persoalan pokok yang dihadapi oleh pembangunan itu sendiri. Perhatian itu sudah tentu harus dimulai dari pemahaman yang benar akan keadaan yang dialami oleh mayoritas bangsa dewasa ini.

Para agamawan harus mengerti bahwa laju proses pemiskinan berlangsung, karena kesenjangan yang semakin hari semakin kentara antara yang kaya dan yang miskin. Kontras menyolok antara pola konsumsi mewah di tingkatan atas dan ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok di tingkatan bawah yang luas semakin hari semakin nyata saja.

Belum lagi perbedaan pendapat tentang strategi pemenuhannya, alokasi anggaran yang disediakan untuk masing-masing kebutuhan dan seterusnya. Sementara itu arus penumpukan sumber-sumber ekonomis utama di tangan sejumlah kecil orang akan berakibat bagi kehidupan masyarakat yang semakm pincang.

Pengertian akan keadaan di atas jika dihayati dengan sebenar-benarnya oleh para agamawan, akan membawa mereka kepada panggilan moral yang bersifat luas dan dinamis, yang akan membawakan pula dimensi-dimensi baru ke dalam tugas mereka dalam kehidupan masyarakat.

Untuk agamawan yang hidup di kota-kota besar, dimensi-dimensi baru itu tidak akan disinggung, karena tidak termasuk kandungan tulisan ini. Bagi para agamawan yang tinggal dan berkecimpung dalam kehidupan desa, dimensi-dimensi baru itu akan berbentuk kerja-kerja berikut:

  • Mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri apa saja yang jadi kebutuhan pokok mereka
  • menyadarkan masyarakat secara keseluruhan akan bahaya latent yang terkandung dalam proses kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
  • mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk menghentikan proses pemusatan penguasaan sumber-sumber ekonomi utama yang berupa modal, tanah dan ketrampilan teknis di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat saja. Proses itu justru harus dibalikkan, karena ia bertentangan dengan tujuan perataan kemakmuran, keadilan dan perikemanusiaan. Lagi pula, proses pemusatan sumber-sumber ekonomis utama inilah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan dalam pola kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi penyebab pula dari proses pemiskinan mayoritas bangsa.

Terserah kepada para agamawan, mampukah mereka merelevansikan arti agama mereka bagi pembangunan di desa dengan cara membawa dimensi-dimensi baru di atas?