Pada Usia Sepuluh Tahun

Foto Diambil Dari; Google.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu yang lalu, sewaktu sekian halaman majalah ini ’dihitamkan’, segera orang menjadi ribut. Sehingga akhirnya muncul sebuah ‘kuis imajiner’ sebagai berikut:

T: Mengapakah TEMPO dibuat hitam seperti itu?

J: Karena reportase soal tukang santet dan bromocorah di Jember

T: Siapakah yang memerintahkan penghitaman itu?

J: Tukang santet dan bromocorah  Jakarta

Reaksi tersebut menunjukkan status ‘diterima’ masyarakat yang sudah berhasil diraih TEMPO dalam umur dasawarsanya yang pertama. Dan sesuai usianya yang pertama itu, penerimaan atas TEMPO berhasil diraih dengan tidak meninggalkan sifat kemudaannya, bahkan mungkin keremajaannya (hebat juga TEMPO, memasuki usia sebelas tahun sudah berhasil menjadi Sweet teeneger. Siapakah yang akan memacarinya?). Sudah tentu ia hanya dapat dicapai dengan sejauh mungkin meninggalkan sifat kekanak-kanakan, kecuali dalam spontanitas dan kepolosan sikapnya.

Penerimaan atas dirinya itu telah membawakan ekspektasinya sendiri atas TEMPO. Bayangkan bagaimana pedasnya kritik ke alamat TEMPO, kalau lebih separoh halamannya diisi iklan. Apalagi kalau jenis penjajaan benda super luks seperti arloji Philipe-Patek (biarlah dimuat majalah wanita ‘ngoyo’ saja seperti iklan tour ke Inggris dan Hongkong hanya untuk belajar beberapa jenis masakan belaka!) Untung TEMPO masih memuat iklan penerbit ‘samawi’ Bulan  Bintang (kapan dimuat iklan Tabib Fakhruddin dengan semboyan bubuk makan kayunya?)

Anggapan dan ekspekasi TEMPO dibaca luas oleh berbagai lapisan masyarakat: dan karenanya patut dijadikan alat komunikasi utama, dapat dilihat pada salah satu fungsinya sekarang: vade mecum resep jamu tradisional untuk menyembuhkan gondong dan eksim menahun. Akhir-akhir ini juga menjadi terminal orang kehilangan keluarga atau keputusan hubungan dengan orang yang dicinta di tanah asal. (Kapankah ia menjadi tempat laporan sadal hilang di masjid, atau KTP yang disambar copet?).

Dari itu semua, sebuah kenyataan dapat ditarik sebagai ‘benang halus’ yang mewarnai TEMPO selama ini: sikap terbuka untuk mengemukakan kritik positif, sambil memperlakukan pihak ‘terkritik’ (mengikuti bahasa ‘penatar dan petatar’) dengan baik. Kritik yang tidak mencerminkan kepahitan sikap, kecuali pertanyaan-pertanyaan pahit yang sering diajukan kepada semua ideologi yang sudah mapan oleh rubrik Catatan Pinggir. Sikap keterbukaan yang lembut dalam kekuatan dan kebenarannya, tetapi juga yang kuat dalam kelembutan dan (terkadang) kesalahannya.

Secara keseluruhan, sifat TEMPO boleh dikata tercakup dalam keterbukaan, keberanian menyuarakan fakta dan mempertanyakan kemapanan, kemampuan berkomuniksi dengan siapa saja dengan bahasa masing-masing.

Kesemua itu tercermin dalam spanduk yang melintang di perempatan Blok A Kebayoran Baru hampir dua tahun yang lalu. Berisikan himbauan untuk membaca TEMPO. Spanduk itu memberikan kelebihan-kelebihan berikut: jujur, jelas, jernih…. dan jenaka pun bisa.

Tidak dapat dilupakan kesediaan TEMPO untuk menampakkan inovasi komunikatif bernada konyol, untuk menguji kewarasan pandangan sendiri. Karena itu, kepada pengasuhnya pernah diajukan perubahan pada slogan untuk spanduk lain di masa datang: “Bacalah TEMPO: jujur, jelas, jernih, jenaka…..jorok pun bisa!”

Siapa tahu akronim kelima sifat utama di atas akan menjadi sesuatu yang luhur, sehingga akan masuk ke dalam GBHN dan kemudian di-‘tindak lanjuti’ dengan penataran J5 di samping penataran yang sudah ada, khususnya bagi mereka yang belum mau membeli dan membaca TEMPO?