Menunggu Setan Lewat

Sumber Foto; https://www.pajak.com/pwf/undang-undang-hpp-untuk-kepastian-hukum-atau-untuk-rasa-keadilan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

TENGAH malam di Jalan Raya Rangkayo Rasuna Said, Jakarta, yang dikenal dengan “nama tradisional”Jalan Kuningan. Cuaca gerimis. Tak ada orang tampak berjalan kaki, apalagi yang menyeberangi jalan selebar itu. Namun mobil Toyota Corolla DX warna putih itu berhenti, ketika lampu merah untuk penyeberangan menyala. Mobil menunggu dengan sabar, hingga lampu hijau. Mobil-mobil lain, yang juga hanya satu dua, tak mengindahkan lampu merah dan terus berlari.

Tiga penumpang Toyota Corolla itu segera masuk ke dalam percakapan ramal tentang sikap pengemudinya, seorang dokter muda ahli kesehatan masyarakat. “Di sinilah bedanya yang berbudaya dari yang tidak,” kata si dokter. “Peraturan telah dibuat. Harus dilaksanakan. Kalau tidak ada yang mau melaksanakan, ia akan mati dengan sendirinya, alias tidak dapat ditegakkan.”

Temannya semobil justru beranggapan sebaliknya. Peraturan dibuat untuk tujuan tertentu. Tujuan pemasangan lampu adalah mengatur orang yang akan menyeberang. “Di tengah malam begini mana ada yang akan menyeberang?” tanyanya. Bukankah sia-sia saja ada aturan tanpa tujuan?

Ada situasi pilihan “mengikuti atau melanggar aturan” – yang mewarnai kehidupan bangsa, baik secara keseluruhan maupun perorangan. Kalau untuk kasus yang jelas parameternya seperti itu saja sudah tidak dapat dicapai kesamaan pendapat, apalagi kalau permasalahannya sendiri justru tidak jelas.

Masalah utamanya adalah antara pencapaian tujuan dan metode yang digunakan. Kalau metodenya langsung, dan segera dapat dilihat hasilnya, mudah sekali diikuti “aturan permainan” yang sudah disepakati. Orang mau mengikuti aturan berjalan di jalur yang diperuntukkan, di negeri ini di sebelah kiri jalan, karena dengan itu ia cepat sampai di tujuan. Mengikuti jalur orang lain hanya akan membuat jalan macet, karena semua kendaraan akan saling berhadapan.

Itu selama dapat dijamin kelancaran lalu lintas, dan ada rasa terjamin. Sekali jaminan itu gagal dilaksanakan, lalu ada kemacetan, semua orang akan berusaha mencari “jalur tembus”. Berarti semua memasuki jalur orang lain, dan semakin menambah kemacetan.

Aturan hukum akan dipenuhi kalau dengan itu dapat dijamin tercapainya tujuan; minimal yang paling dasar, seperti mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang kecil”. Tetapi kalau mencapai tujuan minimal itu pun tidak dapat dijamin, sudah tentu orang mencari “jalan pintas”: korupsi, manipulasi, pelanggaran.

Masalahnya menjadi lebih tidak terkendali manakala hasil yang diinginkan untuk dicapai dengan sebuah metode boleh dikata hanya dapat diraih secara tidak langsung. Penegakan wewenang hukum dan kedaulatannya oleh sistem peradilan, sebagai misal. Tegaknya hukum tidak dengan sendirinya menghentikan tindak kejahatan, seperti halnya sengatan lebah akan menghentikan keinginan orang mengusik sarangnya.

Fungsi hukum adalah menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan – fungsi psikologis yang berwatak preventif. Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah jiwa pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan imperial Romawi atau sistem hukum pramodern lainnya.

Hukum zaman ini sebenarnya lebih berfungsi simbolis daripada fungsi membalaskan penderitaan atau kemalangan orang. Karenanya, fungsi penegakannya lebih mengandung arti edukatif daripada sanksional. Kalau ketentuan hukum dilakukan dengan tuntas, demikian diharapkan oleh aliran hukum ini, kecenderungan orang melakukan tindak kejahatan tentu akan diperkecil, kalau tidak dihilangkan sama sekali.

Kesulitannya terjadi ketika cara tidak langsung membalas seperti itu gagal mencegah semakin meluasnya tindak kejahatan. Apalagi kalau hambatannya datang tidak dari bunyi undang-undang atau aturan, melainkan dari “kemacetan fungsional”: aparat penegakan hukum sendiri yang tidak mampu. Orang tidak melihat sebab kemacetan – dari kebalauan internal kalangan penegak hukum sendiri ataukah karena ada faktor luar yang melakukan tekanan. Yang penting hukum tidak dapat ditegakkan, titik.

Dalam keadaan demikian, beberapa sektor masyarakat dengan mudah akan tergoda oleh “penyelesaian lebih langsung”. Melakukan jalanpintas. Aturan permainan untuk sementara dikesampingkan karena hanya akan memperlambat proses.

Untuk memberantas korupsi lalu dibentuk sekian tim dan kelompok. Untuk membenahi kebalauan dalam disiplin hidup dan disiplin kerja, dibentuk pula tim atau kelompok lain. Untuk mencegah kapal penyelundup dibebaskan oleh pengadilan, diberlakukan tindakan sanksional di luar jalur pengadilan. Dan semua memerlukan dukungan kewibawaan di luar jalur sistem peradilan.

Situasi demikian semakin menambah parahnya penyakit yang diderita sistem peradilan itu sendiri. Semakin tampak, ia tidak bertenaga sama sekali untuk melakukan fungsi preventif. Berarti semakin hilang kewibawaannya, dan semakin hilang kegunaan hidupnya.

Tidak mengherankan kalau ia dikesampingkan untuk beberapa “hal mendesak”, seperti semakin mendekatnya “era kejahatan terorganisasi secara luas”. Bagai meteor yang pasti akan jatuh ke bumi, entah darat entah laut, “era baru kejahatan” itu akibat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. “Teknologi kejahatan” berjalan sangat pesat, aparat penegakan hukum berjalan sempoyongan, tanpa kejelasan dapatkah berfungsi secara minimal.

Tidak mengherankan kalau kemudian muncul “tindakan sektoral” – penembakan misterius. Entah oleh siapa, tidak begitu penting. Yang jelas, ia ada, dan ia berfungsi langsung membasmi kejahatan.

Dan dengan wajah cerah, sebagian petugas penegakan hukum mencatat hasil-hasil yang telah terapai. Angka kejahatan menurun drastis.

Soal yang masih tinggal ialah: bagaimana mengatasi krisis wibawa penegak hukum, undang-undang, dan pengadilan.

Mungkin karena itu teman dalam sedan Toyota Corolla tadi berpendapat, lebih baik tetap ada banyak orang yang sabar menunggu lampu merah, biarpun sedang tergopoh-gopoh. Artinya, mereka ikut menjasa supaya aturan yang “normal” tidak jebol sama sekali.

Biarpun harus tahan hati. Anggap saja menunggu setan lewat.