Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan

Melawan Melalui Lelucon – Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO

1A Kumpulan Tulisan
Melawan Melalui Lelucon – Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO
Judul
Melawan Melalui Lelucon – Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO
Penulis
Abdurrahman Wahid
Editor (Penyunting)
Mustafa Ismail, Putu Setia, Retno Pujiastuti
Penerbit
Pusat Data dan Analisa TEMPO Jakarta, Maret 2000 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Bab I. Agama dan Pesantren

  1. Moralitas: Keutuhan dan Keterlibatan
  2. Agamawan dan Pembangunan Desa
  3. Pesantren dan Ludruk
  4. Islam Setuju Kemiskinan
  5. Si Pembelot dan Kebingungan Ilahinya
  6. Perihal Gerakan Sempalan Islam
  7. Imamah: Kemelut Kepemimpinan Umat
  8. Bila Kiai Berdebat
  9. Fatwa Natal: Ujung dan Pangkal
  10. Mengapa Mereka Marah?
  11. “Islam Kaset” dengan Kebisingannya
  12. Dakwah Harus Diteliti
  13. Tuhan Tidak Perlu Dibela
  14. Kasus Terjemahan H.B. Jassin
  15. Dari Masa Lalu ke Masa Depan
  16. Kwitang! Kwitang!
  17. Tuhan Akrab dengan Mereka
  18. Kerudung dan Kesadaran Beragama
  19. Mereka Lalu Membuat Surau
  20. Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?
  21. Yang Sama dan Yang Benar
  22. Salahkah Jika Dipribumikan
  23. Mikrokosmos Seorang Masjumi
  24. Istilah Sama, Arti Beda
  25. Sekuler Tidak Sekuler
  26. Agama dan Kebangsaan
  27. Ramai-Ramai Menolak Adopsi
  28. Skala Prioritas Ibadah
  29. Lebaran Tanpa Takbiran

 

Bab II. Tokoh

  1. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
  2. Sama-Sama Bermimpi Besar
  3. Kiai Khasbullah dan Musuhnya
  4. Kiai Ikhlas dan Ko-edukasi
  5. Rasionalitas Kiai Adlan
  6. Kiai Razaq yang Terbakar
  7. Ketat Tetapi Longgar
  8. Kiai Iskandar dan Pak Damin
  9. Bersatu dalam Menuntut Ilmu
  10. Baik Belum Tentu Bermanfaat
  11. Tokoh Kiai Syukri
  12. Sang Kiai dan Keyakinannya
  13. Dunia Nyata Kiai Zainal
  14. Ustad yang Hidup di Dua Dunia
  15. Kiai Dolar Berdakwah
  16. Sekali Lagi Ahmad Wahib
  17. Naipaul dan Islam yang Tidak Marah
  18. Cak Nur: Tetap, Tetapi Berubah
  19. Syekh Mas’ud Memburu Kitab
  20. Kiai Pencari Mutiara
  21. Yang Umum dan Yang Khusus
  22. Muallim Syafi’i
  23. Tiga Pendekar dari Chicago

 

Bab III. Sosial Ekonomi

  1. Tebasan di Pinggiran Kota
  2. Sang Romo, Rumah, dan Bambu
  3. Agro-Bisnis yang Bagaimana
  4. Orang Gemuk Sebagai Indikator
  5. Piala Dunia ’82 dan Landreform
  6. Koperasi: Sudah Beranjak dari Utopia?

 

Bab IV. Sosial Politik

  1. Golongan Fungsional dan Perlunya Dialog
  2. Kaum Intelektual Berganti Kelamin
  3. Sulit Masuknya Mudah Keluarnya
  4. Serba Tunggal
  5. Sumbangan untuk Kontestan Keempat?
  6. Ornop: Benarkah Untul-Untul?
  7. Saya Juga Keturunan Lembu Peteng

 

Bab V. Luar Negeri

  1. Hubungan Luar Negeri Kita dan Hak Asasi
  2. Peacock dan KB Nonblok
  3. Demokrasi Haruslah Diperjuangkan
  4. Menilai Kepemimpinan
  5. Irak: Patahnya Beberapa Mitos
  6. Mesir: Birokrasi Itu Jadi Gurita
  7. Khomeini dan Beberapa Pertanyaan
  8. Sederhana, Syahdu
  9. Iran yang Tidak Saya Lihat
  10. Eksperimen dengan Sebuah Revolusi
  11. Sebelas Orang Muda di Noordsingel
  12. Benbella, Islam, dan Partai Tunggal
  13. Sadat dan Islam
  14. Mesir dan Kita: Persamaan dan Perbedaan
  15. Sadat Sebagai Politikus
  16. Yang Membuat dan Yang Dicatat
  17. Kisah Sebuah Anak Kalimat
  18. “Islam Kiri” Warisan Nasser
  19. Muncul Nasionalisme Arab Ketiga
  20. Haruskah Bani Sadr Dicemooh?
  21. Qashidah
  22. Maka Dibagilah Fungsi Tandingan
  23. Palestina: Dari Tragedi ke … Eksistensi 
  24. Ghotbzadeh: Kemalangan Iran
  25. Israel: Cukupkah Momentumnya?
  26. Damai dalam Pertentangan
  27. Iran dan Model Pembangunannya

