Maka Dibagilah Fungsi Tandingan

Sumber foto; https://lebanon.shafaqna.com/news/248232/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

LEBANON saat ini adalah bangsa, bukan hanya negara, yang terpecah belah dalam pengelompokan kecil-kecil, bagai remukan kaca yang tidak beraturan dari sebuah cermin yang dahulunya indah. Terlebih-lebih bagi negara lain yang berwajah bopeng. Ia adalah satu-satunya negara Arab demokratis, dalam artian perwakilan rakyat penuh kekuasaan dan kemerdekaan bicara dijamin penuh. Kehidupan mencerminkan pluralitas dalam artian sebenarnya. Kosmopolitanisme menjadi orientasi.

Ternyata, semuanya hancur berantakan setelah perang saudara (atau perang bukan-saudara) berkepanjangan yang belum selesai hingga saat ini. Banyak nyawa terbantai. Negara pariwisata yang menyenangkan berubah menjadi kebencian yang tidak mau berdamai dengan kenyataan. Keramahan berganti menjadi permusuhan, termasuk kepada orang asing yang tidak tahu-menahu. Yang terlebih mengibakan hati adalah punahnya semua keceriaan dan harapan masa depan gemilang yang menjiwai kehidupan manusia Lebanon sepanjang tiga dasawarsa.

Dan, ternyata, tidak hanya Lebanon yang terkena akibat kehancurannya Prospek perdamaian di Timur Tengah menjadi lebih diperkecil, padahal tadinya memang juga tidak terlalu besar. Kreativitas Arab secara keseluruhan mengalami pukulan dahsyat: Lebanon adalah tempat penyaluran bakat dan kebolehan mereka di hampir semua bidang pemikiran, kesenian, dan budaya.

Hilanglah kepeloporan yang didambakan dari Lebanon oleh bangsa Arab keseluruhan. Nyanyian Fairuz yang melankolis tetapi dengan lancar mengikut Dabkah, tarian rakyat yang berusia panjang, kini berubah menjadi lagu kemurungan hidup. Sastra Lebanon yang penuh semangat mencoba segala hal baru, dari realisme-sosialnya kaum komunis hingga novel-novel surealistis yang tidak dimengerti kecuali oleh Tuhan (karena penulisnya sendiri juga tidak mengerti), kini menjadi ungkapan duka.

Memang, di antara semua puing itu kini dicoba oleh bangsa Lebanon (yang masih waras, tentunya) untuk membangun kembali kohesi nasional mereka dan fungsionalisasi pemerintahan. Sedikit demi sedikit. Titik-titik pertama mulai terlihat untuk menyusun sebuah aturan permainan baru di semua bidang di antara sekian banyak suku, kelompok agama, dan satuan budaya.

Kewibawaan pemerintah Lebanon mulai ditegakkan kembali untuk menyongsong perombakan total dalam sistem pengadilan yang selama ini memang terlalu berpihak kepada “kelas-kelas maju” atas kerugian “kelas-kelas tertinggal” dalam percaturan modernisasi.

Walau demikian, ada sebuah fungsi yang tidak akan dapat diraih kembali, yaitu fungsi Lebanon selaku tandingan Mesir. Selama tiga dasawarsa lebih peranan sebenarnya yang paling utama dari Lebanon adalah menjadi tandingan. Bukan karena ia kuat: fungsi itu justru muncul karena kekecilan dan kelemahan politis-militer Lebanon sendiri. Tandingan yang dimaksud adalah sebagai titik temu (rallying point) negara-negara Arab lain yang takut kepada dominasi Mesir.

Di zaman pemerintahan Nasser, dengan politik dalam dan luar negeri yang sosialistis, Lebanon adalah eksponen sikap nonsosialistis dalam segala hal. Dengan demikian, ia didukung negara-negara Arab lain yang takut pada sosialisme Pan-Arabis Nasser, terutama negara-negara monarki. Nasser main hantam saja ekonomi kapitalistis, main babat perusahaan asing dengan jalan nasionalisasi dan boikot. Lebanon justru menjadi surga usaha transnasional yang kebanyakan datang dari Barat. Nasser mengumandangkan kolektivisme sosial dalam hampir semua aspek hidup, Lebanon justru penjunjung tinggi individualisme, seperti tercermin dalam produk budaya dan seninya.

Mesir, lagi, senantiasa menjadi ancaman bagi sistem ekonomi mana pun di kalangan negara-negara Arab, karena fungsinya sebagai pasar masif dan penyedia bahan mentah pertanian. Lebanon justru menjadi pusat sistem perbankan regional untuk mengkoordinasi upaya mengurangi akibat negatif dari potensi dominatif Mesir. Di bidang politik, arogansi Mesir sebagai “negara besar di tengah negara-negara kecil” ditandingi oleh fungsi sebagai pengimbang yang sanggup menyusun koalisi untuk menetralkan hegemoni politik Mesir.

Fungsi tandingan itulah yang kini telah hilang — mungkin selama-lamanya. Beberapa tahun terakhir ini belum begitu terasa perlunya fungsi tersebut. Karena Sadat membuat Mesir lemah dan terisolasi dari perkembangan umum kehidupan dunia Arab. Tetapi, munculnya Husni Mubarak ada kemungkinan akan membawa kepada “pernyataan diri kembali” bangsa Mesir. Bagaimanapun, ia harus menyantuni aspirasi politis Pan-Arabis, sebagai harga yang harus dibayar untuk kolaborasi golongan Nasseris nanti. Juga inisiatif perdagangan yang agresif untuk menyelesaikan program ekonomi yang dijadikannya tolok ukur keberhasilan kepemimpinannya sendiri.

Untuk menghadapi kemungkinan seperti itulah negara-negara Arab mempersiapkan sebuah “pola tandingan” baru secara diam-diam. Fungsi “juru bicara Arab” di bidang politik, umpamanya, kini dipindahkan dari Lebanon ke Tunisia, seperti terbukti dengan penonjolan peranan antar-Arab dari negara kecil itu.

Fungsi Lebanon sebagai pusat jaringan finansial Arab kini bergeser ke Timur, bermukim di negara-negara Teluk Persia.

Bank-bank antar-Arab dan internasional bermunculan di “kota-kota negara”, seperti Abu Dhabi, Kuwait, Bahrain. Peranan tandingan kultural mulai direbut Irak. Bahkan, ada kemungkinan kalau mampu menggabungkan fungsi tandingan politik dan kultural dalam sebuah pola integral yang kokoh, Irak akan mampu menjadi “negara besar di tengah negara-negara kecil” dunia Arab, seperti Mesir dulu.

Dengan kemampuan finansial Irak yang begitu besar sebagai hasil petrodolar, walau jaringan finansialnya lebih berwatak nasional daripada regional, mau tidak mau akan tertunjang fungsi tandingan politis-kultural tersebut. Pertanyaan pokok yang terlebih dahulu harus dijawab: mampukah Irak menyelesaikan perangnya dengan Iran sekarang melalui sebuah kemenangan militer atau penyelesaian terhormat?

Jelaslah, fungsi Lebanon sebagai pembanding potensi dominatif Mesir telah dibagi-bagi. Walau belum mati penuh dan kejang, Lebanon ternyata sudah diperlakukan sebagai bangkai oleh negara-negara Arab lain. Sayang!