Khomeini dan Beberapa Pertanyaan

Foto Diambil Dari: news.detik.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

JARANG sejarah memunculkan pribadi seperti yang dimiliki Ayatullah Ruhollah Khomeini. Seorang tua renta menjelang usia 82 tahun (menurut kalender takwim hijriah) yang memberikan kesan yang bertentangan satu sama lain sekaligus. Perwujudan kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsanya; perlambang teokrasi yang menakutkan dengan prospek tak manusiawinya bagi bangsa-bangsa lain; simbol keberanian moral untuk menegakkan keadilan sosial secara tuntas di muka bumi bagi orang lain lagi; penggambaran seraut wajah raja filosof, penegak sebuah “kerajaan Tuhan (civitas Dei, untuk meminjam istilah St. Agustinus) yang mengambil inspirasinya dari Republik Plato.

Begitu berbeda gambaran yang diberikannya, sehingga, mau tak mau, kita lalu mempertanyakan siapakah Khomeini sebenarnya? Seperti kelain-lainannya kesan yang ditimbulkan seorang tua renta lain sebelum kematiannya beberapa tahun yang lalu, yaitu Mao Tse-dong (Mao Zedong) yang menyandang bermacam-macam predikat: pejuang revolusioner yang berwatak romantis tiran berdarah dingin yang membiarkan jutaan orang dibunuhi atas nama revolusi populis sejati yang menakuti pelembagaan revolusi dalam struktur yang akan menindas rakyat juga dan politikus yang tidak punya rasa setia kawan kepada teman-teman seperjuangan.

Berbeda dari “tokoh-tokoh polos” dalam sejarah, seperti George Washington dan Gandhi, kebesaran Khomeini dan Mao justru terletak pada kesimpangsiuran persepsi yang mereka timbulkan dalam benak umat manusia.

Bagaimana mungkin pemimpin agama yang begitu gigih melawan despotisme monarki Pahlevi, lalu, dengan mudah mengutuk musik? Bukankah ini justru despotisme moral yang lebih dahsyat lagi bagi masyarakat modern yang sudah menjadi hedonistis? Dapatkah dibenarkan perkenan Khomeini bagi pelaksanaan pengadilan perkara yang berat-berat secara sumir belaka yang, secara hampir seragam, selalu berkesudahan pada hukuman mati tanpa kesempatan cukup untuk membela diri?

“Soal-soal Kecil”

Bagaimana pula harus dipahami kontradiksi antara penghargaannya yang begitu tulus akan derajat manusia dan pendapatnya yang membatasi ruang bergerak wanita? Dapatkah diterima akal yang sehat kesibukan Khomeini dengan “soal-soal kecil seperti siaran televisi dan pakaian wanita, kalau dilihat betapa gigihnya ia mempertaruhkan jiwa-raga untuk melestarikan nilai-nilai yang paling mendasar, seperti kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan hak?

Begitu bersimpang-siumya gambaran tentang agamawan yang disanjung dan sekaligus, ditakuti ini, sehingga, sebenarnya, pertanyaan kita lebih tepat berbunyi dapatkah kita mengetahui siapa Khomeini yang sebenarnya?

Kesulitan memahami hakikat diri pejuang tua ini lebih diperbesar lagi dengan ketidakjelasan suasana pemerintahan di Iran setelah tumbangnya pemerintahan Shahpur Bakhtiar dan terbuangnya Shah Mohammad Reza Pahlevi dalam pengembaraan yang hingga kini belum jelas kesudahannya. Benarkah PM Mehdi Bazargan yang mengendalikan kehidupan bernegara sehari-harinya? Kalau tidak dan kalau Khomeini yang memerintah secara nyata, bagaimanakah perbedaan kebijakan antara mereka diselesaikan?

Kalau bukan kedua-duanya, lalu siapakah pihak ketiga yang melaksanakan pemerintahan itu? Mengapakah kebijakan yang dibuat Bazargan hari ini dengan mudah saja lalu dibatalkan oleh Khomeini keesokan harinya? Mengapakah seakan-akan ada pemerintahan bayangan yang lebih berkuasa dari kabinet yang, toh, diangkat sendiri oleh Khomeini?

Lebih membingungkan lagi adalah munculnya kelompok-kelompok yang tidak berpretensi turut memerintah, tetapi justru mampu melumpuhkan pemerintahan Kelompok Furghan (baca: Furqan, yang mampu membedakan kebenaran dari kesesatan) ternyata berhasil meneror tokoh-tokoh yang menjadi tangan kanan Khomeini sendiri dengan serangkaian penembakan dan pembunuhan yang mereka lakukan. Belum lagi perkelahian antara barisan manusia yang menentang hak-hak wanita (sebagaimana dipahami di dunia Barat) dan yang memperjuankannya, yang sering berkesudahan dengan perkelahian di jalan-jalan raya.