 

Bab VI. Budaya

  1. Pada Usia Sepuluh Tahun
  2. Melawan Melalui Lelucon
  3. Perubahan Struktur Tanpa Karl Marx
  4. Orang Karo dan Kebanggaannya
  5. Sebuah Perspektif Nasi Tumpeng
  6. Akademi Betawi
  7. Gatotkaca Anti-Israel
  8. Menunggu Setan Lewat
  9. Lagu Jawa di Restauran Padang
  10. Dokter Idealis, Kiai Formalis
  11. Perjanjian dengan Setan
  12. Tradisi, Kebudayaan Modern, dan Birokratisasi
  13. Piala Eropa: Adu Bola

Sinopsis

Buku ini sepenuhnya buah pikir Gus Dur yang dimuat di Majalah Tempo selama dua puluh tahun. Dari tahun 19741994. Total ada 105 tulisan. Dari ratusan tulisan itu dipecah oleh penerbit menjadi enam bab. Diantaranya mengulas tema tentang agama dan pesantren, profil kiai atau cendekiawan, politik dan ekonomi, hingga kebudayaan.

 

Kumpulan kolom ini diterbitkan pada tahun 2000, saat Gus Dur menjadi pemimpin tertinggi di Republik ini. Pada waktu itu, banyak penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan buku yang berkaitan dengan Gus Dur.

 

Buku ini menjadi penanda kepada pembaca betapa luasnya spektrum pemikiran Gus Dur. Dari persoalan nasional hingga internasional tak luput dari pengamatannya. Hal ini karena banyaknya komunitas yang Gus Dur ikuti. Nahdlatul Ulama, Forum Demokrasi, Dewan Kesenian Jakarta, LSM, sampai ke tingkat antarnegara.

 

Tulisaan-tulisan Gus Dur di Tempo sebagaimana kolom-kolom Gus Dur di media lain, menggunakan diksi atau bahasa yang mengalir, ringan, enak dibaca, pengungkapannya prosais dan mengajak kita berpikir ulang tentang suatu hal. Biasanya diawali suatu pertanyaan atau diakhiri tanda tanya.

 

Syu’bah Asa—redaktur pelaksana sekaligus editor rublik kolom Tempo—dalam pengantarnya bercerita, bahwa Gus Dur hampir setiap hari berkunjung ke kantor Tempo, yang kebetulan ibu Shinta Nuriyah Wahid bekerja di majalah Zaman, kantornya bersebelahan dengan Tempo. Disaat Gus Dur mengantar atau menjemput istrinya usai bekerja, seringkali Gus Dur ngobrol, berdiskusi, dan menuliskan ide-idenya di kantor Tempo.

 

Saking dekatnya hubungan Gus Dur dengan Tempo tentang kepenulisan, bahkan ada meja khusus beserta mesin ketik untuk Gus Dur. Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Tak peduli diterima atau tidak oleh redaktur. Hal ini sebagaimana pengakuan Gus Dur, tak lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan cara menulis.

 

Judul buku diambil dari salah satu tulisan Gus Dur, Melawan Melalui Lelucon. Tayang pada 19 Desember 1981. Esai itu berbicara tentang lelucon atau humor  yang menjadi alat untuk mengkritik pemerintah tanpa harus berhadap-hadapan secara frontal.

 

Pada masa Orde Baru, kebebasan berbicara telah dibungkam. Rakyat direpresi apabila lantang bersuara, kritis terhadap kebijakan Soeharto. Militerisme sangat kuat waktu itu. Aktivis hilang tanpa kabar bukanlah suatu dongeng. Gus Dur memberi contoh lelucon orang Indonesia jika hendak memeriksakan giginya, ia harus terbang ke Singapura. Bukan karena kekurangan dokter atau kualitas dokter gigi yang rendah, akan tetapi karena di sana seseorang diperbolehkan untuk ‘membuka mulut’.

 

Bagi Gus Dur, humor adalah alat perlawanan kultural yang sulit dipadamkan oleh kekuasaan. Bahkan di beberapa negara yang dicontohkan oleh Gus Dur—di Mesir, Suriah, Rusia, Brazil, Filipina, dan India, juga menggunakan humor sebagai kritik sosial dan politik. Dari tulisan tersebut menunjukkan kapasitas keilmuan Gus Dur. Beliau paham atas situasi yang terjadi di negara-negara lain yang tak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Penguasa yang berbuat semena-mena kepada rakyat.

 

Selain di buku ini, kolom-kolom Gus Dur  juga di-republish, dimuat ulang di beberapa buku, seperti Tuhan Tidak Perlu Dibela, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Tuhan Akrab dengan Mereka, dan lainnya.