Judul |
---|
Melawan Melalui Lelucon – Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Mustafa Ismail, Putu Setia, Retno Pujiastuti |
Penerbit |
Pusat Data dan Analisa TEMPO Jakarta, Maret 2000 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1A Kumpulan Tulisan, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2000 |
Judul Tulisan
Bab I. Agama dan Pesantren
- Moralitas: Keutuhan dan Keterlibatan
- Agamawan dan Pembangunan Desa
- Pesantren dan Ludruk
- Islam Setuju Kemiskinan
- Si Pembelot dan Kebingungan Ilahinya
- Perihal Gerakan Sempalan Islam
- Imamah: Kemelut Kepemimpinan Umat
- Bila Kiai Berdebat
- Fatwa Natal: Ujung dan Pangkal
- Mengapa Mereka Marah?
- “Islam Kaset” dengan Kebisingannya
- Dakwah Harus Diteliti
- Tuhan Tidak Perlu Dibela
- Kasus Terjemahan H.B. Jassin
- Dari Masa Lalu ke Masa Depan
- Kwitang! Kwitang!
- Tuhan Akrab dengan Mereka
- Kerudung dan Kesadaran Beragama
- Mereka Lalu Membuat Surau
- Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?
- Yang Sama dan Yang Benar
- Salahkah Jika Dipribumikan
- Mikrokosmos Seorang Masjumi
- Istilah Sama, Arti Beda
- Sekuler Tidak Sekuler
- Agama dan Kebangsaan
- Ramai-Ramai Menolak Adopsi
- Skala Prioritas Ibadah
- Lebaran Tanpa Takbiran
Bab II. Tokoh
- Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
- Sama-Sama Bermimpi Besar
- Kiai Khasbullah dan Musuhnya
- Kiai Ikhlas dan Ko-edukasi
- Rasionalitas Kiai Adlan
- Kiai Razaq yang Terbakar
- Ketat Tetapi Longgar
- Kiai Iskandar dan Pak Damin
- Bersatu dalam Menuntut Ilmu
- Baik Belum Tentu Bermanfaat
- Tokoh Kiai Syukri
- Sang Kiai dan Keyakinannya
- Dunia Nyata Kiai Zainal
- Ustad yang Hidup di Dua Dunia
- Kiai Dolar Berdakwah
- Sekali Lagi Ahmad Wahib
- Naipaul dan Islam yang Tidak Marah
- Cak Nur: Tetap, Tetapi Berubah
- Syekh Mas’ud Memburu Kitab
- Kiai Pencari Mutiara
- Yang Umum dan Yang Khusus
- Muallim Syafi’i
- Tiga Pendekar dari Chicago
Bab III. Sosial Ekonomi
- Tebasan di Pinggiran Kota
- Sang Romo, Rumah, dan Bambu
- Agro-Bisnis yang Bagaimana
- Orang Gemuk Sebagai Indikator
- Piala Dunia ’82 dan Landreform
- Koperasi: Sudah Beranjak dari Utopia?
Bab IV. Sosial Politik
- Golongan Fungsional dan Perlunya Dialog
- Kaum Intelektual Berganti Kelamin
- Sulit Masuknya Mudah Keluarnya
- Serba Tunggal
- Sumbangan untuk Kontestan Keempat?
- Ornop: Benarkah Untul-Untul?
- Saya Juga Keturunan Lembu Peteng
Bab V. Luar Negeri
- Hubungan Luar Negeri Kita dan Hak Asasi
- Peacock dan KB Nonblok
- Demokrasi Haruslah Diperjuangkan
- Menilai Kepemimpinan
- Irak: Patahnya Beberapa Mitos
- Mesir: Birokrasi Itu Jadi Gurita
- Khomeini dan Beberapa Pertanyaan
- Sederhana, Syahdu
- Iran yang Tidak Saya Lihat
- Eksperimen dengan Sebuah Revolusi
- Sebelas Orang Muda di Noordsingel
- Benbella, Islam, dan Partai Tunggal
- Sadat dan Islam
- Mesir dan Kita: Persamaan dan Perbedaan
- Sadat Sebagai Politikus
- Yang Membuat dan Yang Dicatat
- Kisah Sebuah Anak Kalimat
- “Islam Kiri” Warisan Nasser
- Muncul Nasionalisme Arab Ketiga
- Haruskah Bani Sadr Dicemooh?
- Qashidah
- Maka Dibagilah Fungsi Tandingan
- Palestina: Dari Tragedi ke … Eksistensi
- Ghotbzadeh: Kemalangan Iran
- Israel: Cukupkah Momentumnya?