Dapat ditambahkan lagi belum jelasnya kebijakan yang menyangkut kehidupan perekonomian. Bunga uang dilarang, tetapi belum keluar pemecahan bagi pembiayaan lembaga perbankan dan penyediaan laba bagi pemegang sahamnya. Perusahaan besar-besar dinasionalisasi, tetapi belum ada pedoman tentang peranan modal asing di Iran nantinya. Koperasi dikumandangkan, tetapi belum jelas pengaturannya dan siapa pengelolanya nanti (para mullahkah atau manajer yang memiliki kompetensi berusaha?).

Dewa Penolong Atau Setan

Tetapi, sebenarnya tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami seluruh rangkaian kejadian yang bersimpangsiur itu. Yaitu dari sudut pengakuan dan pengenalan atas identitas pribadi Khomeini dan atas peranannya dalam kehidupan bangsa Iran sekarang dan di masa depan. Ini yang sering kali dilupakan, karena kita selalu memandang seseorang hanya dari satu sisi pandangan saja.

Mereka yang mendukung pandangan keagamaan Khomeini, termasuk ke soal-soal yang paling “kecil” sekalipun, memandangnya sebagai dewa penolong yang tidak mungkin berbuat kesalahan. Semua yang dikatakan dan diperbuatnya mutlak benar. Sebaliknya, mereka yang tidak menyetujui sistem nilai yang dianutnya menganggap Khomeini sebagai setan jahat yang membawa bangsa Iran ke zaman kegelapan. Cita-cita luhur tentang kemerdekaan dan kebebasan yang diperjuangkannya secara gigih selama berpuluh-puluh tahun, lalu, tidak diperhitungkan lagi. Mana mungkin ada kebaikan dalam diri setan?

Kita harus membedakan dengan jelas kedua sisi pandangan Khomeini ini, kalau kita ingin memahami hakikat dirinya. Ia membawakan moralitas yang berdimensi sosial yang paling mendasar, moralitas yang berwatak politis, seperti marxisme juga merupakan moralitas yang berpolitik. Tepatlah kalau Michel Foucault menamai perkembangan protes keagamaan yang berwajah politik itu dengan sebutan “spiritualite politique“, kerohanian berdimensi politik, seperti yang dikemukakannya dalam ulasan atas kematian salah seorang pejuang dini melawan Shah Iran, Dr. Ali Shariati, korban pembunuhan oleh Dinas Rahasia SAVAK dalam pembuangan di London.

Tetapi, sebagai seorang agamawan yang terlibat dengan kesadaran untuk menyelamatkan kehidupan ukhrawi manusia dari kerusakan moral, Khomeini memiliki pandangan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan lingkungan kehidupan bernegara di alam modern ini, jika yang dimaksud dengan itu kehidupan bernegara yang ditularkan oleh kebudayaan Barat dengan kenisbian moralitasnya yang dijalin dengan penguasaan hidup oleh teknologi dan produk-produk yang ditawarkannya.

Dalam jangka panjang, perkembangan di Iran akan ditentukan oleh kesanggupan Khomeini (sudah tentu atas dorongan orang-orang lain) untuk mencari kejelasan dalam keseimbangan antara keyakinan dasar yang diperjuangkannya sejak dahulu dan kepercayaan keagamaannya yang sarat dengan pengaturan moralitas individual secara kaku dan menyeluruh.

Terlalu Pagi

Perkembangan di sana juga akan sangat ditentukan oleh kesediaan bangsa Iran mengikuti upaya yang dilakukannya untuk melestarikan nilai-nilai dasar yang selama ini diperjuangkannya dan meninggalkannya jika upaya yang dilakukannya justru cenderung mengurangi nilai-nilai dasar itu dengan meletakkan kaidah-kaidah moral dalam dosis yang berlebih-lebihan dalam kehidupan bangsa Iran secara perorangan.

Dalam proses bagaimana Khomeini memainkan peranan sejarahnya dan bagaimana bangsa Iran menanggapi peranan itulah terletak arti perkembangan keadaan di Iran bagi dunia. Akan diberikan vonis kutukan dan celaan oleh dunia, jika apa yang dilakukan Khomeini justru menceburkan bangsa Iran dalam kemelut berdarah lebih jauh. Tetapi, sebaliknya, dunia akan menghormati Khomeini jika ia mampu membawa kehidupan bangsa Iran ke gerbang kemerdekaan yang langgeng dan sebenarnya, di mana semua warga negara secara nyata bebas mengembangkan kehidupan yang mereka ingini. Tidak hanya itu, penghormatan akan dialamatkan juga kepada Islam sebagai medium ideologis yang dimiliki Khomeini untuk membawa bangsanya kepada kesejahteraan yang dapat dirasakan secara nyata.

Bukankah terlalu tergesa-gesa bagi kita untuk merasa ketakutan dengan perkembangan di Iran atau, sebaliknya, untuk cepat-cepat bergembira? Lebih jauh lagi, bukankah terlalu pagi bagi kita untuk mengukur Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan hanya dari perkembangan yang ditimbulkan oleh Khomeini?