- Damai dalam Pertentangan
- Iran dan Model Pembangunannya
Bab VI. Budaya
- Pada Usia Sepuluh Tahun
- Melawan Melalui Lelucon
- Perubahan Struktur Tanpa Karl Marx
- Orang Karo dan Kebanggaannya
- Sebuah Perspektif Nasi Tumpeng
- Akademi Betawi
- Gatotkaca Anti-Israel
- Menunggu Setan Lewat
- Lagu Jawa di Restauran Padang
- Dokter Idealis, Kiai Formalis
- Perjanjian dengan Setan
- Tradisi, Kebudayaan Modern, dan Birokratisasi
- Piala Eropa: Adu Bola
Sinopsis
Buku ini sepenuhnya buah pikir Gus Dur yang dimuat di Majalah Tempo selama dua puluh tahun. Dari tahun 1974–1994. Total ada 105 tulisan. Dari ratusan tulisan itu dipecah oleh penerbit menjadi enam bab. Diantaranya mengulas tema tentang agama dan pesantren, profil kiai atau cendekiawan, politik dan ekonomi, hingga kebudayaan.
Kumpulan kolom ini diterbitkan pada tahun 2000, saat Gus Dur menjadi pemimpin tertinggi di Republik ini. Pada waktu itu, banyak penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan buku yang berkaitan dengan Gus Dur.
Buku ini menjadi penanda kepada pembaca betapa luasnya spektrum pemikiran Gus Dur. Dari persoalan nasional hingga internasional tak luput dari pengamatannya. Hal ini karena banyaknya komunitas yang Gus Dur ikuti. Nahdlatul Ulama, Forum Demokrasi, Dewan Kesenian Jakarta, LSM, sampai ke tingkat antarnegara.
Tulisaan-tulisan Gus Dur di Tempo sebagaimana kolom-kolom Gus Dur di media lain, menggunakan diksi atau bahasa yang mengalir, ringan, enak dibaca, pengungkapannya prosais dan mengajak kita berpikir ulang tentang suatu hal. Biasanya diawali suatu pertanyaan atau diakhiri tanda tanya.
Syu’bah Asa—redaktur pelaksana sekaligus editor rublik kolom Tempo—dalam pengantarnya bercerita, bahwa Gus Dur hampir setiap hari berkunjung ke kantor Tempo, yang kebetulan ibu Shinta Nuriyah Wahid bekerja di majalah Zaman, kantornya bersebelahan dengan Tempo. Disaat Gus Dur mengantar atau menjemput istrinya usai bekerja, seringkali Gus Dur ngobrol, berdiskusi, dan menuliskan ide-idenya di kantor Tempo.
Saking dekatnya hubungan Gus Dur dengan Tempo tentang kepenulisan, bahkan ada meja khusus beserta mesin ketik untuk Gus Dur. Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Tak peduli diterima atau tidak oleh redaktur. Hal ini sebagaimana pengakuan Gus Dur, tak lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan cara menulis.
Judul buku diambil dari salah satu tulisan Gus Dur, Melawan Melalui Lelucon. Tayang pada 19 Desember 1981. Esai itu berbicara tentang lelucon atau humor yang menjadi alat untuk mengkritik pemerintah tanpa harus berhadap-hadapan secara frontal.
Pada masa Orde Baru, kebebasan berbicara telah dibungkam. Rakyat direpresi apabila lantang bersuara, kritis terhadap kebijakan Soeharto. Militerisme sangat kuat waktu itu. Aktivis hilang tanpa kabar bukanlah suatu dongeng. Gus Dur memberi contoh lelucon orang Indonesia jika hendak memeriksakan giginya, ia harus terbang ke Singapura. Bukan karena kekurangan dokter atau kualitas dokter gigi yang rendah, akan tetapi karena di sana seseorang diperbolehkan untuk ‘membuka mulut’.
Bagi Gus Dur, humor adalah alat perlawanan kultural yang sulit dipadamkan oleh kekuasaan. Bahkan di beberapa negara yang dicontohkan oleh Gus Dur—di Mesir, Suriah, Rusia, Brazil, Filipina, dan India, juga menggunakan humor sebagai kritik sosial dan politik. Dari tulisan tersebut menunjukkan kapasitas keilmuan Gus Dur. Beliau paham atas situasi yang terjadi di negara-negara lain yang tak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Penguasa yang berbuat semena-mena kepada rakyat.
Selain di buku ini, kolom-kolom Gus Dur juga di-republish, dimuat ulang di beberapa buku, seperti Tuhan Tidak Perlu Dibela, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Tuhan Akrab dengan Mereka, dan lainnya.